
Setelah Terbang Tinggi, Kini Harga Minyak Loyo
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
13 September 2018 10:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman November 2018 turun 0,55% ke level US$79,3 /barel, sementara harga minyak light sweet kontrak Oktober 2018 terkoreksi sebesar 0,72% ke US$69,86/barel, pada perdagangan hari ini hingga pukul 09.49 WIB.
Harga minyak seolah kehabisan bensin pasca-terbang tinggi selama 2 hari berturut-turut.
Sebagai informasi, harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa naik 0,86% pada perdagangan kemarin, pasca sehari sebelumnya terbang 2,18%. Harga brent bahkan menyentuh rekor tertinggi dalam 4 tahun, atau sejak November 2014.
Sementara, light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) malah melambung 1,62% kemarin, melanjutkan kenaikan signifikan 2,53% pada sehari sebelumnya.
Kemarin, harga sang emas hitam mendapatkan energi dari US Energy Information Administration (EIA) yang mengumumkan cadangan minyak mentah AS jatuh sebesar 5,3 juta barel menjadi 396,2 juta barel, level terendah sejak Februari 2015. Capaian itu juga turun lebih dalam dibandingkan ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan sebanyak 1,3 juta barel.
Selain itu, dari luar Negeri Paman Sam, investor juga masih mencemaskan sanksi AS terhadap Iran yang akan menyasar ekspor minyak mentah dari Teheran pada November 2018 mendatang.
Konsultan energi FGE menyatakan bahwa sebagian besar pelanggan minyak mentah Iran seperti India, Jepang, dan Korea Selatan sudah memangkas pembelian minyak mentah Negeri Persia.
Seperti diketahui, Washington memberikan ancaman bagi negara-negara lain yang mengimpor minyak mentah dari Iran, dengan tujuan mengurangi ekspor minyak mentah Teheran hingga sebanyak-banyaknya.
Teranyar, perusahaan minyak milik India yaitu Bharat Petroleum Corp tidak lagi membeli minyak dari Iran mulai Oktober. Namun untuk bulan ini, perusahaan tersebut masih membeli minyak dari Iran sebanyak 1 juta barel.
Per akhir Agustus, Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) mencatat ekspor dari Iran adalah 7,59 juta barel/hari atau turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 9,54 juta barel/hari. Pada akhir September, OPEC memperkirakan pasokan minyak dari Iran tinggal 800.000 barel/hari.
Anjloknya pasokan minyak dari Iran tersebut tentu mempengaruhi pembentukan harga. Pasokan yang berkurang lumayan drastis membuat harga terkerek ke atas.
Meski demikian, sejumlah sentimen negatif justru datang membayangi pergerakan minyak hari ini, utamanya datang dari permintaan minyak global yang diproyeksikan melemah akibat perang dagang global.
Mengutip Reuters, sejumlah perusahaan AS yang berlokasi di China sudah mulai "terluka" akibat aksi balas tarif AS-China yang terus berkembang, yang akhirnya kini berujung pada protes pada pemerintahan Trump untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya.
Pemerintahan AS pun nampaknya mulai merespon suara protes tersebut. Beberapa sumber yang mengetahui negosiasi AS-China mengatakan kepada CNBC International bahwa Negeri Paman Sam sedang dalam tahap awal mengajukan putaran pembicaraan dagang baru dengan China dalam waktu dekat.
Pejabat senior AS yang dipimpin Menteri Keuangan Steven Mnuchin mengirimkan undangan kepada pejabat China dan menawarkan pertemuan dalam beberapa pekan ke depan untuk membicarakan isu perdagangan, Dow Jones melaporkan hari Rabu (12/9/2018) dengan mengutip sumber, dilansir dari CNBC International.
Kabar itu muncul saat perseteruan dagang kedua negara memanas. Jumat pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan siap mengenakan bea masuk terhadap berbagai produk China senilai US$267 miliar selain US$200 miliar yang sedang dipertimbangkan.
Kemudian, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) kemarin memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global 2019, mempertegas risiko ekonomi global yang menghantui permintaan minyak dunia.
Dalam laporan bulanannya, kartel minyak ini mengestimasi permintaan minyak global pada tahun depan akan meningkat 1,41 juta barel/hari. Jumlah itu turun sebanyak 20.000 barel/hari dari prediksi bulan lalu.
(ray) Next Article OPEC Tak Mufakat Soal Produksi, Harga Minyak Naik Tipis
Harga minyak seolah kehabisan bensin pasca-terbang tinggi selama 2 hari berturut-turut.
Sebagai informasi, harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa naik 0,86% pada perdagangan kemarin, pasca sehari sebelumnya terbang 2,18%. Harga brent bahkan menyentuh rekor tertinggi dalam 4 tahun, atau sejak November 2014.
![]() |
Kemarin, harga sang emas hitam mendapatkan energi dari US Energy Information Administration (EIA) yang mengumumkan cadangan minyak mentah AS jatuh sebesar 5,3 juta barel menjadi 396,2 juta barel, level terendah sejak Februari 2015. Capaian itu juga turun lebih dalam dibandingkan ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan sebanyak 1,3 juta barel.
Selain itu, dari luar Negeri Paman Sam, investor juga masih mencemaskan sanksi AS terhadap Iran yang akan menyasar ekspor minyak mentah dari Teheran pada November 2018 mendatang.
Konsultan energi FGE menyatakan bahwa sebagian besar pelanggan minyak mentah Iran seperti India, Jepang, dan Korea Selatan sudah memangkas pembelian minyak mentah Negeri Persia.
Seperti diketahui, Washington memberikan ancaman bagi negara-negara lain yang mengimpor minyak mentah dari Iran, dengan tujuan mengurangi ekspor minyak mentah Teheran hingga sebanyak-banyaknya.
Teranyar, perusahaan minyak milik India yaitu Bharat Petroleum Corp tidak lagi membeli minyak dari Iran mulai Oktober. Namun untuk bulan ini, perusahaan tersebut masih membeli minyak dari Iran sebanyak 1 juta barel.
Per akhir Agustus, Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) mencatat ekspor dari Iran adalah 7,59 juta barel/hari atau turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 9,54 juta barel/hari. Pada akhir September, OPEC memperkirakan pasokan minyak dari Iran tinggal 800.000 barel/hari.
Anjloknya pasokan minyak dari Iran tersebut tentu mempengaruhi pembentukan harga. Pasokan yang berkurang lumayan drastis membuat harga terkerek ke atas.
Meski demikian, sejumlah sentimen negatif justru datang membayangi pergerakan minyak hari ini, utamanya datang dari permintaan minyak global yang diproyeksikan melemah akibat perang dagang global.
Mengutip Reuters, sejumlah perusahaan AS yang berlokasi di China sudah mulai "terluka" akibat aksi balas tarif AS-China yang terus berkembang, yang akhirnya kini berujung pada protes pada pemerintahan Trump untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya.
Pemerintahan AS pun nampaknya mulai merespon suara protes tersebut. Beberapa sumber yang mengetahui negosiasi AS-China mengatakan kepada CNBC International bahwa Negeri Paman Sam sedang dalam tahap awal mengajukan putaran pembicaraan dagang baru dengan China dalam waktu dekat.
Pejabat senior AS yang dipimpin Menteri Keuangan Steven Mnuchin mengirimkan undangan kepada pejabat China dan menawarkan pertemuan dalam beberapa pekan ke depan untuk membicarakan isu perdagangan, Dow Jones melaporkan hari Rabu (12/9/2018) dengan mengutip sumber, dilansir dari CNBC International.
Kabar itu muncul saat perseteruan dagang kedua negara memanas. Jumat pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan siap mengenakan bea masuk terhadap berbagai produk China senilai US$267 miliar selain US$200 miliar yang sedang dipertimbangkan.
Kemudian, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) kemarin memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global 2019, mempertegas risiko ekonomi global yang menghantui permintaan minyak dunia.
Dalam laporan bulanannya, kartel minyak ini mengestimasi permintaan minyak global pada tahun depan akan meningkat 1,41 juta barel/hari. Jumlah itu turun sebanyak 20.000 barel/hari dari prediksi bulan lalu.
(ray) Next Article OPEC Tak Mufakat Soal Produksi, Harga Minyak Naik Tipis
Most Popular