Grand Launching CNBC Indonesia

Perlu Paket Kombo Alternatif untuk Menyelamatkan Rupiah

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
09 October 2018 20:45
Di tengah pelemahan rupiah yang mencapai level psikologis baru 15.200/US$, pemerintah dan BI bahu-membahu merumuskan kebijakan.
Foto: Infografis/Rupiah Loyo/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah pelemahan rupiah yang telah mencapai 12% ke level psikologis baru 15.200/US$ sepanjang tahun berjalan ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) bahu-membahu merumuskan kebijakan kombinasi untuk mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah.

"Pemerintah bersama Bank Indonesia, dengan OJK, apakah masih perlu untuk ditambah. Karena kemudian dinamika yang terjadi berubah atau makin kuat," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait rencana mengeluarkan kebijakan baru untuk menyelamatkan rupiah.

Kuatnya pengaruh ekonomi global dituding jadi faktor utamanya. Normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS, Federal Reserve/The Fed dan perang dagang merupakan dua faktor utama dari sekian faktor yang ada. Tahun ini, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan hingga 75 basis poin ke 2-2,25%.

Menghadapi "situasi normal yang baru" itu, pemerintah mengumumkan beberapa kebijakan yang menyasar impor seperti penaikan tarif bea masuk untuk 1.147 produk impor barang konsumsi guna mengurangi defisit neraca perdagangan.

Demikian juga dengan kewajiban penggunaan B20 (kewajiban bauran biodisel ke solar yang dijual ke masyarakat), untuk mengurangi beban impor BBM (jenis solar). Sebulan berlaku sejak diluncurkan, realisasi program perluasan B20 telah mencapai 81%.

Berdasarkan hitungan Kementerian ESDM jika kebijakan B-20 berlaku efektif per 1 September, penghematan negara bakal mencapai US$1,1 miliar atau Rp 15,8 triliun. Selanjutnya, jika bisa berlaku penuh akhir tahun ini, nilai penghematan negara bakal mencapai US$2 miliar atau Rp 30 triliun.

Keduanya dilakukan untuk menjinakkan transaksi berjalan (current account) yang sejak kuartal III-2011 belum pernah terlepas dari embel-embel 'deficit'. Istilah CAD pun menjadi istilah baru yang kita pakai setiap hari nyaris dalam sewindu terakhir.

Untuk mendukung pemerintah, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter pun bahu-membahu dengan menggunakan instrumennya terutama BI 7-Day Reverse Repo Rate. Suku bunga acuan nasional ini telah naik hingga 150 basis poin (bps) sepanjang tahun ini.

Kenaikan suku bunga acuan diharapkan menjadikan pasar surat utang Indonesia lebih menarik, terutama bagi investor asing. Aliran modal yang masuk, bisa membantu pemerintah mengelola transaksi berjalan khususnya dari neraca modal.
Tidak cukup dengan itu, BI dan pemerintah pun memberikan insentif untuk menarik dana hasil ekspor (DHE). Seperti yang diketahui, DHE dari eksportir selama ini banyak yang ditaruh di bank-bank luar negeri. Padahal, dana-dana tersebut idealnya ditaruh di Indonesia.

Lantas, bagaimana caranya agar dana-dana tersebut balik kampung? Selain iming-iming bunga yang menarik, pemerintah perlu meminimalkan pajak yang dikenakan. Ketika dana tersebut ditaruh pada produk deposito, pajak yang dikenakan harus sekecil mungkin bahkan kalau perlu 0%.

Yang diincar bukanlah penerimaan dari pajak, melainkan dampak bergulir DHE tersebut bagi kestabilan moneter nasional jika tersimpan di bank nasional. Percuma mengincar pendapatan pajak dari DHE, jika yang dipajaki kabur dan cadangan devisa terkuras demi menjaga rupiah akibat amunisi yang lemah.

Selain bauran kebijakan tersebut, salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah menggenjot ekspor. Sejauh ini potensi ekspor di dalam negeri masih besar, utamanya dari sektor usaha mikro dan kecil menengah (UMKM) terutama yang berbasis industri kreatif.

Dari sekitar 58 juta UMKM yang ada, jumlah UMKM yang berorientasi ekspor masih minim. Menurut Asosiasi UMKM Indonesia, angkanya tidak sampai 5% dari jumlah UMKM yang barangnya diekspor keluar negeri.

Perkembangan industri kreatif di sektor UMKM seharusnya jadi peluang bagi Indonesia untuk memperbesar jumlah eksportir. Namun mereka masih terhambat problem perizinan hingga pencarian pangsa pasar. Masalah-masalah tersebut, sejatinya dapat diselesaikan dengan campur tangan pemerintah.

Jika jumlah eksportir terus bertambah, aliran devisa yang masuk pun semakin besar. Dampaknya rupiah mendapat tenaga tambahan untuk menguat. Di ranah fundamental dan mikro inilah pemerintah mestinya juga memfokuskan perhatiannya, bukan hanya di tataran makro.

TIM RISET CNBC INDONESIA




(alf/alf) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular