Harga Minyak Tembus US$80/barel, Ini Untung-Ruginya Bagi RI

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 September 2018 18:45
Harga Minyak Tembus US$80/barel, Ini Untung-Ruginya Bagi RI
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC IndonesiaAwal pekan ini menjadi milestone bagi pergerakan harga minyak dunia. Pada perdagangan hari Senin (24/09/2018), harga minyak jenis brent untuk pertama kalinya menembus level US$80/barel (tepatnya US$81,2/barel) sejak November 2014.



Kenaikan harga minyak global tersebut tidak lepas dari kekhawatiran pelaku pasar terhadap sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Iran. Per November 2018, sanksi tersebut akan menyasar industri perminyakan di Teheran.

Terlebih, AS juga menabur ancaman bagi negara-negara sekutunya untuk menghentikan impor minyak mentah dari Iran mulai November 2018.

Akibatnya, industri perminyakan di Negeri Persia kini berada di ujung tanduk. Bank investasi JPMorgan bahkan memperkirakan hilangnya pasokan minyak global sekitar 1,5 juta barel/hari menyusul potensi disrupsi pasokan dari Iran.

Sementara itu, hasil pertemuan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mitra produsen minyak non-OPEC (termasuk Rusia) pada akhir pekan lalu malah menyuntikkan energi tambahan bagi harga sang emas hitam.

Penyebabnya, pada pertemuan itu tidak terjadi kesepakatan formal untuk menambah suplai minyak, demi mengompensasi situasi di Iran. Akibatnya, pelaku pasar membaca bahwa ada potensi kekurangan pasokan karena tidak ada kenaikan produksi. Berkurangnya pasokan tentu membuat harga minyak terkerek ke atas.

Lantas, bagaimana dampak harga minyak yang tinggi terhadap perekonomian Indonesia? Berikut ulasan Tim Riset CNBC Indonesia.

(NEXT)
Sebagaimana diketahui, kenaikan harga minyak internasional dipastikan mengerek harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP). Pasalnya, referensi harga dated brent sejauh ini masih digunakan sebagai basis perhitungan harga ICP.

Berdasarkan analisis sensitivitas pada Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2018, kenaikan harga minyak sebenarnya memberikan bekah bagi anggaran negara. Tiap kenaikan harga minyak US$1/barel, maka akan menambah pendapatan negara sebesar Rp 3,4-3,9 triliun.

Sementara, untuk belanja negaranya bisa naik Rp 2,4-3,7 triliun. Artinya, surplus anggaran yang bisa terjadi tiap kenaikan harga minyak per US$1/barel adalah Rp 0,2 – 1 triliun.



Per bulan Agustus, harga rata-rata ICP memang masih berada di kisaran US$69,36/barel. Namun, dengan kini harga brent sudah menembus level US$80/barel, harga ICP di bulan September berpeluang besar terkerek naik.

Asumsikan saja harga rata-rata ICP mencapai US$80/barel. Artinya ada selisiih US$32/barel lebih tinggi dibandingkan harga ICP di asumsi dasar ekonomi makro APBN 2018 sebesar US$48/barel.

Apabila dikalkulasi, kenaikan harga rata-rata ICP menjadi US$80/barel akan menyebabkan surplus anggaran sebesar Rp6,4 – 32 triliun. Keuntungan sebesar itu yang dipanen oleh pemerintah pusat menyusul perkasanya harga minyak.

Keuntungan pemerintah ini sebenarnya sudah tercermin dari penerimaan negara di sektor migas yang melesat di tahun ini. Mengutip data APBN KiTA hingga akhir Agustus 2018, Pajak Penghasilan (PPh) Migas mampu tumbuh 19,2% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka Rp42 triliun. Realisasinya sudah mencapai 110,2% dari target APBN 2018.

Kemudian, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Minyak Bumi mampu naik 53,8% YoY ke Rp83,8 triliun hingga akhir Agustus 2018. Realisasinya sudah mencapai 140,7% dari target APBN 2018.

(NEXT) Sudah bukan rahasia bahwa kinerja perdagangan Indonesia di tahun 2018 sama sekali tidak membanggakan. Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$4,11 miliar (Rp61,29 triliun) pada periode Januari-Agustus 2018.  

Menariknya, ternyata defisit perdagangan untuk kelompok migas saja justru jauh lebih besar, yakni mencapai US$8,35 miliar (Rp124,53 triliun) di periode yang sama! Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok utama anjloknya defisit neraca perdagangan di tahun ini.

Apabila dibandingkan dengan capaian Januari-Agustus 2018 sebesar US$5,4 miliar, defisit migas di tahun ini sudah meningkat sekitar 55%.



Sebagai negara penyandang status net importir minyak, ada dua alasan yang mendorong membengkaknya defisit migas di tahun ini. Faktor tersebut adalah naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% YoY. Di sepanjang tahun berjalan ini, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 22,43% (hingga perdagangan tanggal 25 September 2018).

Di sisi lain, saat harga minyak melambung, nilai tukar rupiah justru terjun bebas. Di sepanjang tahun berjalan ini, rupiah sudah terdepresiasi nyaris 10% terhadap dolar AS. Pelemahan rupiah akan membuat harga minyak relatif lebih mahal, karena komoditas tersebut diperdagangkan dengan mata uang Negeri Paman Sam.

Celakanya, gara-gara defisit perdagangan migas makin parah, rupiah jadi sulit untuk menguat. Akibat defisit perdagangan yang semakin besar, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun berpotensi makin bengkak.

Sebagai informasi, CAD kuartal II-2018 sudah menembus 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Capaian itu merupakan yang terparah sejak tahun 2014.

Padahal, CAD seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Sebab, transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, impor barang dan jasa. Saat CAD terpuruk, rupiah seakan tidak mempunyai pijakan yang solid untuk bisa bergerak menguat.

(NEXT) Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu bergerak linier dengan pergerakan harga minyak dunia. Pada tahun 2012, di saat harga minyak brent (rata-rata tahunan) mencapai US$111,67/barel, subsidi BBM dan Elpiji mencapai Rp211,89 triliun.

Setahun setelahnya, subsidi BBM dan Elpiji turun 0,9% YoY ke Rp209,99 triliun rupiah. Penurunan tersebut merespon harga minyak brent juga turun sekitar 2,66% YoY ke US$108,7/barel.

Rumus di atas juga berlaku di pemerintahan Jokowi-JK. Saat harga minyak turun 46% YoY ke level US$53,6/barel pada 2015, subsidi BBM dan Elpiji juga ikut dipangkas sebesar 75% ke angka Rp60,75 triliun.



Di tahun ini ceritanya tidak jauh berbeda. Di saat harga minyak kembali menanjak naik, bahkan jauh melebihi asumsi makro di APBN 2018, subsidi kembali membengkak. Mengutip data APBN KiTA, subsidi BBM dan Elpiji naik 72,1% YoY ke Rp46,3 triliun hingga akhir Agustus 2018.

Pertumbuhan subsidi BBM dan Elpiji tersebut lantas menjadi yang paling besar dibandingkan pos belanja pemerintah lainnya. Realisasi subsidi pos ini bahkan sudah mencapai 98,9% dari target APBN 2018. Padahal tahun ini baru berjalan 8 bulan.

Membengkaknya subsidi BBM di tahun ini nampaknya tidak lepas dari keputusan pemerintah untuk menaikkan subsidi solar menjadi Rp2.000/liter, dari semula Rp500/liter.

(NEXT) Bagaimana dengan subsidi untuk premium? Sejak awal masa kepemimpinannya, Jokowi memang sudah mengambil langkah tegas dengan tidak lagi mengalokasikan subsidi untuk premium. Akan tetapi, presiden ke-7 RI ini memutuskan untuk menahan harga premium setidaknya hingga tahun 2019.

Akibatnya, kerugian akibat selisih harga jual premium saat ini dengan kenaikan harga minyak dunia, murni ditanggung oleh Pertamina. Terlebih, lagi-lagi Jokowi mengambil langkah yang lebih kontroversial dengan membuka lagi keran pasokan premium ke Jawa-Madura-Bali (Jamali).

Tak pelak beban Pertamina, selaku distributor bahan bakar minyak terbesar di RI, semakin besar. Mengutip riset dari Bank Mandiri, Pertamina bisa merugi hingga Rp2,8 triliun setiap harga minyak Brent naik US$1 per barel.

Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno juga memaparkan kondisi keuangan Pertamina yang seret di tengah kenaikan harga minyak global.

Pertamina yang biasanya bisa kantongi laba hingga puluhan triliun rupiah dalam satu semester, kini sedang terseok-terseok. Laba perseroan migas terbesar RI ini, kata Fajar, tak sampai Rp 5 triliun.

"Iya, baru tercapai semester 1 tidak sampai Rp 5 triliun. Jauh lah dari RKAP (Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan) Rp 32 triliun, pasti prognosanya akan berubah, termasuk juga harga ICP dan kurs," ujar Fajar.

Jadi, dengan kenaikan harga minyak, apakah negara ini lebih untung? Atau malah buntung? Silakan pembaca menyimpulkan sendiri dengan membaca paparan di atas.

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/gus) Next Article Gara-gara Stok Minyak AS, Harga 'Emas Hitam' Galau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular