Terbeban Defisit Perdagangan, Rupiah Terlemah Ketiga di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 September 2018 12:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah pada perdagangan hingga siang ini. Faktor dalam dan luar negeri menjadi pemberat langkah rupiah.
Pada Senin (17/9/2018) pukul 12:02 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.885 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,57% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,2%. Seiring perjalanan, pelemahan rupiah semakin dalam.
Posisi terkuat rupiah sejauh ini ada di Rp 14.830/US$ yaitu saat pembukaan pasar. Sedangkan posisi terlemahnya adalah Rp 14.885/US$.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sejak pagi hingga tengah hari ini:
Dolar AS memang sedang berjaya di Asia. Berbagai mata uang utama Benua Kuning tidak berdaya di hadapan greenback. Rupee India menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam, lebih dari 1%.
Faktor domestik juga membebani mata uang Negeri Anak Benua. Akhir pekan lalu, Perdana Menteri India Narendra Modi mengumpulkan para pejabat untuk membahas situasi ekonomi terkini. Bank Sentral India (RBI) juga diundang dalam pertemuan tersebut.
Pelaku pasar berekspektasi RBI akan menjadikan momentum pertemuan itu untuk memberi kejutan berupa kenaikan suku bunga. Namun yang terjadi tidak sampai ke sana. RBI tidak menyinggung apapun soal suku bunga acuan, sehingga investor pun kecewa.
Di bawah rupee ada won Korea Selatan yang menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam kedua di Asia. Sementara rupiah menduduki peringkat ketiga.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:13 WIB:
Mata uang Asia secara umum tertekan karena isu perang dagang AS vs China. Presiden AS Donald Trump dikabarkan siap memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk China dengan nilai fantastis, mencapai US$ 200 miliar. Menurut sumber di lingkaran dalam Gedung Putih yang dikutip Reuters, kebijakan ini siap meluncur paling cepat Senin waktu AS.
Di bawah bayang-bayang bea masuk baru, pembicaraan dagang AS-China menjadi penuh tanda tanya. Jika AS sampai menerapkan bea masuk baru, kemungkinan besar akan memantik amarah China sehingga aura damai dagang yang terbentuk sejak pekan lalu akan hancur dalam sekejap.
Kala sentimen perang dagang mengemuka, investor akan memilih bermain aman. Aset-aset berisiko, apalagi di negara berkembang, akan ditanggalkan dan dipindah ke safe haven. Saat ini, safe haven yang menjadi favorit pelaku pasar adalah dolar AS.
Tekanan jual sudah terlihat di pasar keuangan Indonesia. Pada Sesi I perdagangan di pasar saham, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 47,15 miliar yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambrol 1,82%.
Tidak hanya perang dagang, rupiah pun terbeban akibat rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada Agustus 2018 ekspor tumbuh 4,15% year-on-year (YoY) sementara impor melonjak 24,65%. Ini membuat neraca perdagangan defisit US$ 1,02 miliar.
Pencapaian ini jauh dari ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 10,1% sedangkan impor naik 25% dan neraca perdagangan defisit US$ 645 juta.
Defisit neraca perdagangan akan mengancam transaksi berjalan (current account). Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Neraca perdagangan Juli-Agustus yang defisit lumayan dalam membuat kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 akan bernasib serupa dengan kuartal sebelumnya.
Transaksi berjalan menggambarkan devisa yang masuk ke sebuah negara dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bisa diandalkan karena relatif lebih bertahan lama (sustain) ketimbang hot money di pasar keuangan.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi indikator utama kekuatan nilai tukar suatu mata uang. Ketika investor melihat ada prospek transaksi berjalan Indonesia kembali defisit pada kuartal III-2018, maka nasib rupiah pun jadi sorotan.
Rupiah akan sulit menguat jika transaksi berjalan kembali defisit, sehingga tekanan jual akan melanda rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya kemungkinan besar akan turun?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Pada Senin (17/9/2018) pukul 12:02 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.885 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,57% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,2%. Seiring perjalanan, pelemahan rupiah semakin dalam.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sejak pagi hingga tengah hari ini:
Dolar AS memang sedang berjaya di Asia. Berbagai mata uang utama Benua Kuning tidak berdaya di hadapan greenback. Rupee India menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam, lebih dari 1%.
Faktor domestik juga membebani mata uang Negeri Anak Benua. Akhir pekan lalu, Perdana Menteri India Narendra Modi mengumpulkan para pejabat untuk membahas situasi ekonomi terkini. Bank Sentral India (RBI) juga diundang dalam pertemuan tersebut.
Pelaku pasar berekspektasi RBI akan menjadikan momentum pertemuan itu untuk memberi kejutan berupa kenaikan suku bunga. Namun yang terjadi tidak sampai ke sana. RBI tidak menyinggung apapun soal suku bunga acuan, sehingga investor pun kecewa.
Di bawah rupee ada won Korea Selatan yang menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam kedua di Asia. Sementara rupiah menduduki peringkat ketiga.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:13 WIB:
Mata uang Asia secara umum tertekan karena isu perang dagang AS vs China. Presiden AS Donald Trump dikabarkan siap memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk China dengan nilai fantastis, mencapai US$ 200 miliar. Menurut sumber di lingkaran dalam Gedung Putih yang dikutip Reuters, kebijakan ini siap meluncur paling cepat Senin waktu AS.
Di bawah bayang-bayang bea masuk baru, pembicaraan dagang AS-China menjadi penuh tanda tanya. Jika AS sampai menerapkan bea masuk baru, kemungkinan besar akan memantik amarah China sehingga aura damai dagang yang terbentuk sejak pekan lalu akan hancur dalam sekejap.
Kala sentimen perang dagang mengemuka, investor akan memilih bermain aman. Aset-aset berisiko, apalagi di negara berkembang, akan ditanggalkan dan dipindah ke safe haven. Saat ini, safe haven yang menjadi favorit pelaku pasar adalah dolar AS.
Tekanan jual sudah terlihat di pasar keuangan Indonesia. Pada Sesi I perdagangan di pasar saham, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 47,15 miliar yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambrol 1,82%.
Tidak hanya perang dagang, rupiah pun terbeban akibat rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada Agustus 2018 ekspor tumbuh 4,15% year-on-year (YoY) sementara impor melonjak 24,65%. Ini membuat neraca perdagangan defisit US$ 1,02 miliar.
Pencapaian ini jauh dari ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 10,1% sedangkan impor naik 25% dan neraca perdagangan defisit US$ 645 juta.
Defisit neraca perdagangan akan mengancam transaksi berjalan (current account). Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Neraca perdagangan Juli-Agustus yang defisit lumayan dalam membuat kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 akan bernasib serupa dengan kuartal sebelumnya.
Transaksi berjalan menggambarkan devisa yang masuk ke sebuah negara dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bisa diandalkan karena relatif lebih bertahan lama (sustain) ketimbang hot money di pasar keuangan.
Oleh karena itu, transaksi berjalan menjadi indikator utama kekuatan nilai tukar suatu mata uang. Ketika investor melihat ada prospek transaksi berjalan Indonesia kembali defisit pada kuartal III-2018, maka nasib rupiah pun jadi sorotan.
Rupiah akan sulit menguat jika transaksi berjalan kembali defisit, sehingga tekanan jual akan melanda rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya kemungkinan besar akan turun?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular