Ekspektasi Kenaikan Suku Bunga The Fed Tekan Pasar Obligasi
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
31 August 2018 09:59

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi pada perdagangan pagi ini diprediksi akan mengalami tekanan karena sentimen negatif prediksi kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed), Fed Fund Rate (FFR). Sentimen itu telah sukses menjatuhkan rupiah sebagai korban pertama hingga ke atas level psikologis Rp 14.700 pagi ini.
Prediksi kenaikan FFR itu terlihat dari data CME Fedwatch, yang menunjukkan probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin menjadi 2-2,25% pada rapat edisi September mencapai 98,4%.
Kemarin, probabilitasnya masih 96%. Naiknya prediksi kenaikan FFR itu disokong oleh faktor naiknya Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE) yang sudah mencapai target 2%, dan memberi sinyal bahwa target inflasi AS sudah naik dan berada di zona yang aman.
Potensi FFR itu menyuntikkan energi baru buat dolar AS, kemungkinan rupiah berlanjut melemah menjadi lebih terbuka. Kondisi tersebut ditambah sentimen negatif dari perang dagang yang dikobarkan Paman Trump, kali ini babak lanjutan dengan China.
Dalam episode kali ini, muncul informasi tentang rencana penerapan bea masuk US$ 200 miliar terhadap produk Tirai Bambu setelah periode jajak pendapat usai pada pekan depan.
Rencana penerapan itu akan menjadi yang ketiga, setelah sebelumnya telah dua kali diberlakukan bea impor yaitu US$ 34 miliar dan US$ 16 miliar.
Faktor lain adalah depresiasi peso Argentina yang berlanjut karena kepanikan pemerintahan Presiden Macri yang tercermin dari negosiasi awal dengan IMF untuk mencari pinjaman US$ 50 miliar. Kondisi ini dikhawatirkan akan mengulang nostalgia krisis di awal 2000-an.
Runtutan faktor negatif tersebut dikhawatirkan akan membuat membakar minat investor global menuju instrumen investasi keuangan yang dinilai lebih aman, terutama bagi dolar AS, yang sekaligus membuat mereka menghindari instrumen lebih berisiko seperti investasi di negara berkembang.
Satu-satunya faktor positif yang kemungkinan tidak akan berpengaruh banyak di tengah kepungan sentimen negatif adalah berlanjutnya negosiasi dagang Kanada dan AS.
Review pasar surat berharga negara (SBN) dalam riset PT Kiwoom Sekuritas Indonesia menujukkan imbal hasil (yield) obligasi Zona Amerika didominasi oleh penurunan, yang mencerminkan adanya pertumbuhan harga.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Di Eropa dan Asia Pasifik pasar obligasinya didominasi oleh kenaikkan imbal hasil. Kenaikkan imbal hasil Indonesia menjadi yang terbesar (7,92%, +6.8), sedangkan penurunan imbal hasil terbesar terjadi di pasar surat utang China (3,57%, -2,5).
Imbal hasil obligasi Indonesia 10 tahun ditutup naik menjadi 8,01% dibandingkanhari sebelumnya di 7,95% dan imbal hasil obligasi 20 tahun ditutup naik menjadi 8,49% dibandingkanhari sebelumnya 8,42%.
Total transaksi dan frekuensi perdagangan SBN turun dibandingkan hari sebelumnya di tengah tengah penurunan harga pasar obligasi kemarin. Total transaksi didominasi obligasi berdurasi < 1 tahun, diikuti dengan 3 tahun - 5 tahun dan 7 tahun - 10 tahun. Sisanya merata di semua tenor hingga 25 tahun.
Kiwoom Sekuritas merekomendasikan hold hari ini, tetapi apabila kenaikan yield terus berlanjut hingga melebihi 45 bps, rekomendasi jual merupakan pilihan yang lebih baik.
Berikut ini beberapa faktor yang dapat berpengaruh bagi pasar keuangan dan pasar surat utang Indonesia hari ini yang dirangkum dalam riset Kiwoom Sekuritas Indonesia:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps) Next Article Pasar Obligasi Masih 'Disetir' Investor Asing
Prediksi kenaikan FFR itu terlihat dari data CME Fedwatch, yang menunjukkan probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin menjadi 2-2,25% pada rapat edisi September mencapai 98,4%.
Kemarin, probabilitasnya masih 96%. Naiknya prediksi kenaikan FFR itu disokong oleh faktor naiknya Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE) yang sudah mencapai target 2%, dan memberi sinyal bahwa target inflasi AS sudah naik dan berada di zona yang aman.
Dalam episode kali ini, muncul informasi tentang rencana penerapan bea masuk US$ 200 miliar terhadap produk Tirai Bambu setelah periode jajak pendapat usai pada pekan depan.
Rencana penerapan itu akan menjadi yang ketiga, setelah sebelumnya telah dua kali diberlakukan bea impor yaitu US$ 34 miliar dan US$ 16 miliar.
Faktor lain adalah depresiasi peso Argentina yang berlanjut karena kepanikan pemerintahan Presiden Macri yang tercermin dari negosiasi awal dengan IMF untuk mencari pinjaman US$ 50 miliar. Kondisi ini dikhawatirkan akan mengulang nostalgia krisis di awal 2000-an.
Runtutan faktor negatif tersebut dikhawatirkan akan membuat membakar minat investor global menuju instrumen investasi keuangan yang dinilai lebih aman, terutama bagi dolar AS, yang sekaligus membuat mereka menghindari instrumen lebih berisiko seperti investasi di negara berkembang.
Satu-satunya faktor positif yang kemungkinan tidak akan berpengaruh banyak di tengah kepungan sentimen negatif adalah berlanjutnya negosiasi dagang Kanada dan AS.
Review pasar surat berharga negara (SBN) dalam riset PT Kiwoom Sekuritas Indonesia menujukkan imbal hasil (yield) obligasi Zona Amerika didominasi oleh penurunan, yang mencerminkan adanya pertumbuhan harga.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Di Eropa dan Asia Pasifik pasar obligasinya didominasi oleh kenaikkan imbal hasil. Kenaikkan imbal hasil Indonesia menjadi yang terbesar (7,92%, +6.8), sedangkan penurunan imbal hasil terbesar terjadi di pasar surat utang China (3,57%, -2,5).
Imbal hasil obligasi Indonesia 10 tahun ditutup naik menjadi 8,01% dibandingkanhari sebelumnya di 7,95% dan imbal hasil obligasi 20 tahun ditutup naik menjadi 8,49% dibandingkanhari sebelumnya 8,42%.
Total transaksi dan frekuensi perdagangan SBN turun dibandingkan hari sebelumnya di tengah tengah penurunan harga pasar obligasi kemarin. Total transaksi didominasi obligasi berdurasi < 1 tahun, diikuti dengan 3 tahun - 5 tahun dan 7 tahun - 10 tahun. Sisanya merata di semua tenor hingga 25 tahun.
Kiwoom Sekuritas merekomendasikan hold hari ini, tetapi apabila kenaikan yield terus berlanjut hingga melebihi 45 bps, rekomendasi jual merupakan pilihan yang lebih baik.
Berikut ini beberapa faktor yang dapat berpengaruh bagi pasar keuangan dan pasar surat utang Indonesia hari ini yang dirangkum dalam riset Kiwoom Sekuritas Indonesia:
- US PCE Deflator MoM tidak berubah di 0.1%, tetapi naik YoY dari sebelumnya 2,2% menjadi 2,3%.
- PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP) mengatakan akan menyesuaikan penerbitan obligasi dengan kondisi pasar. "Antara lain dengan penawaran umum berkelanjutan."
- Target emisi instrumen surat utang negara untuk investor ritel berbasis tabungan atau saving bond retail (SBR) seri SBR004 kembali ditingkatkan menjadi Rp5 triliun setelahpermintaan dari investor ritel terus mencatatkan peningkatan. Berdasarkan data penjualan SBR004 di laman Investree, realisasi penjualan SBR004 untuk investor ritel hingga Kamis (30/8) pukul 19.00 WIB sudah mencapai Rp3,29 triliun. Nilai inimeningkat Rp300 miliar dibandingkan dengan hari sebelumnya.
- Pemerintah telah melaksanakan penerbitan SBN syariah, yaitu Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan cara Private Placement pada tanggal 30 Agustus 2018 dengan nilai nominal sebesar Rp1,25 triliun. SBSN yang diterbitkan merupakan seri PBS0014 dan PBS005 denganstatus dapat diperdagangkan (tradable). (DJPPR)
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps) Next Article Pasar Obligasi Masih 'Disetir' Investor Asing
Most Popular