Kisruh Italia dan Inflasi Domestik Bikin Rupiah Susah Menguat

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 October 2018 12:52
Italia dan Data Inflasi Bebani Rupiah
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Laju dolar AS masih belum terhenti. Pada pukul 12:16 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat 0,09%. 

Dolar AS sudah tidak tertandingi sejak pekan lalu. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 1,1%. 

Pekan lalu, pelumas bagi penguatan dolar AS adalah kenaikan suku bunga acuan. Dalam rapat edisi September, The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%.  

Kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di AS semakin menguntungkan, sehingga permintaan greenback membludak. Lonjakan permintaan pastinya membuat mata uang ini semakin mahal alias menguat. 

Sementara hari ini, sentimen positif bagi dolar AS adalah perkembangan di Eropa. Pemerintahan Italia pimpinan Perdana Menteri Guiseppe Conte menargetkan defisit anggaran 2019-2021 di angka 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal pemerintahan sebelumnya berkomitmen menekan defisit ke 0,8% PDB pada 2019 dan membuat anggaran seimbang (balance budget) pada 2020. 

Pemerintahan dan parlemen Italia memang cenderung populis karena didominasi oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima yang berhaluan kanan-tengah. Italia akan memperbesar anggaran subsidi bagi rakyat miskin dan para pensiunan. 

Kini risiko krisis fiskal bisa terulang kembali, karena pemerintahan PM Conte yang agresif bisa berujung pada peningkatan utang. Akhir tahun lalu saja, utang pemerintah sudah sangat besar yaitu 131,8% PDB. Anggaran yang ekspansif sangat mungkin membuat angka ini semakin membengkak, sehingga risiko utang Italia meningkat. 

Melihat risiko besar di Eropa, investor pun memilih bermain aman. Aset-aset safe haven menjadi tujuan untuk mengamankan dana, sehingga arus modal berpihak ke dolar AS. 

Dari dalam negeri, ada sentimen yang menahan rupiah sehingga sulit menguat. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada September terjadi deflasi 0,18% secara month-to-month (MtM). Sementara secara year-on-year (YoY), inflasi tercatat 2,88% dan inflasi inti YoY ada di 2,82%. 

Pada Agustus, BPS mencatat terjadi deflasi 0,05% secara bulanan. Kemudian inflasi tahunan berada di 3,2% dan inflasi inti tahunan sebesar 2,9%. 

Data inflasi September membawa pesimisme di pasar. Inflasi YoY yang lebih rendah dibandingkan Agustus menandakan permintaan agak lesu. Ini juga tercermin dari inflasi inti yang ikut melambat. 

Setelah rilis data ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan utamanya saham-saham sektor konsumsi. Pada akhir perdagangan Sesi I, sektor barang konsumsi amblas 1,2% yang membuat IHSG terkoreksi 0,4%. Lesunya permintaan membuat saham-saham barang konsumsi terkena aksi jual.

Tekanan eksternal dan domestik ini membuat rupiah sulit bergerak. Namun sebenarnya tidak sampai melemah saja sudah untung, mengingat dolar AS begitu perkasa di dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular