Galau dengan Harga Premium, Pemerintah Harus Lakukan Ini

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
13 October 2018 13:10
Pertamina belum akan bangkrut, atau merugi perusahaan migas pelat merah tersebut masih cukup mampu secara keuangannya
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - Mencermati melihat harga minyak dunia saat ini, memang sudah sewajarnya apabila pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) Premium untuk mengurangi tekanan terhadap rupiah. Selain itu, mengurangi beban PT Pertamina (Persero) agar kondisi keuangan tidak semakin tergerus.

Namun di satu sisi, penaikan harga BBM hal ini bukanlah kebijakan populis. Mengingat, kenaikan harga jugal Premium akan langsung mendorong inflasi dan menekan daya beli masyarakat. Lalu, bagaimana baiknya langkah pemerintah?

Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, harga BBM Premium memang harus dinaikkan, tidak bisa bilang tidak. Apalagi mengingat harga minyak dunia yang semakin merangkak naik.

Bagaimana dengan dampak inflasi? Fithra mengatakan, berdasarkan sebuah riset dari Bahana, kenaikan harga BBM 10% maksimal dapat membuat inflasi naik 0,04%.

"Dalam konteks seperti ini seharusnya pemerintah jangan ragu-ragu lagi," tuturnya kepada media saat dijumpai dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (13/4/2018).

Pengamat energi dan ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, langkah pemerintah untuk membatalkan kenaikan harga BBM merupakan wujud dari kebijakan yang pro-rakyat. Pasalnya, kata Fahmy, harga Premium memiliki korelasi positif dengan penggerusan daya beli, karena daya beli kita rakyat masih rendah.

Selain itu, berdasarkan hitungannya, Fahmy mengatakan, ada sekitar 0,56% kenaikan inflasi apabila harga BBM naik, belum dengan efek bergandanya, karena Premium digunakan untuk faktor produksi dan transportasi. Sehingga, lanjut Fahmy, ada baiknya kalau harga BBM, utamanya Premium, jangan dinaikkan untuk saat ini.

"Kalau (harga Premium) dinaikkan, daya beli rakyat semakin terpuruk, inflasi pasti akan terjadi, kalau terjadi harga kebutuhan pokok pasti naik. Siapa yang jadi korban? Rakyat miskin, mereka tidak konsumsi Premium tapi menderita inflasi tadi," ujar Fahmy ketika dijumpai di kesempatan yang sama.

Pertamina, tambah Fahmy, belum akan bangkrut, atau merugi. Fahmy menilai, perusahaan migas pelat merah tersebut masih cukup mampu secara keuangannya.

Kendati demikian, ia sepakat bila mesti ada batas sampai mana pemerintah harus menahan harga BBM. Menurutnya, jika harga minyak sudah mencapai US$ 100 dolar per barel, saat itulah pemerintah mau tidak mau harus menaikkan harga BBM.

"Kalau harga minyak dunia sudah sampai US$ 100 per barel, saya rasa pada saat itulah mesti naikkan (harga) Premium. Kalau tidak, maka beban Pertamina semakin berat, subsidi yang akan dialokasikan untuk Solar pun akan semakin tidak mampu APBN-nya," pungkas Fahmy.


Pada Rabu (10/10/2018) pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignatius Jonan sempat mengumumkan menaikkan harga Premium. Namun dalam jeda satu jam kebijakan tersebut diumumkan dibatalkan.

"Sesuai arahan bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (10/10/2018).


(hps/hps) Next Article B30 Diujicoba, Ini Dampak Bagi Emiten Agri

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular