Current Account Suram, Rupiah Terlemah di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 October 2018 12:38
Current Account Suram, Rupiah Terlemah di Asia
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Faktor eksternal dan domestik menjadi beban berat bagi rupiah. 

Pada Kamis (4/10/2018) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 15.180 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,73% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kini rupiah menyentuh posisi terlemahnya sepanjang 2018. Lebih jauh, rupiah juga berada di posisi terlemah sejak 10 Juli 1998 atau 20 tahun lalu. 

Rupiah melemah 0,17% kala pembukaan pasar spot. Tidak lama setelah pembukaan, rupiah melemah dan dolar AS pun menembus level Rp 15.100. 

Seiring perjalanan, depresiasi rupiah semakin dalam. Hingga tengah hari ini, posisi terlemah rupiah ada di Rp 15.180/US$ sementara terkuatnya adalah Rp 15.180/US$. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga pukul 12:06 WIB: 



Hari ini rupiah tidak melemah sendirian. Kecuali yen Jepang, seluruh mata uang Asia terdepresiasi. 

Namun dengan depresiasi 0,73%, rupiah jadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. Disusul oleh rupee India dan won Korea Selatan. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 12:11 WIB: 

 

Rupiah terpukul luar-dalam. Dari luar, keperkasaan dolar AS memang belum terbendung. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,34% pada pukul 12:18 WIB. 

Data-data ekonomi AS yang terus positif menjadi penopang penguatan dolar AS. Berdasarkan survei ADP, perekonomian AS menciptakan 230.000 lapangan kerja sepanjang September. Ini adalah angka tertinggi sejak Februari. 

Kemudian survei Institute of Supply Management (ISM) menyebutkan indeks aktivitas non-manufaktur pada September sebesar 61,6 atau naik 3,1 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Agustus 1997. 

Data-data ini semakin mempertegas klaim The Federal Reserve/The Fed bahwa ekonomi Negeri Paman Sam kini sedang dalam masa-masa indah. Angka pengangguran rendah, tetapi di saat yang sama inflasi juga terkendali. 

Dalam sebuah seminar di Boston, Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa prospek ekonomi AS sangat positif. Kondisi ini disebutnya cukup langka sepanjang sejarah Negeri Paman Sam. 

Kelangkaan itu adalah angka pengangguran rendah, di bawah 4%, tetapi inflasi juga relatif terkendali. Peningkatan permintaan karena kenaikan pendapatan masyarakat tidak menyebabkan tekanan inflasi yang berlebihan, inflasi masih sehat. 

"Ini kondisi yang unik dalam sejarah AS modern. Namun ini adalah bukti bahwa kita semua masih dalam masa-masa yang luar biasa. Kondisi yang baik bagi rumah tangga dan pebisnis juga tidak perlu cemas terhadap inflasi yang tinggi," papar Powell, dikutip dari Reuters. 

Positifnya kinerja ekonomi Negeri Adidaya akan menyebabkan The Fed menaikkan suku bunga acuan. Ini dilakukan agar perekonomian AS tidak bergerak liar, kebablasan, dan overheating. "Kenaikan suku bunga secara bertahap berarti menyeimbangkan risiko," ujar Powell. 

Tidak haya Powell, pejabat lainnya pun mengonfirmasi bahwa kenaikan suku bunga sulit dihindari. "Masih layak bagi kami untuk menaikkan suku bunga secara gradual," kata Loretta Mester, Presiden The Fed Cleveland, dikutip dari Reuters. 

"Kami bisa menaikkan suku bunga acuan sampai ke tingkat yang agak restriktif kemudian menahannya. Jalur kenaikan suku bunga sangat jelas," kata Charles Evans, Presiden The Fed Chicago, seperti dikutip dari Reuters. 

Berbekal potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS punya amunisi untuk menyeruak. Sebab saat suku bunga acuan naik, imbalan investasi (terutama di instrumen berbasis pendapatan tetap) akan ikut terkerek. Tentu permintaan dolar AS akan naik dan mata uang ini semakin mahal alias menguat. 


Sentimen domestik juga membebani rupiah, dan bukan tidak mungkin menjadi penyebab rupiah menjadi yang terlemah di Asia. Pelaku pasar mencermati masa depan transaksi berjalan (current account) Indonesia yang suram. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan defisit transaksi berjalan masih akan dalam. Pada akhir tahun, dia menyebut defisit transaksi berjalan di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 


Proyeksi ini membuat pasar cemas. Dengan defisit transaksi berjalan yang dalam, rupiah tentu tidak punya modal untuk menguat. Sebab sumber devisa lainnya yaitu dari pasar keuangan juga seret cenderung minus karena arus modal tersedot ke Negeri Paman Sam. 

Jika defisit transaksi berjalan masih besar, setidaknya sampai akhir tahun, maka rupiah berpotensi melemah sepanjang 2018. Ini tentu bukan kabar baik. Investor mana yang mau mengoleksi aset yang nilainya ke depan akan turun? 

Rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini pun mengalami tekanan jual. Di pasar saham, investor asing melakukan jual bersih Rp 479,98 miliar di perdagangan Sesi I sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpangkas 1,69%. 

Sedangkan di pasar obligasi, indikasi terjadinya tekanan adalah kenaikan imbal hasil (yield). Saat yield naik, artinya harga sedang turun. 

Pada pukul 12:47 WIB, yield obligasi pemerintah tenor 5 tahun naik 9,6 basis poin (bps). Sementara tenor 10 tahun naik 9,2 bps, 15 tahun naik 2,4 bps, 20 tahun naik 2,1 bps, dan 30 tahun naik 4 bps.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular