Harga Pertamax Naik, Kapan BBM Subsidi dan Premium Menyusul?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 October 2018 13:15
Harga Pertamax Naik, Kapan BBM Subsidi dan Premium Menyusul?
Foto: Ilustrasi Pengisian BBM Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC IndonesiaPT Pertamina (Persero) menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU, khususnya Pertamax Series dan Dex Series, serta Biosolar Non PSO mulai hari ini, dan berlaku di seluruh Indonesia pukul 11.00 WIB.

Pertamina menetapkan harga Pertamax di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi Rp 10.400/liter, Pertamax Turbo Rp 12.250/ liter, Pertamina Dex Rp 11.850/liter, Dexlite Rp 10.500/liter, dan Biosolar Non PSO Rp.9.800/liter. Kendati demikian, Pertamina mengklaim harga yang ditetapkan ini masih lebih kompetitif dibandingkan dengan harga jual di SPBU lain.

Apabila dibandingkan dengan harga bahan bakar di SPBU yang dimiliki Shell, harga Pertamax memang masih lebih murah sekitar Rp 50 - 100/liter dibandingkan BBM sejenis Shell Super yang seharga Rp 10.450- 10.550/liter (Jabodetabek). Meski demikian, disparitas itu tentu saja semakin menipis dari sebelumnya bisa mencapai Rp 950 - 1.050/liter.

Sementara, untuk harga Pertamax Turbo kini selisihnya hanya tinggal Rp 50 - 200/liter dengan BBM sejenis Shell V-Power yang seharga Rp 12.300 - Rp 12.450. Disparitas itu juga jauh menipis dari semula bisa mencapai Rp 1.600 - 1.750/liter.


Penyesuaian harga BBM jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan Biosolar Non PSO merupakan dampak dari harga minyak mentah dunia yang terus merangkak naik dimana saat ini harga minyak dunia rata-rata menembus US$ 80/barel.

Terlebih, nilai tukar rupiah juga melemah makin dalam. Sepanjang tahun ini, mata uang tanah air sudah terdepresiasi di kisaran 11% terhadap dolar AS. Bahkan, beberapa waktu terakhir, 1 US$ sempat dibanderol Rp 15.225 di pasar spot, atau merupakan yang terendah sejak krisis 1998. Akibatnya, beban importase si emas hitam pun makin tinggi.

Selain untuk meringankan kerugian selisih harga yang selama ini ditanggung Pertamina, langkah kenaikan harga BBM pun terpaksa diambil oleh pemerintah untuk mengurangi konsumsi (yang akhirnya akan mengurangi beban impor).

Sudah bukan rahasia lagi kalau Indonesia mengimpor terlalu banyak minyak dan gas (migas) pada tahun ini. Sebagai informasi, defisit perdagangan migas untuk periode Januari-Agustus 2018 sudah mencapai US$ 8,35 miliar (Rp 125 triliun).

Nilai itu bahkan jauh lebih besar dari defisit neraca perdagangan secara total sebesar US$ 4,11 miliar (Rp 62 triliun). Artinya, uruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.

Apabila dibandingkan dengan capaian Januari-Agustus 2017 sebesar US$5,4 miliar, defisit migas di tahun ini sudah meningkat sekitar 55%.



Meski demikian, tidak semua harga BBM dinaikkan. BBM jenis Premium, Pertalite, dan Biosolar PSO diputuskan pemerintah tidak naik. Khusus untuk Premium, dari sejak lama Presiden Joko Widodo memang sudah menetapkan harganya tidak boleh naik setidaknya sampai 2019.

Kebijakan menahan harga premium ini berpotensi menggagalkan upaya pemerintah untuk menahan konsumsi BBM (dengan menaikkan harga Pertamax cs). Tim Riset CNBC Indonesia akan memaparkan analisis yang menunjukkan indikasi itu, dengan harapan pemerintah mau untuk bersikap realistis, dan bukannya bersikap politis demi pertarungan pilpres tahun depan sembari mengorbankan ekonomi. 

(NEXT)

Apabila ditinjau dari sisi volume, impor migas ternyata juga meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pelemahan rupiah dan kenaikan harga minyak mentah dunia bukanlah variabel satu-satunya di balik kenaikan impor Indonesia atas energi utama dunia ini.

Kenaikan volume jelas mengindikasikan adanya kenaikan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Sejauh mana? Merujuk pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tim Riset CNBC Indonesia menemukan fakta bahwa impor produk jadi BBM dan minyak mentah pada semester I/2018 meningkat masing-masing sebesar 8,12% dan 1,5% secara tahunan (year-on-year/YoY).




Apa pemicu kenaikan konsumsi BBM tersebut? Kenaikan konsumsi BBM tidak akan lepas dari pertumbuhan ekonomi. Saat aktivitas ekonomi di suatu negara berekspansi, sudah pasti permintaan akan energi pun meningkat.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2018 tercatat sebesar 5,27% YoY, atau lebih kencang daripada 5,01% di kuartal II-2017. Laju ekonomi yang positif ini otomatis menjadi pendorong permintaan BBM tahun ini.

Tapi benarkah pertumbuhan ekonomi yang sehat menjadi satu-satunya peningkatan konsumsi? Jangan lupa bahwa Presiden Jokowi memutuskan kembali membuka "keran" pasokan BBM jenis premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada April 2018 lalu.

Tidak hanya itu, seperti sudah diulas sebelumnya, presiden ke-7 RI tersebut menetapkan bahwa harga BBM jenis premium itu dilarang naik, alias bertahan di harga Rp6.550/liter, setidaknya hingga tahun 2019.

Alhasil, saat BBM premium yang harganya murah kembali diguyur ke Jamali, bukan tidak mungkin konsumsi BBM akan melonjak. Sederhana saja, sesuai hukum penawaran-permintaan, saat harga suatu barang menjadi lebih murah, otomatis permintaan barang tersebut akan naik.

Padahal, sejak 2015 pemerintah sudah menyediakan barang substitusi bernama BBM jenis Pertalite yang harganya kini dibanderol sebesar Rp7.800/liter. Selisihnya sekitar Rp1.250/liter dengan BBM jenis premium.

Disparitas itu sebenarnya relatif kecil, apabila dibandingkan selisih harga BBM jenis Premium-Pertamax yang saat ini sudah mencapai Rp4.000/liter. Artinya, masyarakat sebenarnya sudah disediakan kompensasi dari pencabutan pasokan BBM jenis premium di Jamali sejak 2015 lalu.

Namun, dengan kembali membanjirnya pasokan premium, nampaknya tinggal tunggu saja masyarakat kembali beralih ke "kawan lama" yakni premium. Akibatnya, derasnya laju konsumsi BBM semakin tidak tertahan. (NEXT)


Setidaknya ada beberapa komponen yang menjadi dasar untuk menentukan harga eceran premium, yaitu harga minyak dunia berdasarkan indeks pasar yang dijadikan sebagai patokan harga dasar premium, pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%, pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) sebesar 5%, dan marjin keuntungan PERTAMINA dan SPBU yang meliputi biaya penugasan, penyediaan, distribusi, margin SPBU serta penyimpanan dalam rentang maksimum 10%.

Harga dasar premium (HD) ditentukan dari harga minyak dunia berdasarkan indeks pasar, jumlah barel/liter, dan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Berdasarkan harga minyak dunia rata-rata (jenis brent) di sepanjang tahun 2018 sebesar $73,16/barel (1 barel= 159 liter), dan dengan kurs rupiah terhadap dolar AS rata-rata sebesar Rp 14.081,73, maka harga premium seharusnya adalah:

HD = (73,16/159) x Rp14.081,73 = Rp 6.479,37

Biaya Pertamina = 10/100 x HD =Rp 647,94

PPN 10% = 10/100 x HD = Rp 647,94

PBBKB 5% = 5/100 x HD = Rp 323,97

Sehingga harga eceran premium adalah HD + Biaya Pertamina + PPN + PBBKB = Rp 8.099,22/liter, atau dibulatkan menjadi Rp 8.100/liter. Dengan harga premium di angka Rp 6.500/liter, tahun ini masyarakat menikmati harga premium yang lebih murah sekitar Rp 1.600/liter.

Jadi, sekarang pertanyaannya, jika harga pertamax sudah dinaikkan, lalu premium kapan? (TIM RISET CNBC INDONESIA)     
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular