Dolar AS Seng Ada Lawan, Rupiah Kian Tertekan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2018 17:28

Wajar kalau mata uang Asia melemah, karena keperkasaan dolar AS berlangsung luas (broadbased). Dollar Index, yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama, menguat 0,44% pada pukul 16:56 WIB.
Kekhawatiran perang dagang AS vs China kembali mengemuka. Pada Kamis waktu AS, tahapan dengar pendapat untuk aturan pengenaan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir. Beredar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.
Selain itu, investor juga tengah memantau perkembangan di negara-negara berkembang setelah gonjang-ganjing yang disebabkan Turki dan Argentina. Investor pun cenderung melepas mata uang dan aset berbasis mata uang negara yang mengidap defisit di transaksi berjalan (current account).
Sebab, arus modal dari pasar keuangan kemungkinan besar akan seret karena tersedot ke AS. Oleh karena itu, mata uang hanya akan mengandalkan transaksi berjalan agar bisa menguat. Saat transaksi berjalan pun tekor, selesai. Mata uang itu akan sangat sulit untuk bisa perkasa.
Itulah yang dialami Indonesia. Pada kuartal II-2018, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), paling dalam sejak kuartal II-2014.
Kemungkinan defisit yang cukup dalam akan terulang pada kuartal III-2018. Pertanda ke sana terlihat dari defisit neraca perdagangan Juli yang lumayan besar yaitu mencapai US$ 2,03 miliar.
Melihat potensi rupiah sulit menguat, investor (terutama asing) pun cenderung menghindari Indonesia. Sebab kalau mereka masuk sekarang, ada kemungkinan malah nantinya menderita kerugian karena pelemahan nilai tukar.
Pelepasan terhadap aset-aset berbasis rupiah terlihat di pasar saham maupun obligasi. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 428,48 miliar yang menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,04%.
Sedangkan di pasar obligasi, tekanan terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield). Saat yield naik, artinya harga sedang turun karena sepinya minat atau aksi pelepasan.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah Indonesia:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Kekhawatiran perang dagang AS vs China kembali mengemuka. Pada Kamis waktu AS, tahapan dengar pendapat untuk aturan pengenaan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir. Beredar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.
Selain itu, investor juga tengah memantau perkembangan di negara-negara berkembang setelah gonjang-ganjing yang disebabkan Turki dan Argentina. Investor pun cenderung melepas mata uang dan aset berbasis mata uang negara yang mengidap defisit di transaksi berjalan (current account).
Itulah yang dialami Indonesia. Pada kuartal II-2018, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), paling dalam sejak kuartal II-2014.
Kemungkinan defisit yang cukup dalam akan terulang pada kuartal III-2018. Pertanda ke sana terlihat dari defisit neraca perdagangan Juli yang lumayan besar yaitu mencapai US$ 2,03 miliar.
Melihat potensi rupiah sulit menguat, investor (terutama asing) pun cenderung menghindari Indonesia. Sebab kalau mereka masuk sekarang, ada kemungkinan malah nantinya menderita kerugian karena pelemahan nilai tukar.
Pelepasan terhadap aset-aset berbasis rupiah terlihat di pasar saham maupun obligasi. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 428,48 miliar yang menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,04%.
Sedangkan di pasar obligasi, tekanan terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield). Saat yield naik, artinya harga sedang turun karena sepinya minat atau aksi pelepasan.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah Indonesia:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular