
Rupiah Terparah Sejak Krismon, IHSG Berakhir di Zona Merah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
31 August 2018 16:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah tipis 0,01% pada perdagangan terakhir di pekan ini ke level 6.018,46. Pergerakan IHSG senada dengan bursa saham kawasan Asia lainnya yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,02%, Indeks Shanghai turun 0,46%, indeks Hang Seng turun 0,98%, indeks Strait Times turun 0,3%, dan indeks KLCI (Malaysia) turun 0,05%.
Sempat anjlok hingga ke level 5.940,65, IHSG bergerak naik hingga hampir ke zona hijau pada menit-menit akhir perdagangan.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 8,74 triliun dengan volume sebanyak 8,28 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 300.755 kali.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi pelemahan IHSG diantaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-3,34%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-1,1%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,73%), PT Indo Tambangraya Megah Tbk/ITMG (-4,57%), dan PT United Tractors Tbk/UNTR (-1,16%).
Rupiah yang babak belur membuat investor kabur meninggalkan pasar saham tanah air. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,27% di pasar spot ke level Rp 14.725/dolar AS. Rupiah berada dalam posisi terlemah sejak krisis keuangan tahun 1998 silam.
Dolar AS memang sedang perkasa terhadap mata uang negara-negara berkembang di kawasan Asia. Secara berturut-turut melawan ringgit, peso, dan rupee, dolar AS menguat sebesar 0,07%, 0,07%, dan 0,32%.
Ada 2 faktor utama yang membuat dolar AS perkasa. Pertama, semakin mencuatnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali sepanjang tahun ini oleh the Federal Reserve. Hal ini terjadi pasca rilis data ekonomi yang kuat. Core Personal Consumption Expenditure AS yang disebut-sebut sebagai patokan the Fed untuk mengukur tingkat inflasi tumbuh sebesar 2% YoY pada bulan Juli, sudah sesuai dengan target inflasi the Fed yang sebesar 2%. Selain itu, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 24 Agustus 2018 diumumkan di level 213.000, lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 214.000.
Faktor kedua adalah krisis nilai tukar di Argentina. Pada perdagangan kemarin (30/8/2018), peso anjlok hingga 12% melawan dolar AS di pasar spot.
Langkah bank sentral Argentina yang mendorong naik tingkat suku bunga acuan menjadi 60% dari yang sebelumnya 45% terbukti tidak ampuh untuk meredam pelemahan nilai tukar. Mengutip Reuters, para ekonom memang sudah lama menyuarakan pendapatnya bahwa nilai tukar peso sudah overvalue. Kini, normalisasi yang dilakukan oleh the Fed dan fundamental perekonomian yang memang tidak sehat membuat peso benar-benar tak berkutik melawan greenback.
Saat peso melemah signifikan, ada kekhawatiran utang luar negeri Argentina akan membengkak dan meningkatkan risiko gagal bayar. Per akhir Maret 2018 utang luar negeri Argentina tercatat sebesar US$ 253,74 miliar, naik 27,59% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada akhirnya, mata uang negara-negara berkembang ikut dilepas oleh investor, mendorong dolar AS menguat.
Selain karena pelemahan rupiah, investor enggan menyentuh pasar saham tanah air lantaran perang dagang antara AS dengan China yang kian panas. Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengatakan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk baru terhadap barang-barang impor asal China senilai US$ 200 miliar pekan depan, segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.
Sejauh ini, AS sudah 2 kali mengenakan bea masuk baru bagi produk-produk impor asal China dan keduanya sudah dibalas oleh Negeri Panda. Jika AS kembali menerapkan bea masuk baru, seragan balasan dari Beijing sepertinya menjadi tak terelakkan.
Seiring dengan berbagai sentimen negatif yang ada, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 434,8 miliar. 5 besar saham yang paling banyak dilepas investor asing adalah: PT Bukit Asam Tbk/PTBA (Rp 172,6 miliar), PT AKR Corporindo Tbk/AKRA (Rp 139,7 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 85,5 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 72,6 miliar), dan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk/AMRT (Rp 29,4 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Ikut Melemah, Rupiah Tembus 14.500 Per Dolar AS
Sempat anjlok hingga ke level 5.940,65, IHSG bergerak naik hingga hampir ke zona hijau pada menit-menit akhir perdagangan.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 8,74 triliun dengan volume sebanyak 8,28 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 300.755 kali.
Rupiah yang babak belur membuat investor kabur meninggalkan pasar saham tanah air. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,27% di pasar spot ke level Rp 14.725/dolar AS. Rupiah berada dalam posisi terlemah sejak krisis keuangan tahun 1998 silam.
Dolar AS memang sedang perkasa terhadap mata uang negara-negara berkembang di kawasan Asia. Secara berturut-turut melawan ringgit, peso, dan rupee, dolar AS menguat sebesar 0,07%, 0,07%, dan 0,32%.
Ada 2 faktor utama yang membuat dolar AS perkasa. Pertama, semakin mencuatnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali sepanjang tahun ini oleh the Federal Reserve. Hal ini terjadi pasca rilis data ekonomi yang kuat. Core Personal Consumption Expenditure AS yang disebut-sebut sebagai patokan the Fed untuk mengukur tingkat inflasi tumbuh sebesar 2% YoY pada bulan Juli, sudah sesuai dengan target inflasi the Fed yang sebesar 2%. Selain itu, klaim tunjangan pengangguran untuk minggu yang berakhir pada 24 Agustus 2018 diumumkan di level 213.000, lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 214.000.
Faktor kedua adalah krisis nilai tukar di Argentina. Pada perdagangan kemarin (30/8/2018), peso anjlok hingga 12% melawan dolar AS di pasar spot.
Langkah bank sentral Argentina yang mendorong naik tingkat suku bunga acuan menjadi 60% dari yang sebelumnya 45% terbukti tidak ampuh untuk meredam pelemahan nilai tukar. Mengutip Reuters, para ekonom memang sudah lama menyuarakan pendapatnya bahwa nilai tukar peso sudah overvalue. Kini, normalisasi yang dilakukan oleh the Fed dan fundamental perekonomian yang memang tidak sehat membuat peso benar-benar tak berkutik melawan greenback.
Saat peso melemah signifikan, ada kekhawatiran utang luar negeri Argentina akan membengkak dan meningkatkan risiko gagal bayar. Per akhir Maret 2018 utang luar negeri Argentina tercatat sebesar US$ 253,74 miliar, naik 27,59% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada akhirnya, mata uang negara-negara berkembang ikut dilepas oleh investor, mendorong dolar AS menguat.
Selain karena pelemahan rupiah, investor enggan menyentuh pasar saham tanah air lantaran perang dagang antara AS dengan China yang kian panas. Mengutip Reuters, beberapa orang sumber mengatakan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk baru terhadap barang-barang impor asal China senilai US$ 200 miliar pekan depan, segera setelah tahapan dengar pendapat berakhir.
Sejauh ini, AS sudah 2 kali mengenakan bea masuk baru bagi produk-produk impor asal China dan keduanya sudah dibalas oleh Negeri Panda. Jika AS kembali menerapkan bea masuk baru, seragan balasan dari Beijing sepertinya menjadi tak terelakkan.
Seiring dengan berbagai sentimen negatif yang ada, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 434,8 miliar. 5 besar saham yang paling banyak dilepas investor asing adalah: PT Bukit Asam Tbk/PTBA (Rp 172,6 miliar), PT AKR Corporindo Tbk/AKRA (Rp 139,7 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 85,5 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 72,6 miliar), dan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk/AMRT (Rp 29,4 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Ikut Melemah, Rupiah Tembus 14.500 Per Dolar AS
Most Popular