Proyeksi BI Atas Defisit Current Account Bakal Bebani Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 October 2018 11:33
Proyeksi BI Atas Defisit Current Account Bakal Bebani Rupiah
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Memulai hari dengan ceria, rupiah kini menghadapi tantangan berat. Sentimen negatif eksternal dan domestik berpotensi menjadi beban buat rupiah hari ini. 


Pada Rabu (10/10/2018), rupiah masih mampu menguat 0,3% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kala pembukaan perdagangan pasar spot. Namun pada pukul 10:42 WIB, rupiah sudah impas, stagnan di hadapan greenback. 

Awalnya, sentimen negatif bagi rupiah datang dari pernyataan John Williams, Presiden The Federal Reserve/The Fed New York, menyatakan bahwa Bank Sentral AS masih dalam mode menaikkan suku bunga acuan secara bertahap. Hal ini ditempuh karena perekonomian AS semakin kuat. Angka pengangguran pada 2019 diperkirakan turun ke 3,5% sementara laju inflasi terakselerasi di atas 2%. 

"Kebijakan moneter AS saat ini adalah membuat ekspansi ekonomi berkelanjutan tanpa menimbulkan risiko bagi kesejahteraan. Pendekatan itu akan membawa kemakmuran bagi AS," kata Williams dalam pidatonya di sela acara Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional (IMF)-Bank Dunia di Bali.

The Fed telah menaikkan suku bunga acuan tiga kali tahun ini, dan kemungkinan besar akan kembali terjadi pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada Desember mencapai 81,4%. 

Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mendongrak imbal hasil investasi di Negeri Paman Sam. Oleh karena itu, arus modal akan terus terkonsentrasi ke AS dan meninggalkan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ke depan, prospek dolar AS akan cerah sementara rupiah sebaliknya. 



(NEXT)

Dari dalam negeri, ada pula sentimen yang memberatkan rupiah. Masih di sela Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan transaksi berjalan atau current account Indonesia pada akhir 2019 berada di kisaran 2,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam dibandingkan akhir 2017 yaitu 2,3% PDB.



 


Transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa yang berasal dari ekspor-impor barang dan jasa. Jika defisit, maka artinya lebih banyak devisa yang keluar dibandingkan yang masuk. 

Ini membuat rupiah tidak punya modal untuk menguat. Devisa dari sisi perdagangan seret, dari pasar keuangan juga minim karena investor lebih memilih merapat ke AS. Prospek rupiah pun kian suram.

Investor kemudian cenderung melepas rupiah, karena tidak mau memegang aset yang nilainya berisiko besar untuk turun. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 164,42 miliar pada pukul 11:08 WIB.

Sementara di pasar obligasi, terjadinya aksi jual ditandai oleh kenaikan imbal hasil (yield) karena harga turun. Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah Indonesia yang menunjukkan kenaikan yield di hampir semua tenor: 

 

Bahkan hari ini terjadi inverted yield di pasar obligasi, yaitu yield tenor pendek lebih tinggi ketimbang tenor lebih panjang. Yield untuk obligasi tenor 25 tahun saat ini lebih tinggi ketimbang 30 tahun. 

Inverted yield adalah sinyal terjadinya tekanan di pasar obligasi. Lebih ekstrem lagi, inverted yield kerap kali dijadikan indikator risiko resesi. Sesuatu yang tentu sangat tidak kita inginkan.



TIM RISET CNBC INDONESIA





(aji/dru) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular