Spekulasi di Dolar Semarak, Pasar Obligasi Tertekan

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
31 August 2018 15:09
Pasar obligasi tertekan karena pelaku ekspor impor semarak.
Foto: CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku ekspor-impor mulai berspekulasi di tengah koreksi rupiah dan surat berharga negara (SBN) hari ini, meskipun Bank Indonesia secara meyakinkan sudah mengintervensi pasar mata uang dan pasar obligasi di tengah koreksi tersebut. 

Ekonom PT Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menyatakan pelaku ekspor dan impor sudah berspekulasi di perdagagan masih berspekulasi guna menyikapi potensi memburuknya kondisi. 

"Kami menilai ada ketidakinginan eksportir komoditas lokal yang enggan menukar dolarnya karena mengkhawatirkan depresiasi rupiah yang bisa berlanjut," ujar Satrio kepada Reuters hari ini (31/8/18).

Dia juga menyatakan importir telah membeli dolar AS lebih banyak dibanding yang biasa mereka butuhkan. 

Aksi tersebut mengindikasikan adanya langkah hati-hati sekaligus mencerminkan kepanikan di antara pengguna utama dolar AS di dalam negeri. 

Kepala Riset PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Taye Shim menyatakan koreksi hari ini sudah membalikkan kondisi positif tiga hari terakhir, dan tren tersebut kami prediksi akan berlanjut. 

"Hal itu akan diikuti oleh berita Trump yang siap mengenakan tarif terhadap produk dagangan China senilai US$ 200 miliar," ujar Taye. 

Harga obligasi masih terkoreksi sore ini ke posisi terendah sejak 2016, yang membuat tingkat imbal hasil (yield) tenor acuan 20 tahun melambung 7 basis poin (bps) menjadi 8,52% dari posisi kemarin.

Posisi rupiah di Rp 14.750/dolar AS sore ini juga masih berada di level tertinggi sepanjang masa sejak krisis keuangan 1998. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 60 poin (1%) menjadi 5.958. 

Melemahnya pasar obligasi dipengaruhi oleh sentimen negatif dari potensi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat yaitu the Fed Fund Rate (FFR), yang akan dinaikkan lebih banyak daripada prediksi.

Sentimen itu telah sukses menjatuhkan rupiah sebagai korban pertama hingga ke atas level psikologis Rp 14.700 sejak pagi. Prediksi kenaikan FFR itu terlihat dari data CME Fedwatch, yang menunjukkan probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin menjadi 2-2,25% pada rapat edisi September mencapai 98,4%.

Angka itu melonjak dari posisi kemarin yang probabilitasnya masih 96%. Naiknya prediksi kenaikan FFR itu disokong oleh faktor naiknya Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE) yang memberi sinyal bahwa target inflasi AS sudah naik dan berada di zona yang aman untuk menaikkan kembali suku bunga acuan. 

Potensi naiknya FFR itu menguatkan posisi dolar AS terhadap mata uang lain, sehingga kemungkinan rupiah berlanjut melemah menjadi lebih terbuka. 

Kondisi tersebut ditambah sentimen negatif dari perang dagang yang dikobarkan Paman Trump, kali ini babak lanjutan dengan China dalam episode lanjutan tentang rencana penerapan bea masuk US$ 200 miliar mulai pekan depan.

Rencana perang dagang itu akan menjadi yang ketiga, setelah sebelumnya telah dua kali diberlakukan bea impor yaitu US$ 34 miliar dan US$ 16 miliar.  



TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps) Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular