Rupiah Jadi yang Terlemah di Asia, Tapi Jangan Menyerah!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 September 2018 08:42
Rupiah Jadi yang Terlemah di Asia, Tapi Jangan Menyerah!
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan pagi ini. Namun rupiah masih punya harapan karena sejatinya greenback juga sedang bermasalah. 

Pada Rabu (19/9/2018), US$ 1 dibuka di Rp 14.850 di perdagangan pasar spot. Tidak berubah dibandingkan penutupan hari sebelumnya. 

Beberapa menit setelah pasar dibuka, rupiah tidak bisa bertahan. Dolar AS merangsek dengan mencetak penguatan 0,27% pada pukul 08:33 WIB sehingga US$ 1 berada di Rp 14.890. 

Seperti rupiah, mata uang Asia pun mayoritas tidak berdaya di hadapan dolar AS. Praktis hanya yen Jepang yang mampu menguat, sisanya tidak selamat. Bahkan rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Benua Kuning. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 08:18 WIB: 



Seperti kemarin, dolar AS sejatinya masih terombang-ambing. Sempat menguat pada dini hari tadi, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi tipis 0,02% pada pukul 08:21 WIB. 

Sepertinya pasar masih mencari posisi dan menimbang dampak dari lanjutan perang dagang AS vs China. Setelah kemarin Presiden AS Donald Trump mengumumkan pengenaan bea masuk 10% bagi importasi sekitar 6.600 produk China senilai US$ 200 miliar, Negeri Tirai Bambu pun membalas dengan kebijakan serupa. 

Seperti AS, mulai 24 September nanti China mulai memberlakukan bea masuk 10% bagi importasi 5.207 produk made in USA senilai US$ 60 miliar. "China terpaksa untuk merespons kebijakan AS yang proteksionistik. Kami tidak punya pilihan selain merespons dengan bea masuk," tegas pernyataan Kementerian Keuangan China, dikutip dari Reuters. 

Dengan kenaikan tensi perang dagang, maka rencana perundingan dagang AS-China menjadi samar-samar. Pekan lalu, AS dan China sudah mengonfirmasi akan ada pertemuan membahas isu-isu perdagangan meski waktu dan tempatnya belum ditentukan. 

"Presiden Trump adalah pebisnis yang keras. Dia mencoba menekan China agar mendapatkan manfaat saat bernegosiasi. Saya rasa itu tidak akan berhasil terhadap China," kata Fang Xinghai, Wakil Ketua Regulator Pasar Modal China, dikutip dari Reuters. 

Kini China sedang meninjau kembali apakah mereka perlu mengirimkan delegasi pada pertemuan tersebut, menurut seorang sumber di lingkaran dalam pemerintahan, dikutip dari South China Morning Post. Menurut Fang, China sebenarnya berharap bisa duduk dan berdialog dengan AS. Namun bea masuk baru yang diterapkan AS sudah meracuni suasana. 

Biasanya sentimen perang dagang akan membawa berkah bagi dolar AS. Saat perang dagang berkecamuk, investor cenderung bermain aman dengan memburu aset-aset safe haven seperti greenback. Ini yang mendukung penguatan nilai tukar mata uang Negeri Adidaya. 

Namun saat ini, investor mulai mencerna bahwa perang dagang justru merugikan AS. Bagaimanapun juga, AS masih membutuhkan produk impor dari China (terutama bahan baku dan barang modal) untuk menggerakkan industri dalam negeri mereka.

"Keputusan Presiden Trump sangat ceroboh. Ini akan melukai berbagai pihak di penjuru negeri," tegas Dean Garfield, Presiden Information Technology Industry Council, dikutip dari Reuters. 

Suara kritis juga datang dari Kenneth Jarrett, Presiden US Chambers of Commerce. Menurutnya seperempat anggota kamar dagang AS akan terkena dampak negatif dari bea masuk atas produk China. Penerapan bea masuk untuk memancing investasi dan penciptaan lapangan kerja di AS juga dinilainya tidak akan berhasil, yang ada malah lapangan kerja menyusut karena kenaikan beban dunia usaha. 

Bila impor bahan baku dan barang modal menjadi mahal karena kenaikan bea masuk, maka beban dunia usaha akan bertambah. Saat kenaikan biaya ini dibebankan ke konsumen, yang terjadi adalah kenaikan harga alias inflasi.  

Namun jika sulit dibebankan ke konsumen, maka dunia usaha akan menanggung kerugian. Apabila kerugian ini menumpuk, maka hasilnya adalah perlambatan industri, investasi, dan pertumbuhan ekonomi. 

Lagipula, penguatan dolar AS yang terlalu tajam malah merugikan ekspor AS karena produk mereka menjadi mahal dan kurang kompetitif di pasar global. Dalam setahun terakhir, Dollar Index sudah menguat 3,09% sedangkan selama 6 bulan ke belakang penguatannya mencapai 5,39%. Oleh karena itu, pelaku pasar seakan menghukum dolar AS.  

Meski begitu, dolar AS ternyata masih bisa menancapkan kukunya di Asia. Namun dengan kondisi serba tidak pasti seperti sekarang, masih ada ruang bagi mata uang Asia untuk berbalik arah seperti yang terjadi kemarin.

Jangan menyerah, rupiah!

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular