Sempat Kendur, Dolar AS Kencang Lagi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 September 2018 12:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah sampai perdagangan tengah hari ini. Dolar AS kembali ke jalur pendakian setelah sempat terhenti sesaat.
Pada Senin (18/9/2018) pukul 12:03 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.925 di pasar spot. Rupiah melemah 0,37% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Rupiah sudah melemah 0,1% sejak pembukaan pasar, tetapi hanya 0,1%. Seiring perjalanan pasar depresiasi semakin dalam. Dolar AS pun kembali nyaman di kisaran Rp 14.900, terkuat sejak 5 September.
Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.885/US$, sedangkan terkuatnya adalah Rp 14.930/US$. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini:
Mata uang Asia yang sempat melawan kini kembali takluk di hadapan dolar AS. Hanya rupee India, peso Filipina, dan dolar Singapura yang mampu menguat, sisanya tidak bisa menyelamatkan diri.
Namun dengan pelemahan 0,37%, rupiah menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam di Asia. Di tempat kedua ada yen Jepang, dan ringgit Malaysia di posisi ketiga.
Berikut perkembangan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada 12:16 WIB:
Dolar AS yang sempat mengendur kini kencang lagi. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,02% pada pukul 12:20 WIB. Indeks ini sempat terkoreksi tipis karena aksi lepas yang dialami mata uang Negeri Paman Sam.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan Negeri Adidaya akan mengenakan bea masuk 10% untuk ribuan produk China yang nilai impornya mencapai US$ 200 miliar. Kebijakan ini akan berlaku pada 24 September, dan pada akhir tahun tarifnya naik menjadi 25%.
Investor sempat dibuat cemas karena langkah ini diperkirakan memicu babak baru perang dagang AS vs China. Namun ternyata China tidak panas.
Belum ada pernyataan bahwa Beijing akan melakukan serangan balasan. Zhong Shan, Menteri Perdagangan China, bahkan berharap AS dan China bisa duduk bersama dan mencapai kesepakatan.
"Tidak ada pemenang dalam perang dagang. Proteksionisme AS akan melukai seluruh dunia, tidak ada yang mendapat manfaat. Oleh karena itu, kerja sama AS-China adalah satu-satunya pilihan yang tepat," kata Zhong, dikutip dari Reuters.
Untuk menghindari konflik lebih lanjut, tambah Zhong, China juga siap lebih membuka diri. China akan merancang iklim bisnis yang lebih kondusif bagi sektor swasta.
Pernyataan ini mengubah perkiraan pasar yang memperkirakan China akan melakukan balas dendam yang lebih kejam. Sebelumnya, dikabarkan bahwa China tidak hanya akan membalas melalui instrumen bea masuk tetapi juga pembatasan ekspor untuk bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan industri Negeri Paman Sam.
Melihat perkembangan ini, investor mulai berharap Washington dan Beijing kembali ke meja perundingan. Pekan lalu, sudah pembicaraan ke arah sana yang mungkin bisa dimunculkan kembali.
Investor sempat kembali percaya diri untuk mengambil risiko dan masuk ke aset-aset di negara berkembang. Namun itu tidak lama karena kekhawatiran risiko perang dagang ternyata masih menghantui.
Sebelum ada kesepakatan yang jelas antara AS dan China, risiko perang dagang memang masih sangat tinggi. Oleh karena itu, investor akan cenderung bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kekurangan pasokan modal, rupiah pun terbawa arus penguatan dolar AS yang terjadi secara global.
Faktor domestik juga ikut membebani rupiah. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode Agustus 2018. Hasilnya, neraca perdagangan mengalami defisit US$ 1,02 miliar.
Defisit ini membuat nasib transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018 menjadi penuh tanda tanya. Sebab, neraca perdagangan Juli pun defisit sangat dalam yaitu US$ 2,03 miliar.
Kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 akan membukukan defisit yang lumayan dalam. Pada kuartal sebelumnya, defisit pun sudah cukup mengkhawatirkan yaitu mencapai 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artinya, pijakan bagi penguatan rupiah sangat terbatas. Rupiah kekurangan devisa untuk menguat, karena minimnya pasokan dari ekspor-impor barang dan jasa. Akibatnya, rupiah jadi mata uang terlemah di Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Pada Senin (18/9/2018) pukul 12:03 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.925 di pasar spot. Rupiah melemah 0,37% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Rupiah sudah melemah 0,1% sejak pembukaan pasar, tetapi hanya 0,1%. Seiring perjalanan pasar depresiasi semakin dalam. Dolar AS pun kembali nyaman di kisaran Rp 14.900, terkuat sejak 5 September.
Mata uang Asia yang sempat melawan kini kembali takluk di hadapan dolar AS. Hanya rupee India, peso Filipina, dan dolar Singapura yang mampu menguat, sisanya tidak bisa menyelamatkan diri.
Namun dengan pelemahan 0,37%, rupiah menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam di Asia. Di tempat kedua ada yen Jepang, dan ringgit Malaysia di posisi ketiga.
Berikut perkembangan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada 12:16 WIB:
Dolar AS yang sempat mengendur kini kencang lagi. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,02% pada pukul 12:20 WIB. Indeks ini sempat terkoreksi tipis karena aksi lepas yang dialami mata uang Negeri Paman Sam.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan Negeri Adidaya akan mengenakan bea masuk 10% untuk ribuan produk China yang nilai impornya mencapai US$ 200 miliar. Kebijakan ini akan berlaku pada 24 September, dan pada akhir tahun tarifnya naik menjadi 25%.
Investor sempat dibuat cemas karena langkah ini diperkirakan memicu babak baru perang dagang AS vs China. Namun ternyata China tidak panas.
Belum ada pernyataan bahwa Beijing akan melakukan serangan balasan. Zhong Shan, Menteri Perdagangan China, bahkan berharap AS dan China bisa duduk bersama dan mencapai kesepakatan.
"Tidak ada pemenang dalam perang dagang. Proteksionisme AS akan melukai seluruh dunia, tidak ada yang mendapat manfaat. Oleh karena itu, kerja sama AS-China adalah satu-satunya pilihan yang tepat," kata Zhong, dikutip dari Reuters.
Untuk menghindari konflik lebih lanjut, tambah Zhong, China juga siap lebih membuka diri. China akan merancang iklim bisnis yang lebih kondusif bagi sektor swasta.
Pernyataan ini mengubah perkiraan pasar yang memperkirakan China akan melakukan balas dendam yang lebih kejam. Sebelumnya, dikabarkan bahwa China tidak hanya akan membalas melalui instrumen bea masuk tetapi juga pembatasan ekspor untuk bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan industri Negeri Paman Sam.
Melihat perkembangan ini, investor mulai berharap Washington dan Beijing kembali ke meja perundingan. Pekan lalu, sudah pembicaraan ke arah sana yang mungkin bisa dimunculkan kembali.
Investor sempat kembali percaya diri untuk mengambil risiko dan masuk ke aset-aset di negara berkembang. Namun itu tidak lama karena kekhawatiran risiko perang dagang ternyata masih menghantui.
Sebelum ada kesepakatan yang jelas antara AS dan China, risiko perang dagang memang masih sangat tinggi. Oleh karena itu, investor akan cenderung bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kekurangan pasokan modal, rupiah pun terbawa arus penguatan dolar AS yang terjadi secara global.
Faktor domestik juga ikut membebani rupiah. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode Agustus 2018. Hasilnya, neraca perdagangan mengalami defisit US$ 1,02 miliar.
Defisit ini membuat nasib transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018 menjadi penuh tanda tanya. Sebab, neraca perdagangan Juli pun defisit sangat dalam yaitu US$ 2,03 miliar.
Kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 akan membukukan defisit yang lumayan dalam. Pada kuartal sebelumnya, defisit pun sudah cukup mengkhawatirkan yaitu mencapai 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Artinya, pijakan bagi penguatan rupiah sangat terbatas. Rupiah kekurangan devisa untuk menguat, karena minimnya pasokan dari ekspor-impor barang dan jasa. Akibatnya, rupiah jadi mata uang terlemah di Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular