
Kondisi Perbankan di Tengah Pelemahan Rupiah, Masihkah Aman?
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
22 September 2018 14:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun, sempat menimbulkan kekhawatiran bagi kelangsungan industri perbankan di Indonesia. Terhitung rupiah telah terdepresiasi hingga 9,22% hingga berada di posisi Rp 14.816/US%
Maklum, industri jasa keuangan merupakan salah industri yang paling vital di negeri ini. Perannya dalam mendukung aktivitas ekonomi masyarakat terlihat dari dua fungsi utama yang dimiliki, yaitu tempat penyimpanan dana (funding) dan penyaluran dana (lending). Ketika kinerja industri ini terganggu maka besar kemungkinan laju perekonomian akan melambat. Lantas apa hubungan antara pelemahan rupiah dengan kinerja perbankan? Setidaknya ada 3 indikator yang menjadi penghubung antara kedua hal tersebut.
Pertama, Penyimpanan Dana. Saat terjadi gejolak kurs, nasabah akan cenderung memegang dolar sambil menunggu waktu yang tepat untuk menukarkannya. Saat hal ini terjadi, simpanan valas di perbankan berpotensi menurun. Akibatnya terjadi pengetatan likuiditas valas di industri perbankan
Kedua, Penyaluran Kredit. Pergerakan kurs menjadi pertimbangan bagi nasabah, khususnya dalam mengambil keputusan bisnis termasuk pengajuan kredit ke bank. Hal ini berdampak kepada penyaluran kredit yang berpotensi melambat, akibat sikap wait and see nasabah. Kredit yang melambat, akan ikut menggerus pendapatan bank sehingga berpengaruh kepada penurunan kinerja.
Ketiga, Tingkat Kredit Macet/Non-Performing Loan (NPL). Pelemahan kurs berpotensi meningkatkan kredit macet. Saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk membuka usaha, besar kemungkinan selisih kurs dapat mempengaruhi kelangsungan bisnis yang ada. Biasanya kondisi ini terlihat dari pembengkakan cost. Saat cost meningkat, maka potensi keuntungan akan berkurang. Hal ini dapat menurunkan kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajibannya terhadap bank. Akibatnya, kredit macet dapat terjadi.
Untuk mengkonfirmasi hal tersebut, mari kita lihat Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2018.
(NEXT)
Maklum, industri jasa keuangan merupakan salah industri yang paling vital di negeri ini. Perannya dalam mendukung aktivitas ekonomi masyarakat terlihat dari dua fungsi utama yang dimiliki, yaitu tempat penyimpanan dana (funding) dan penyaluran dana (lending). Ketika kinerja industri ini terganggu maka besar kemungkinan laju perekonomian akan melambat. Lantas apa hubungan antara pelemahan rupiah dengan kinerja perbankan? Setidaknya ada 3 indikator yang menjadi penghubung antara kedua hal tersebut.
Kedua, Penyaluran Kredit. Pergerakan kurs menjadi pertimbangan bagi nasabah, khususnya dalam mengambil keputusan bisnis termasuk pengajuan kredit ke bank. Hal ini berdampak kepada penyaluran kredit yang berpotensi melambat, akibat sikap wait and see nasabah. Kredit yang melambat, akan ikut menggerus pendapatan bank sehingga berpengaruh kepada penurunan kinerja.
Ketiga, Tingkat Kredit Macet/Non-Performing Loan (NPL). Pelemahan kurs berpotensi meningkatkan kredit macet. Saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk membuka usaha, besar kemungkinan selisih kurs dapat mempengaruhi kelangsungan bisnis yang ada. Biasanya kondisi ini terlihat dari pembengkakan cost. Saat cost meningkat, maka potensi keuntungan akan berkurang. Hal ini dapat menurunkan kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajibannya terhadap bank. Akibatnya, kredit macet dapat terjadi.
Untuk mengkonfirmasi hal tersebut, mari kita lihat Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2018.
(NEXT)
Next Page
Simpanan Dolar Cs Melambung
Pages
Most Popular