Simak 6 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
02 September 2018 18:50
Simak 6 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Selama sepekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat 0,83% dan mampu bercokol di level 6.018,46 pada akhir pekan lalu. IHSG bergerak searah dengan bursa saham Asia yang juga mampu membukukan cuan.

Dalam perdagangan seminggu ini, indeks Straits Time menguat tipis 0,01%, Nikkei 225 surplus 0,69%, Hang Seng bertambah 0,78%, dan Kospi melesat 1,29%. Di antara bursa saham utama Asia ini, IHSG boleh menepuk dada karena menjadi terbaik kedua setelah Kospi.

Untuk perdagangan sepekan ke depan, pelaku pasar perlu mewaspadai 6 sentimen penggerak pasar berikut.

Pertama, perkembangan krisis di Argentina. Meski mantap di zona hijau di sepanjang pekan lalu, perkembangan bursa regional jelang akhir pekan perlu diwaspadai.

Dalam 2 hari perdagangan terakhir, IHSG melemah masing-masing 0,76% dan 0,01%. Mirip dengan sejumlah saham utama di Asia yang juga mengalami koreksi di periode tersebut, misalnya Hang Seng yang melemah nyaris 1% dua hari perdagangan terakhir pekan ini.

Straits Time juga terkoreksi 0,38% pada perdagangan akhir pekan lalu, setelah sehari sebelumnya turun sebesar 0,56%.

Penyebabnya adalah perkembangan di Argentina. Seperti Turki sebelumnya, investor kini mulai mewaspadai risiko di negara tersebut. Dalam sepekan terakhir, nilai mata uang peso Argentina anjlok 8,55% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sejak awal tahun, peso sudah terdepresiasi 51,9%.

Pelaku pasar cemas bahwa situasi di Argentina (dan sebelumnya Turki) akan menular ke negara-negara berkembang lainnya. Oleh karena itu, investor kembali memasang mode risk-on, ogah mengambil risiko dan cenderung bermain aman.

Situasi di Buenos Aires lantas masih akan dicermati oleh pelaku pasar pada pekan depan. Bila sentimen ini berlanjut, maka IHSG harus berhati-hati. Kemungkinan koreksi lanjutan akan terbuka lebar.

Kedua, perkembangan perundingan dagang AS-Kanada. Dikutip CNBC International, negosiasi dagang antara AS dan Kanada akan dimulai kembali pada Rabu mendatang. Ini setelah kedua pihak mengakhiri negosiasi pada Jumat (31/8/2018) tanpa menghasilkan kesepakatan.

Sebenarnya, kesepakatan bilateral yang diumumkan oleh AS dan Meksiko pada awal pekan ini telah membuka jalan bagi Kanada untuk bisa ikut dalam diskusi perdagangan antar ketiga negara NAFTA ini.

Tetapi pada hari Jumat (31/08/2018), sentimen itu berubah, salah satunya karena pernyataan tidak resmi (off-the-record) yang mengejutkan dari Presiden AS Donald Trump bahwa dirinya tidak akan memberikan kelonggaran apapun terhadap Kanada.

Teranyar, dalam serangkaian cuitan di Twitter, Trump juga mengambil sikap tanpa kompromi kepada tetangga AS di utara Benua Amerika tersebut. Dia mengatakan, "tidak ada keharusan politik" untuk mengakomodasi Kanada dalam perjanjian dagang terbaru.

Masih via Twitter, mantan taipan properti itu juga mengingatkan agar Kongres AS tidak campur tangan dalam negosiasi dengan Kanada. "Jika kita tidak membuat kesepakatan yang adil untuk AS setelah beberapa dekade penuh pelecehan, Kanada akan keluar. Kongres tidak boleh mengganggu negosiasi, atau saya akan mengakhiri NAFTA sepenuhnya dan kita akan jauh lebih baik," ujar Trump seraya menambahkan NAFTA sebagai salah satu kesepakatan dagang terburuk yang pernah dibuat.

Perkembangan hubungan AS-Kanada pun nampaknya masih akan mewarnai jalannya perdagangan bursa regional dalam sepekan ke depan. Jika pada akhirnya pertemuan lanjutan AS-Kanada masih buntu, bukan tidak mungkin IHSG dan rekan akan mengalami tekanan. Ketiga, rilis data inflasi Indonesia periode Agustus 2018 pada hari Senin (3/9/2018).  Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi sebesar 0,07% secara bulanan (month-to-month/MtM). Kemudian inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 3,33%. Sedangkan inflasi inti YoY ada di 2,89%.

Bila realisasi inflasi sesuai dengan konsensus, maka laju inflasi 2018 akan melambat lumayan signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juli, inflasi MtM ada di 0,28%. Hal ini terjadi seiring siklus penurunan permintaan setelah mencapai puncaknya pada periode Ramadhan-Idul Fitri. Meski begitu, secara tahunan malah terjadi akselerasi yang cukup tajam karena inflasi Juli secara YoY adalah 3,18%.

Inflasi inti juga menunjukkan akselerasi, karena posisi Juli ada di 2,87% YoY. Hal ini bisa menjadi pertanda bahwa konsumsi masyarakat masih menggeliat.
Oleh karena itu, apabila realisasi inflasi (khususnya peningkatan inflasi inti) ternyata sesuai ekspektasi pasar, hal ini bisa menjadi berita baik bagi saham-saham sektor konsumsi dan perbankan yang sejatinya sangat erat dengan konsumsi masyarakat.

Keempat, rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Agustus 2018 pada hari Kamis (6/9/2018). Data ini akan memberikan konfimasi lebih lanjut terkait perbaikan daya beli masyarakat di tahun ini.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat IKK pada Juli 2018 sebesar 124,8, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 128,1 atau terkoreksi 2,58% MtM. Hal ini nampaknya juga dipengaruhi momentum Ramadhan-Idul Fitri yang sudah berlalu.

Apabila, ternyata IKK bulan lalu mampu pulih, tentu akan kembali menjadi kabar baik bagi saham-saham konsumsi dan perbankan. Namun, apabila ternyata semakin melambat, pelaku pasar justru perlu mewaspadai saham-saham di dua sektor tersebut.

Kelima, rilis data cadangan devisa RI periode Agustus 2018 pada hari Jumat (7/9/2018). Per Juli 2018, cadangan devisa berada di posisi US$118,3 miliar atau anjlok US$ 1,5 miliar dibandingkan periode sebelumnya. Angka ini merupakan yang terendah sejak Januari 2017.

Jika dihitung sejak akhir 2017, cadangan devisa RI sudah anjlok hingga US$11,9 miliar (Rp172 triliun). Cadangan devisa terus terkuras karena menahan agar nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak terus terperosok. Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), nilai tukar rupiah sudah anjlok hingga 8,55% terhadap dolar AS.

Jika cadangan devisa RI kembali tergerus dalam jumlah yang signifikan pada bulan lalu, maka hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya rupiah masih berada dalam tekanan besar. Persepsi investor mengenai Indonesia bisa memburuk lantaran dianggap rentan terhadap risiko-risiko yang ada. Investor lantas tidak akan segan melepas aset-aset berbasis rupiah, yang akhirnya menekan pasar keuangan dalam negeri. Keenam, Negeri Paman Sam setidaknya akan merilis 7 data ekonomi penting pada pekan depan, mayoritas terkait dengan pasar tenaga kerja. Pada Kamis (6/9/2018), Automatic Data Processing, Inc (ADP) dan Moody’s Analytics akan merilis data penciptaan lapangan kerja non-pertanian di AS periode Agustus 2018.

Selang sehari kemudian, Biro Statistik Tenaga Kerja AS akan merilis data resmi penciptaan lapangan kerja periode Agustus 2018, sekaligus tingkat pengangguran dan upah per jam rata-rata di periode yang sama. Pada bulan Juli 2018, lapangan kerja di Negeri Paman Sam bertambah sebesar 219.000 di Juli 2018 menurut ADP, jauh melampaui konsensus Reuters yang mengestimasikan penambahan sebesar 185.000. Capaian ini lantas menjadi yang tertinggi sejak Februari 2018, saat terjadi peningkatan sebesar 241 ribu.

Kemudian, Biro Statistik Tenaga Kerja AS juga melaporkan tingkat pengangguran di bulan Juli juga turun ke 3,9%, dari bulan sebelumnya sebesar 4%. Kemudian, upah per jam rata-rata di Juli juga naik 0,3% MtM atau 2,7% YoY.

Data tenaga kerja merupakan salah satu indikator utama bagi the Fed dalam menentukan arah kebijakan moneter-nya. Ketika pasar tenaga kerja AS terbukti masih bergairah di bulan Agustus 2018, The Federal Reserve/The Fed bisa jadi kembali membuka peluang kenaikan suku bunga acuannya sebanyak 4 kali di tahun ini. Lebih agresif daripada ekspektasi pelaku pasar sebelumnya, yakni sebanyak 3 kali. Atau, setidaknya data tenaga kerja AS yang solid bisa semakin memuluskan jalan untuk kenaikan suku bunga acuan di akhir September 2018.

Mengutip CME Fedwatch Tool, peluang kenaikan suku bunga acuan AS sebanyak 25 basis poin pada 26 September 2018, sudah mencapai 98,4%.
Ekspektasi kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif lantas bisa menjadi obat kuat bagi dolar AS, karena bisa memancing arus modal pulang ke Negeri Paman Sam. Hal ini tentu bukan kabar baik bagi pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Berikut daftar lengkap 7 data ekonomi AS yang akan dirilis pekan depan:







(RHG/RHG) Next Article Ada kok Saham LQ45 yang Murah, Ini Daftarnya Kak!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular