Dolar AS Bangkit, Rupiah Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 October 2018 14:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) yang sempat berhenti menguat perlahan mulai bangkit. Akibatnya, mata uang Asia yang beberapa saat lalu perkasa kini loyo lagi.
Pada Selasa (9/10/2018) pukul 13:24 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang dunia) menguat tipis 0,03%. Indeks ini sempat mencicipi zona merah dengan pelemahan tipis.
Terlihat bahwa investor mulai kembali berburu dolar AS sehingga permintaan terhadap mata uang ini meningkat. Sepertinya pelaku pasar bersiap menghadapi lelang obligasi pemerintah AS yang digelar tidak lama lagi.
Pada 9 dan 10 Oktober waktu setempat, Kementerian Keuangan AS akan melelang sejumlah seri obligasi yaitu:
Sumber: US Treasury
Investor begitu menantikan lelang ini, karena potensi pemberian kupon yang tinggi cukup besar. Sebab di pasar sekunder, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS sedang dalam tren meningkat.
Saat ini, yield untuk obligasi pemerintah AS tenor 13 pekan adalah 2,2217%. Dalam sebulan terakhir, yield instrumen ini naik 8,97 basis poin (bps).
Dalam periode yang sama, yield untuk tenor 26 bulan tenor naik 9,83 bps ke 2,4103%. Lalu untuk yang 4 pekan yield melonjak 19,78 bps menjadi 2,1548%. Sedangkan untuk tenor 52 pekan, yield naik 10,24 bps ke 2,6144%.
Sementara untuk tenor 3 tahun, yield lompat 19,66 bos menjadi 2,9766%. Terakhir untuk tenor 10 tahun, yield meroket 31,1 bps ke 3,248%.
Yield di pasar sekunder ini akan menjadi patokan penentuan kupon di lelang pasar primer. Saat yield naik, maka investor boleh berharap kupon bakal ikut terdongkrak. Ini tentu membuat obligasi pemerintah AS menjadi instrumen yang sangat seksi.
Bersiap menghadapi lelang, investor pun mulai berburu dolar AS. Kalau mau membeli obligasi pemerintah AS ya tentu saja harus dibayar dengan dolar AS. Hasilnya, permintaan dolar AS meningkat dan mata uang ini kembali menguat.
Penguatan dolar AS tentu memakan korban, dan korbannya ada di seberang barat Samudera Pasifik yaitu Asia. Berbagai mata uang Asia yang sempat bisa melawan kini kembali takluk di hadapan greenback.
Rupiah adalah salah satunya. Pada pukul 13:50 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 15.245 di mana rupiah melemah 0,2%. Padahal rupiah sempat mampu menipiskan pelemahan menjadi hanya minus 0,04%. Dengan pelemahan 0,2%, rupiah bahkan menjadi mata uang terlemah di Asia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 13:57 WIB:
Selain kembalinya keperkasaan dolar AS, dari dalam negeri memang belum ada sentimen positif yang menghinggapi rupiah. Bahkan akhir-akhir ini rupiah justru terpapar kabar kurang sedap.
Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa September sebesar US$ 114,85 miliar. Turun US$ 3,08 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
Sejak awal tahun, cadangan devisa Indonesia sudah melorot US$ 17,13 miliar. Cadangan devisa memang masih memadai dan di atas kecukupan internasional. Namun apabila terus berkurang, maka akan menimbulkan persepsi bahwa Indonesia semakin rentan menghadapi gejolak eksternal.
Selain itu, investor juga mencemaskan prospek transaksi berjalan (current account) Indonesia. Pada kuartal III-2018, kemungkinan transaksi berjalan masih akan defisit cukup lebar.
Pasalnya, neraca perdagangan pada Juli-Agustus defisit miliaran dolar AS dan berpeluang terulang pada September. Bahana Sekuritas memperkirakan neraca perdagangan September defisit US$ 1,2 miliar karena tingginya harga minyak.
"Kombinasi dari harga minyak yang tinggi plus pelemahan rupiah membuat neraca perdagangan Indonesia pada September sepertinya defisit setidaknya US$ 1,2 miliar," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas.
Neraca perdagangan yang defisit akan membebani transaksi berjalan yang menggambarkan ekspor-impor barang dan jasa. Tanpa pasokan devisa yang memadai, rupiah akan sulit menguat. Ini membuat investor cenderung menghindar, karena enggan memegang aset yang nilainya berisiko turun pada masa mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (9/10/2018) pukul 13:24 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi dolar AS secara relatif terhadap enam mata uang dunia) menguat tipis 0,03%. Indeks ini sempat mencicipi zona merah dengan pelemahan tipis.
Terlihat bahwa investor mulai kembali berburu dolar AS sehingga permintaan terhadap mata uang ini meningkat. Sepertinya pelaku pasar bersiap menghadapi lelang obligasi pemerintah AS yang digelar tidak lama lagi.
Tanggal | Tenor | Target Indikatif (US$ Miliar) |
9 Oktober | 13 Pekan | 48 |
9 Oktober | 26 Pekan | 42 |
9 Oktober | 4 Pekan | 40 |
9 Oktober | 52 Pekan | 26 |
10 Oktober | 3 Tahun | 36 |
10 Oktober | 10 Tahun | 23 |
Investor begitu menantikan lelang ini, karena potensi pemberian kupon yang tinggi cukup besar. Sebab di pasar sekunder, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS sedang dalam tren meningkat.
Saat ini, yield untuk obligasi pemerintah AS tenor 13 pekan adalah 2,2217%. Dalam sebulan terakhir, yield instrumen ini naik 8,97 basis poin (bps).
Dalam periode yang sama, yield untuk tenor 26 bulan tenor naik 9,83 bps ke 2,4103%. Lalu untuk yang 4 pekan yield melonjak 19,78 bps menjadi 2,1548%. Sedangkan untuk tenor 52 pekan, yield naik 10,24 bps ke 2,6144%.
Sementara untuk tenor 3 tahun, yield lompat 19,66 bos menjadi 2,9766%. Terakhir untuk tenor 10 tahun, yield meroket 31,1 bps ke 3,248%.
Yield di pasar sekunder ini akan menjadi patokan penentuan kupon di lelang pasar primer. Saat yield naik, maka investor boleh berharap kupon bakal ikut terdongkrak. Ini tentu membuat obligasi pemerintah AS menjadi instrumen yang sangat seksi.
Bersiap menghadapi lelang, investor pun mulai berburu dolar AS. Kalau mau membeli obligasi pemerintah AS ya tentu saja harus dibayar dengan dolar AS. Hasilnya, permintaan dolar AS meningkat dan mata uang ini kembali menguat.
Penguatan dolar AS tentu memakan korban, dan korbannya ada di seberang barat Samudera Pasifik yaitu Asia. Berbagai mata uang Asia yang sempat bisa melawan kini kembali takluk di hadapan greenback.
Rupiah adalah salah satunya. Pada pukul 13:50 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 15.245 di mana rupiah melemah 0,2%. Padahal rupiah sempat mampu menipiskan pelemahan menjadi hanya minus 0,04%. Dengan pelemahan 0,2%, rupiah bahkan menjadi mata uang terlemah di Asia.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 13:57 WIB:
Selain kembalinya keperkasaan dolar AS, dari dalam negeri memang belum ada sentimen positif yang menghinggapi rupiah. Bahkan akhir-akhir ini rupiah justru terpapar kabar kurang sedap.
Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa September sebesar US$ 114,85 miliar. Turun US$ 3,08 miliar dibandingkan bulan sebelumnya.
Sejak awal tahun, cadangan devisa Indonesia sudah melorot US$ 17,13 miliar. Cadangan devisa memang masih memadai dan di atas kecukupan internasional. Namun apabila terus berkurang, maka akan menimbulkan persepsi bahwa Indonesia semakin rentan menghadapi gejolak eksternal.
Selain itu, investor juga mencemaskan prospek transaksi berjalan (current account) Indonesia. Pada kuartal III-2018, kemungkinan transaksi berjalan masih akan defisit cukup lebar.
Pasalnya, neraca perdagangan pada Juli-Agustus defisit miliaran dolar AS dan berpeluang terulang pada September. Bahana Sekuritas memperkirakan neraca perdagangan September defisit US$ 1,2 miliar karena tingginya harga minyak.
"Kombinasi dari harga minyak yang tinggi plus pelemahan rupiah membuat neraca perdagangan Indonesia pada September sepertinya defisit setidaknya US$ 1,2 miliar," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas.
Neraca perdagangan yang defisit akan membebani transaksi berjalan yang menggambarkan ekspor-impor barang dan jasa. Tanpa pasokan devisa yang memadai, rupiah akan sulit menguat. Ini membuat investor cenderung menghindar, karena enggan memegang aset yang nilainya berisiko turun pada masa mendatang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular