Dolar AS Mulai Lesu, Rupiah Malah Terlemah di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 September 2018 11:05
Dolar AS Mulai Lesu, Rupiah Malah Terlemah di Asia
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) bersiap melaju pada perdagangan hari ini. Sentimen perang AS vs China menjadi energi utama penguatan greenback. 

Pagi ini waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bea masuk baru bagi produk-produk made in China. Tidak tanggung-tanggung, nilai impor untuk barang-barang yang kena bea masuk 10% ini mencapai US$ 200 miliar. 

"Akan ada banyak uang yang diterima AS. Saya sangat menghormati Presiden China Xi Jinping, tetapi defisit perdagangan AS dengan China sudah sangat besar dan kami tidak bisa terus seperti ini," tegas Trump di hadapan para jurnalis di Gedung Putih, mengutip Reuters. 

Kebijakan ini mulai berlaku pada 24 September, dan pada akhir tahun tarifnya naik menjadi 25%. Tidak berhenti sampai di situ, Trump juga mengancam untuk memberlakukan bea masuk bagi importasi produk China dengan nilai yang lebih besar. 

"Jika China membalas dengan menargetkan petani atau industri AS, maka kami akan menerapkan kebijakan tahap ketiga. Akan ada bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 267 miliar," tambah Trump. 

Sentimen ini membuat pelaku pasar dilanda kepanikan. Investor segera memasang mode risk-on, enggan bermain-main dengan risiko. Akibatnya dolar AS menjadi buruan utama, yang membuat Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat cukup tajam.

Tidak hanya terhadap mata uang utama, dolar AS pun berjaya di Asia. Rupee India sempat melemah cukup dalam, nyaris 1%. 

Namun sekarang semua mulai berbalik. Dollar Index melemah 0,03% pada pukul 10:45 WIB.

Mata uang utama Asia pun perlahan membalikkan keadaan. Bahkan rupee mampu berbalik menguat.
 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:47 WIB: 

 

Apa penyebab laju dolar AS mulai melambat? 

Meski AS terus melakukan serangan, ternyata sejauh ini China masih kalem. Zhong Shan, Menteri Perdagangan China, bahkan berharap AS dan China bisa duduk bersama dan mencapai kesepakatan. 

"Tidak ada pemenang dalam perang dagang. Proteksionisme AS akan melukai seluruh dunia, tidak ada yang mendapat manfaat. Oleh karena itu, kerja sama AS-China adalah satu-satunya pilihan yang tepat," kata Zhong, dikutip dari Reuters. 

Untuk menghindari konflik lebih lanjut, tambah Zhong, China juga siap lebih membuka diri. China akan merancang iklim bisnis yang lebih kondusif bagi sektor swasta. 

Pernyataan ini mengubah perkiraan pasar yang memperkirakan China akan melakukan balas dendam yang lebih kejam. Sebelumnya, dikabarkan bahwa China tidak hanya akan membalas melalui instrumen bea masuk tetapi juga pembatasan ekspor untuk bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan industri Negeri Paman Sam. 

Melihat respons China sejauh ini, investor mulai berharap Washington dan Beijing kembali ke meja perundingan. Pekan lalu, sudah pembicaraan ke arah sana yang mungkin bisa dimunculkan kembali. 

Perlahan kepercayaan diri pelaku pasar mulai pulih. Aset-aset berisiko di negara berkembang mulai kembali menjadi pilihan, dan dolar AS yang berstatus aset aman (safe haven) ditanggalkan. 


Meski begitu, rupiah masih ketinggalan kereta. Pada pukul 10:52 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.925 di mana rupiah melemah 0,37%. Rupiah jadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. 

Kemungkinan rupiah terbeban oleh isu domestik. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional periode Agustus 2018. Hasilnya, neraca perdagangan mengalami defisit US$ 1,02 miliar. 

Defisit ini membuat nasib transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018 menjadi penuh tanda tanya. Sebab, neraca perdagangan Juli pun defisit sangat dalam yaitu US$ 2,03 miliar. 

Kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 akan membukukan defisit yang lumayan dalam. Pada kuartal sebelumnya, defisit pun sudah cukup mengkhawatirkan yaitu mencapai 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Artinya, pijakan bagi penguatan rupiah sangat terbatas. Rupiah kekurangan devisa untuk menguat, karena minimnya pasokan dari ekspor-impor barang dan jasa.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular