Grand Launching-CNBC Research

Mengapa Harus Terdisrupsi Jika Bisa Berkolaborasi?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
09 October 2018 23:10
Indonesia bisa dibilang memimpin industri rintisan (startup) di Asia Tenggara
Foto: Infografis/Startup Bervaluasi Terbesar/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia bisa dibilang memimpin industri rintisan (startup) di Asia Tenggara dengan menjadi kolam terbesar bagi 1.705 perusahaan startup, dengan berada di posisi keempat negara yang memiliki jumlah startup terbanyak di dunia.

Menurut Startup Ranking (2017), Indonesia berada di posisi keempat dunia dalam hal jumlah perusahaan rintisan yang berkembang, kalah dari Amerika Serikat yang berada di posisi puncak dengan 28.794 startup, diikuti India (4.713 startup) dan Inggris (2.971 startup).

Dari ribuan startup yang terdata tersebut, empat unicorn-sebutan untuk perusahaan startup yang memiliki valuasi di atas US$1 miliar-telah lahir dari Bumi Pertiwi yakni Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Di Asia Tenggara, sejauh ini ada tujuh unicorn, dengan empat di antaranya di Indonesia.

Namun, di balk keberhasilan tersebut masih ada catatan yang perlu untuk digaris-bawahi. Saat ini tantangan terbesar startup adalah minimnya talent di industri ini, sehingga aksi saling bajak personil di industri tersebut masih marak.

Tantangan lainnya adalah 42.000 peraturan yang menghadang para pengembang startup. Ribuan peraturan tersebut muncul dari berbagai kementerian, departemen, dan juga lembaga di pemerintah daerah (pemda).

Mengapa Harus Terdisrupsi Jika Bisa Berkolaborasi?Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia

Sebagaimana diketahui, startup muncul dengan semangat memberikan terobosan layanan bagi konsumen yang seringkali berujung pada disrupsi (gangguan) terhadap tata bangunan industri yang sudah mapan (established).

Secara natural, praktik ini memang mensyaratkan penciptaan praktik bisnis yang melanggar kaidah dan tata bangunan yang sudah ada, demi menciptakan layanan berbasis digital yang jauh lebih efisien melayani penggunanya.

Di Indonesia, Tim Riset CNBC Indonesia menilai ada dua industri yang masih menjanjikan bagi startup sehingga kita berpeluang melihat aksi korporasi dengan gelontoran investasi di dalamnya. Kedua sektor itu adalah layanan kesehatan (healthcare) dan teknologi finansial (financial technology/fintech).

Layanan kesehatan masih menjanjikan karena sektor ini masih memiliki pertumbuhan pasar yang sangat besar. Mengutip firma konsultasi global Frost & Sullivan, pasar pelayanan kesehatan di Indonesia akan menghasilkan keuntungan sebesar US$21 miliar (Rp 320 triliun) pada 2019.

Pembelanjaan untuk layanan kesehatan non-swasta pun diperkirakan meningkat hingga tahun 2020 di mana sebagian besar perluasan rumah sakit lewat kemitraan publik dan swasta, sementara pemerintah fokus pada perluasan akses di daerah pedesaan serta perawatan primer.

Di sisi lain, fintech bakal menjadi primadona karena data Bank Dunia (per 2014) menunjukkan bahwa hanya 36% populasi di Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang sudah memiliki rekening perbankan, sedangkan 60% lainnya belum tersentuh layanan perbankan.

Karenanya, Bank Indonesia (BI menargetkan 75% penduduk Indonesia atau sekitar 188 juta orang bisa memiliki rekening bank, alias menjadi bank people pada 2019. Saat ini, masih menurut Bank Dunia, hanya 90 juta penduduk dewasa di Indonesia yang sudah memiliki rekening bank.

Ini menunjukkan bahwa masih ada ruang layanan keuangan yang bisa digarap oleh pengembang fintech. Tidak heran, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun lalu mendapat kejutan dengan pencatatan perdana saham perusahaan fintech yakni PT Kioson Komersial Indonesia.

Di tengah realitas masih minimnya penetrasi layanan keuangan di negeri 17.500 pulau ini, istilah 'disrupsi' menjadi lebih relevan digantikan dengan 'kolaborasi' karena bank (dan perusahaan keuangan lain seperti asuransi dan dana pensiun) memang belum menggarap seluruh pasar yang ada.

Alih-alih saling bersaing dan saling mendisrupsi, kedua belah pihak (yakni perusahaan keuangan yang sudah established bekerja sama dengan perusahaan fintech) seharusnya bekerja-sama untuk memperluas penetrasi layanan keuangan (financial inclusion).

Kolaborasi itu semestinya dilakukan dengan diprakarsai oleh bankir, dengan membangun inkubator (pendampingan startup dalam hal model bisnis) dan akselerator (pendampingan dalam pendanaan dan konsultansi keuangan). Sejauh ini, baru beberapa bank yang sudah membuka inkubator startup misalnya PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Tabungan Negara Tbk dan PT Bank Bukopin Tbk.

Di sisi lain, BI dan OJK harus sigap menyesuaikan regulasi mengikuti perubahan di industri digital yang berlangsung dengan sangat cepat. Jika tidak, tujuh ribuan startup yang ada di Indonesia bisa berakhir menjadi fosil, karena karakteristik era digital adalah inovasi dan kecepatan.

Regulasi yang secara natural menjadi penghambat laju kecepatan inovasi harus diubah, dan sebisa mungkin mengarahkan disrupsi menjadi kolaborasi agar yang terjadi bukanlah zero sum game yang saling mematikan. 

TIM RISET CNBC INDONESIA




(ags/ags) Next Article Bos DBS Indonesia: Tantangan Terbesar Digital, Ubah Mindset!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular