Investor Galau Sikapi Perang Dagang, Dolar AS Poco-poco
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 September 2018 14:12

Dolar AS yang seperti tari poco-poco disebabkan oleh investor yang masih mencerna dampak babak baru perang dagang AS vs China. Hari ini, Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar. Bea masuk 10% ini berlaku mulai 24 September dan tarifnya bakal naik menjadi 25% pada akhir tahun.
Kebijakan ini berpotensi menyulut perang dagang babak terbaru. Sebab, sangat mungkin China akan melancarkan serangan balasan. Akibatnya, AS dan China masih akan saling hambat di bidang perdagangan.
AS dan China adalah kekuatan ekonomi terbesar di bumi. Saat mereka saling hambat, maka arus perdagangan global akan terpengaruh. Pertumbuhan ekonomi dunia pun terancam.
Oleh karena itu, investor masih bertindak hati-hati dan bermain aman. Aset-aset berisiko, apalagi di negara berkembang, masih bukan menjadi pilihan utama.
Namun, ternyata hal itu bukan menjadi faktor tunggal. Sebab, sejauh ini respons China masih 'sopan'.
Bahkan komentar positif sudah datang dari pejabat tinggi Beijing. Zhong Shan, Menteri Perdagangan China, masih berharap AS dan China bisa duduk bersama dan mencapai kesepakatan.
"Tidak ada pemenang dalam perang dagang. Proteksionisme AS akan melukai seluruh dunia, tidak ada yang mendapat manfaat. Oleh karena itu, kerja sama AS-China adalah satu-satunya pilihan yang tepat," kata Zhong, dikutip dari Reuters.
Untuk menghindari konflik lebih lanjut, tambah Zhong, China juga siap lebih membuka diri. China akan merancang iklim bisnis yang lebih kondusif bagi sektor swasta.
Apalagi pelaku pasar juga menilai bahwa perang dagang lebih lanjut bisa saja malah menjadi bumerang bagi AS. Keinginan Trump untuk mengurangi defisit perdagangan dengan China malah bisa melukai ekonomi AS sendiri.
Saat produk China dikenakan bea masuk, maka biaya impornya menjadi lebih mahal. Padahal AS masih butuh barang-barang dari China, terutama bahan baku dan barang modal.
Pada 2017, impor AS dari China mencapai US$ 505,5 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 147 miliar (29,08%) adalah mesin dan alat listrik yang termasuk barang modal. Industri dalam negeri AS membutuhkannya untuk memproduksi berbagai barang.
Bila impor mesin dan alat listrik menjadi mahal karena kenaikan bea masuk, maka beban dunia usaha akan bertambah. Saat kenaikan biaya ini dibebankan ke konsumen, yang terjadi adalah kenaikan harga alias inflasi.
Namun jika sulit dibebankan ke konsumen, maka dunia usaha akan menanggung kerugian. Apabila kerugian ini menumpuk, maka hasilnya adalah gulung tikar secara massal.
Investor mulai khawatir terhadap risiko terburuk dari perang dagang terhadap perekonomian AS. Oleh karena itu, perang dagang yang biasanya mendorong laju dolar AS justru menjadi senjata makan tuan. Mungkin saat di mana perang dagang menjadi isu negatif bagi greenback sudah semakin dekat.
Dihadapkan pada dua hal tersebut, dolar AS bergerak maju-mundur. Sepertinya pasar masih mengukur dampak perang dagang terhadap perekonomian Negeri Adidaya. Sambil mencerna, sepertinya pemilik modal masih bertindak hati-hati.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Kebijakan ini berpotensi menyulut perang dagang babak terbaru. Sebab, sangat mungkin China akan melancarkan serangan balasan. Akibatnya, AS dan China masih akan saling hambat di bidang perdagangan.
AS dan China adalah kekuatan ekonomi terbesar di bumi. Saat mereka saling hambat, maka arus perdagangan global akan terpengaruh. Pertumbuhan ekonomi dunia pun terancam.
Namun, ternyata hal itu bukan menjadi faktor tunggal. Sebab, sejauh ini respons China masih 'sopan'.
Bahkan komentar positif sudah datang dari pejabat tinggi Beijing. Zhong Shan, Menteri Perdagangan China, masih berharap AS dan China bisa duduk bersama dan mencapai kesepakatan.
"Tidak ada pemenang dalam perang dagang. Proteksionisme AS akan melukai seluruh dunia, tidak ada yang mendapat manfaat. Oleh karena itu, kerja sama AS-China adalah satu-satunya pilihan yang tepat," kata Zhong, dikutip dari Reuters.
Untuk menghindari konflik lebih lanjut, tambah Zhong, China juga siap lebih membuka diri. China akan merancang iklim bisnis yang lebih kondusif bagi sektor swasta.
Apalagi pelaku pasar juga menilai bahwa perang dagang lebih lanjut bisa saja malah menjadi bumerang bagi AS. Keinginan Trump untuk mengurangi defisit perdagangan dengan China malah bisa melukai ekonomi AS sendiri.
Saat produk China dikenakan bea masuk, maka biaya impornya menjadi lebih mahal. Padahal AS masih butuh barang-barang dari China, terutama bahan baku dan barang modal.
Pada 2017, impor AS dari China mencapai US$ 505,5 miliar. Dari jumlah tersebut, US$ 147 miliar (29,08%) adalah mesin dan alat listrik yang termasuk barang modal. Industri dalam negeri AS membutuhkannya untuk memproduksi berbagai barang.
Bila impor mesin dan alat listrik menjadi mahal karena kenaikan bea masuk, maka beban dunia usaha akan bertambah. Saat kenaikan biaya ini dibebankan ke konsumen, yang terjadi adalah kenaikan harga alias inflasi.
Namun jika sulit dibebankan ke konsumen, maka dunia usaha akan menanggung kerugian. Apabila kerugian ini menumpuk, maka hasilnya adalah gulung tikar secara massal.
Investor mulai khawatir terhadap risiko terburuk dari perang dagang terhadap perekonomian AS. Oleh karena itu, perang dagang yang biasanya mendorong laju dolar AS justru menjadi senjata makan tuan. Mungkin saat di mana perang dagang menjadi isu negatif bagi greenback sudah semakin dekat.
Dihadapkan pada dua hal tersebut, dolar AS bergerak maju-mundur. Sepertinya pasar masih mengukur dampak perang dagang terhadap perekonomian Negeri Adidaya. Sambil mencerna, sepertinya pemilik modal masih bertindak hati-hati.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular