Rupiah Oh Rupiah, Begini Perjalanannya Sejak Awal Tahun

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
01 October 2018 12:58
Rupiah Oh Rupiah, Begini Perjalanannya Sejak Awal Tahun
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perjalanan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun ini penuh tekanan. Belum genap setahun, rupiah melemah dari level Rp 13.000 hingga mendekati Rp 15.000/US$.

Dinamika ekonomi global yang begitu kuat, ditambah kondisi transaksi berjalan yang masih defisit disinyalir jadi penyebab utama kondisi tersebut.
Sejak awal tahun (Year-to-Date/ YtD), Posisi rupiah melemah dari Rp 13.565/US$ ke Rp 14.900/US$ atau terdepresiasi hingga 9,84%. Secara rata-rata, posisi rupiah berada di level Rp 14.043/US$.



Tekanan dari global terhadap rupiah, diawali dari normalisasi kebijakan moneter di AS. Federal Reserve/The Fed semakin menunjukkan sikap agresif/Hawkish semenjak dilantiknya gubernur Jerome Powell. Pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam yang membaik di bawah era Presiden Donald Trump, jadi pertimbangan powell untuk mengetatkan kebijakan moneternya.

Pada periode kuartal I-II 2018 ini, Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat dari 2,3% Year-on-Year (YoY) ke 4,1% YoY. Ini merupakan pertumbuhan tercepat sejak kuartal II-2014.
Peningkatan ini seiring meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat.

Seperti yang diketahui, kontribusi konsumsi terhadap PDB mencapai 70%. Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE) sebagai salah satu parameter yang mengukur hal tersebut, telah mencapai level 2% atau sesuai target yang ditetapkan The Fed. Pada tahun ini, tercatat telah tiga kali Core PCE mencapai level tersebut.

Meningkatnya pengeluaran tersebut, seiring meningkatnya pendapatan rata-rata masyarakat. Average Earning YoY pada tahun ini tumbuh di atas 2,5%. Bahkan di bulan Agustus tumbuh hingga 2,9% YoY atau tertinggi sejak Juni 2009.

Tingkat pengangguran di negara tersebut pun berangsur turun. Sejak awal Januari-Agustus 2018, tingkat pengangguran turun dari 4,1% ke 3,9%. The Fed sendiri memproyeksi di akhir tahun, tingkat pengangguran turun ke level 3,7% atau terendah dalam 49 tahun terakhir.

Kondisi ini yang menjadi pertimbangan The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 3 kali sejak awal tahun. Terhitung sudah 75 bps, Fed Fund Rate (FFR) naik sehingga berada di rentang 2-2,25%.

Kenaikan FFR tentu mendorong penguatan dolar AS karena aliran modal asing balik kampung. Dolar Index yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata utama, telah menguat hingga 3,34% sejak awal tahun. Praktis penguatan tersebut menyebabkan mata uang global termasuk rupiah tertekan.

Belum cukup disitu, tekanan global lain datang dari perang dagang antara AS dan China. Tahun ini, hubungan kedua negara memang kurang baik. Sejak Presiden Trump mendengungkan pengenaan bea masuk impor bagi produk China, direspon dengan ancaman yang sama oleh Negeri Tirai Bambu.

Faktanya, Trump telah mengenakan bea masuk masing-masing 25% pada awal Juli dan 10% pada akhir September 2018. China pun tidak tinggal diam. Pihak Beijing juga ikut mengenakan bea masuk dengan nilai yang sama terhadap produk AS.

Ketegangan keduanya membawa dampak negatif bagi pasar keuangan global termasuk Indonesia. Para investor cenderung mengamankan aset yang mereka miliki, dengan memburu instrumen yang lebih aman (safe haven) seperti dolar AS, yen hingga emas. Di pasar saham misalnya, aliran modal asing yang keluar telah mencapai Rp 50,68 triliun sejak awal tahun.

Apakah masih ada faktor lain? Nyatanya ada. Anjloknya kurs mata uang emerging market pada kuartal III ini semakin memperparah posisi rupiah. Dua mata uang yaitu peso Argentina dan lira Turki anjlok masing-masing 122% dan 59%.

Anjloknya kedua mata uang tersebut jelas menambah kekhawatiran investor. Pasalnya, pelemahan yang ada ditakutkan akan berdampak kepada terganggunya stabilitas pasar keuangan global. Utang valas yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan di Argentina dan Turki dipastikan membengkak sehingga berpotensi memicu terjadinya gagal bayar (default).

Jika terjadi default, dampaknya ikut meluas hingga ke lembaga keuangan yang memberikan pinjaman. Akibatnya, neraca keuangan bisa terganggu sehingga mengancam kelangsungan operasional lembaga-lembaga tersebut hingga bisa berakhir kolaps. Situasi ini bisa mengancam tatanan keuangan global, sehingga investor memilih untuk menghindar. Akibatnya aliran modal asing ke negara-negara emerging market seperti Indonesia pun berkurang.

(NEXT)





Belum cukup sentimen negatif dari global, rupiah semakin tertekan dari sentimen dalam negeri. Tentu akar masalahnya berasal dari kondisi transaksi berjalan yang masih mengalami defisit. 
 
 
Pada tahun 2018 ini, defisit transasi berjalan Indonesia cukup dalam. Bahkan di kuartal II 2018, defisit transaksi berjalan mencapai 3% dari PDB atau terdalam sejak kuartal II 2014 yang mencapai 4,2% dari PDB.
 
Membengkaknya defisit salah satunya diakibatkan neraca perdagangan yang masih minus. Selama tahun ini saja, neraca perdagangan hanya mengalami surplus di bulan Maret dan Juni dan selebihnya mengalami minus
 
 
bahkan kuartal III ini, neraca perdagangan mengalami defisit terbesar di Juli 2018 yang mencapai US$ 2,03 miliar. Hal ini memicu proyeksi jika defisit transaksi berjalan pada periode tersebut akan lebih dalam.
 
Pasalnya dari sisi neraca finansial, aliran modal di Indonesia juga cenderung keluar. Terlihat transaksi asing di pasar saham yang didominasi aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp 50 triliun lebih sejak awal tahun.  Maka, proyeksi defisit transaksi berjalan di kuartal III lebih dalam bisa saja terjadi.
 
Defisit yang belum membaik jadi preseden buruk di mata investor. Akibatnya, rupiah pun terkena imbasnya sehingga menembus level psikologis Rp 14.900/US$ atau terlemah sejak krisis moneter Juli 1998
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular