Rupiah Mulai Menguat, Obat Kuat dari BI Sudah Bekerja?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 September 2018 09:36

Sejatinya dolar AS masih lumayan kuat, meski apresiasinya mulai terkikis. Pada pukul 09:15 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,08%.
Namun mata uang Asia tidak gentar. Investor sepertinya masih berkenan untuk masuk ke pasar keuangan Benua Kuning, meski pasar AS sedang seksi.
Kemarin, The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) ke 2-2,25% atau median 2,125%. Tidak hanya itu, The Fed pun memberi proyeksi ekonomi yang penuh optimisme.
Prakiraan pertumbuhan ekonomi AS pada akhir 2018 direvisi ke atas dari 2,8% menjadi 3,1%. Angka pengangguran pada akhir tahun ini diperkirakan 3,7%, lebih rendah dari posisi Agustus yang sebesar 3,9%.
Optimisme terhadap ekonomi AS membuat Wall Street dan pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam bergairah. Padahal tidak biasanya itu terjadi, karena penguatan di pasar saham cenderung diiringi oleh koreksi obligasi dan begitu pula sebaliknya.
Akan tetapi, bukan berarti Asia harus merana. Ternyata optimisme di Negeri Adidaya malah menular hingga ke Asia, membuat investor pun berani mengambil risiko.
Kenaikan risk appetite ini membantu penguatan pasar keuangan Asia. Ini juga agak di luar kebiasaan, karena biasanya kondisi AS yang membaik hanya dinikmati negara itu sementara negara-negara lain ditinggalkan oleh pelaku pasar.
Tidak hanya di pasar valas, arus modal pun masuk ke pasar saham Benua Kuning. Pada pukul 09:21 WIB, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,49%. Sementara Hang Seng naik 0,4%, Shanghai Composite bertambah 0,17%, dan Straits Times melaju 0,62%.
Selain pulihnya risk appetite di tingkat regional, rupiah juga sepertinya mulai menikmati obat kuat yang disuntikkan BI yaitu kenaikan suku bunga acuan. Kemarin, BI menaikkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 5,75%. Sepanjang tahun ini, BI sudah menaikkan suku bunga acuan 150 bps.
Kenaikan suku bunga acuan akan membuat imbalan investasi di Indonesia naik, sehingga memancing minat investor. Di pasar obligasi, kenaikan minat ini tercermin dari penurunan imbal hasil (yield) karena permintaan yang bertambah.
Yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 1 tahun turun 14,9 bps. Sedangkan tenor 3 tahun turun 3,3 bps, 15 tahun turun 0,3 bps, dan 20 tahun turun 2,1 bps. Ternyata tidak hanya di instrumen berpendapatan tetap, di instrumen berisiko seperti saham pun arus modal mengalir cukup deras. Pada pukul 09:28 WIB, investor asing membukukan beli bersih Rp 106,96 miliar yang membuat IHSG bertahan di jalur hijau.
Terbantu oleh masuknya arus modal, rupiah punya pijakan untuk menguat. Namun karena penguatan rupiah masih sangat terbatas, potensi untuk kembali melemah masih cukup besar. Oleh karena itu, pelaku pasar masih harus selalu waspada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Namun mata uang Asia tidak gentar. Investor sepertinya masih berkenan untuk masuk ke pasar keuangan Benua Kuning, meski pasar AS sedang seksi.
Kemarin, The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) ke 2-2,25% atau median 2,125%. Tidak hanya itu, The Fed pun memberi proyeksi ekonomi yang penuh optimisme.
Optimisme terhadap ekonomi AS membuat Wall Street dan pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam bergairah. Padahal tidak biasanya itu terjadi, karena penguatan di pasar saham cenderung diiringi oleh koreksi obligasi dan begitu pula sebaliknya.
Akan tetapi, bukan berarti Asia harus merana. Ternyata optimisme di Negeri Adidaya malah menular hingga ke Asia, membuat investor pun berani mengambil risiko.
Kenaikan risk appetite ini membantu penguatan pasar keuangan Asia. Ini juga agak di luar kebiasaan, karena biasanya kondisi AS yang membaik hanya dinikmati negara itu sementara negara-negara lain ditinggalkan oleh pelaku pasar.
Tidak hanya di pasar valas, arus modal pun masuk ke pasar saham Benua Kuning. Pada pukul 09:21 WIB, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,49%. Sementara Hang Seng naik 0,4%, Shanghai Composite bertambah 0,17%, dan Straits Times melaju 0,62%.
Selain pulihnya risk appetite di tingkat regional, rupiah juga sepertinya mulai menikmati obat kuat yang disuntikkan BI yaitu kenaikan suku bunga acuan. Kemarin, BI menaikkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 5,75%. Sepanjang tahun ini, BI sudah menaikkan suku bunga acuan 150 bps.
Kenaikan suku bunga acuan akan membuat imbalan investasi di Indonesia naik, sehingga memancing minat investor. Di pasar obligasi, kenaikan minat ini tercermin dari penurunan imbal hasil (yield) karena permintaan yang bertambah.
Yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 1 tahun turun 14,9 bps. Sedangkan tenor 3 tahun turun 3,3 bps, 15 tahun turun 0,3 bps, dan 20 tahun turun 2,1 bps. Ternyata tidak hanya di instrumen berpendapatan tetap, di instrumen berisiko seperti saham pun arus modal mengalir cukup deras. Pada pukul 09:28 WIB, investor asing membukukan beli bersih Rp 106,96 miliar yang membuat IHSG bertahan di jalur hijau.
Terbantu oleh masuknya arus modal, rupiah punya pijakan untuk menguat. Namun karena penguatan rupiah masih sangat terbatas, potensi untuk kembali melemah masih cukup besar. Oleh karena itu, pelaku pasar masih harus selalu waspada.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular