Neraca Dagang Bisa Tekor (Lagi), Rupiah Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 October 2018 09:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Sepertinya investor melihat prospek yang suram dari rilis data perdagangan internasional, sehingga rupiah kurang mendapat apresiasi.
Pada Senin (15/10/2018) pukul 09:03 WIB, US$ 1 di pasar spot sama dengan Rp 15.241. Rupiah melemah 0,27% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah tidak berubah alias stagnan di Rp 15.200/US$. Namun setelah itu, rupiah terus melemah.
Sementara mata uang Asia bergerak variatif cenderung melemah di hadapan greenback. Dengan pelemahan 0,27%, rupiah jadi mata uang yang paling depresiatif di Benua Kuning.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 09:06 WIB:
Rupiah sepertinya dihajar dari luar dan dalam negeri. Dari luar, penguatan dolar AS masih terus berlanjut.
Pada pukul 09:09 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,12%. Indeks ini terus menguat sejak akhir pekan lalu.
Perburuan dolar AS kembali dimulai jelang lelang obligasi pemerintah Negeri Paman Sam. Pada tengah malam ini waktu Indonesia, pemerintahan Presiden Donald Trump akan melelang dua seri obligasi jangka pendek yaitu tenor 13 dan 26 pekan. Target indikatif untuk dua seri ini adalah US$ 84 miliar.
Seperti biasa, investor memanfaatkan peluang jelang lelang dengan melakukan pelepasan obligasi agar harga turun dan imbal hasil (yield) naik. Dengan begitu, investor punya posisi tawar yang lebih tinggi di hadapan pemerintah.
Kenaikan yield sudah mulai terjadi dan semakin terlihat jelas. Pada pukul 09:13 WIB, misalnya, yield untuk obligasi pemerintah AS tenor 26 pekan adalah 2,4444% atau naik 0,24 basis poin (bps) dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Semakin dekat ke pelaksanaan lelang, yield akan semakin didorong ke atas agar investor bisa mendapatkan kupon yang menarik. Pada saat bersamaan, investor juga berburu dolar AS di pasar valas sebagai amunisi untuk masuk ke lelang.
Tingginya permintaan terhadap dolar AS membuat nilai mata uang ini semakin mahal alias menguat. Rupiah dkk di Asia pun sulit menunjukkan taringnya.
Sedangkan di dalam negeri, investor mengantisipasi rilis data perdagangan internasional periode September 2018. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada September sebesar 7,44% year-on-yar (YoY), impor tumbuh 25,85% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 600 juta.
Meski masih mencatatkan defisit, tetapi membaik dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Pada Juli, BPS mencatat defisit perdagangan mencapai US$ 2,03 miliar atau terdalam sejak Juli 2013. Catatan itu membaik pada bulan selanjutnya, meski masih defisit cukup dalam yaitu US$ 1,02 miliar.
Apabila realisasi defisit neraca perdagangan lebih lebar dibandingkan konsensus, maka pasar keuangan bisa mendapatkan tekanan. Memburuknya defisit neraca perdagangan akan memberikan sinyal bahwa defisit transaksi berjalan akan melebar pada kuartal III-2018.
Padahal, transaksi berjalan adalah fundamental perekonomian dalam negeri yang menjadi pijakan rupiah untuk bisa menguat. Saat masa depan rupiah suram, maka investor akan menghindari mata uang ini karena tentu tidak mau memegang aset yang nilainya bakal turun pada masa mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (15/10/2018) pukul 09:03 WIB, US$ 1 di pasar spot sama dengan Rp 15.241. Rupiah melemah 0,27% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah tidak berubah alias stagnan di Rp 15.200/US$. Namun setelah itu, rupiah terus melemah.
Sementara mata uang Asia bergerak variatif cenderung melemah di hadapan greenback. Dengan pelemahan 0,27%, rupiah jadi mata uang yang paling depresiatif di Benua Kuning.
Rupiah sepertinya dihajar dari luar dan dalam negeri. Dari luar, penguatan dolar AS masih terus berlanjut.
Pada pukul 09:09 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,12%. Indeks ini terus menguat sejak akhir pekan lalu.
Perburuan dolar AS kembali dimulai jelang lelang obligasi pemerintah Negeri Paman Sam. Pada tengah malam ini waktu Indonesia, pemerintahan Presiden Donald Trump akan melelang dua seri obligasi jangka pendek yaitu tenor 13 dan 26 pekan. Target indikatif untuk dua seri ini adalah US$ 84 miliar.
Seperti biasa, investor memanfaatkan peluang jelang lelang dengan melakukan pelepasan obligasi agar harga turun dan imbal hasil (yield) naik. Dengan begitu, investor punya posisi tawar yang lebih tinggi di hadapan pemerintah.
Kenaikan yield sudah mulai terjadi dan semakin terlihat jelas. Pada pukul 09:13 WIB, misalnya, yield untuk obligasi pemerintah AS tenor 26 pekan adalah 2,4444% atau naik 0,24 basis poin (bps) dibandingkan posisi akhir pekan lalu.
Semakin dekat ke pelaksanaan lelang, yield akan semakin didorong ke atas agar investor bisa mendapatkan kupon yang menarik. Pada saat bersamaan, investor juga berburu dolar AS di pasar valas sebagai amunisi untuk masuk ke lelang.
Tingginya permintaan terhadap dolar AS membuat nilai mata uang ini semakin mahal alias menguat. Rupiah dkk di Asia pun sulit menunjukkan taringnya.
Sedangkan di dalam negeri, investor mengantisipasi rilis data perdagangan internasional periode September 2018. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekspor pada September sebesar 7,44% year-on-yar (YoY), impor tumbuh 25,85% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 600 juta.
Meski masih mencatatkan defisit, tetapi membaik dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Pada Juli, BPS mencatat defisit perdagangan mencapai US$ 2,03 miliar atau terdalam sejak Juli 2013. Catatan itu membaik pada bulan selanjutnya, meski masih defisit cukup dalam yaitu US$ 1,02 miliar.
Apabila realisasi defisit neraca perdagangan lebih lebar dibandingkan konsensus, maka pasar keuangan bisa mendapatkan tekanan. Memburuknya defisit neraca perdagangan akan memberikan sinyal bahwa defisit transaksi berjalan akan melebar pada kuartal III-2018.
Padahal, transaksi berjalan adalah fundamental perekonomian dalam negeri yang menjadi pijakan rupiah untuk bisa menguat. Saat masa depan rupiah suram, maka investor akan menghindari mata uang ini karena tentu tidak mau memegang aset yang nilainya bakal turun pada masa mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular