Rupiah Jauh Lebih Baik di Era SBY atau Jokowi? Ini Faktanya

Alfado Agustio & Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
28 August 2018 12:24
Rupiah Jauh Lebih Baik di Era SBY atau Jokowi? Ini Faktanya
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Sorotan masalah ekonomi di zaman pemerintah Joko Widodo (Jokowi) tidak hanya terkait utang. Masalah lain yang ikut disorot di antaranya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sejak awal tahun misalnya, rupiah telah terdepresiasi hingga 7,70%.

Kekhawatiran pun mulai menyeruak di masyarakat. Potensi meningkatnya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari menjadi ancaman yang ada di depan mata. Pemerintah pun menuding agresifnya kebijakan moneter di AS menjadi biang keladinya. Selain itu, anjloknya mata uang negara emerging market seperti Lira di Turki juga ikut dituding menjadi penyebabnya.

Namun dibalik kuatnya faktor global, dari sisi fundamental pun menjadi faktor yang perlu disorot. Defisit transaksi berjalan menjadi salah satu penyebab utama rupiah melemah cukup dalam saat ini. Lantas, apakah pelemahan rupiah saat ini merupakan yang terburuk?





Tim riset CNBC Indonesia mengambil sampel pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan sebelumnya. Perbandingan ini sebagai gambaran singkat.



(NEXT)



Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden RI selama dua periode sejak 2004-2014. Selama masa itu, pergerakan rupiah sebenarnya juga terdepresiasi. Misalnya di periode pertama yaitu 20 Oktober 2004-19 Oktober 2009. Pada saat SBY dilantik, rupiah berada di posisi Rp 9.070/US$. Sementara di akhir kepemimpinannya, rupiah berada di Rp 9.395/US$. Kurs rupiah pun hanya mengalami depresiasi 3,58%.
 
Rupiah Jauh Lebih Baik di Era SBY atau Jokowi? Ini DatanyaFoto: Rupiah Periode I SBY / Tim Riset CNBC Indonesia

 
Di periode tersebut, sebenarnya rupiah dihadapkan pada cobaan berupa krisis ekonomi AS tahun 2008. Mata uang negara-negara global termasuk rupiah pun melemah cukup dalam. Bahkan rupiah sempat berada di posisi terlemah sepanjang sejarah pada 1 desember 2008, yaitu di posisi Rp 12.150/US$. Namun, seiring pemulihan ekonomi di Negeri Paman Sam memberikan dampak penguatan rupiah hingga berada di bawah Rp 10.000/US$. Penguatan tersebut terjadi hingga akhir kepemimpinan SBY periode pertama.
 
SBY kembali terpilih sebagai Presiden pada periode berikutnya yaitu 20 Oktober 2009-19 Oktober 2014. Saat dilantik, posisi rupiah berada di Rp 9,395/US$. Sementara di akhir kepemimpinannya, posisi rupiah di Rp 12.105/US$. Depresiasi rupiah jauh lebih dalam, hingga mencapai 28,85%. Depresiasi rupiah paling mencolok terlihat di awal tahun 2014, dimana rupiah berada di atas di Rp 12.000/US$.
 
Rupiah Jauh Lebih Baik di Era SBY atau Jokowi? Ini DatanyaFoto: Rupiah Periode II SBY/Tim Riset CNBC Indonesia

 
Penyebab utama pelemahan tersebut datang dari dalam negeri. Defisit transaksi berjalan di tahun tersebut menyentuh angka 4,30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau tertinggi selama SBY memimpin. Kondisi ini disinyalir menjadi sentimen yang mempengaruhi penilaian investor terhadap perekonomian Indonesia. Akibatnya, rupiah pun kena imbasnya dan mengalami depresiasi hampir 30%.


Setelah SBY memimpin dua periode, Jokowi pun naik ke tampuk pimpinan. Saat dilantik tanggal 20 Oktober 2014, posisi rupiah berada di Rp 12.030/US$. Sementara hingga saat ini, rupiah berada di posisi Rp 14.610/US$. Nilai depresiasi rupiah pun menyentuh 21,45%. Selama 4 tahun Jokowi memimpin, cobaan rupiah justru datang dari kedua arah.
 
Rupiah Jauh Lebih Baik di Era SBY atau Jokowi? Ini DatanyaFoto: Rupiah Periode Jokowi / Tim Riset CNBC Indonesia


Dari global, arah kebijakan Federal Reserve yang mulai agresif menyebabkan mata uang global termasuk rupiah tertekan. Sejak 2015, terhitung The Fed telah menaikkan suku bunga acuan hingga 175 basis poin. Kenaikan tersebut berpotensi terus terjadi seiring sinyal kuat The Fed akan agresif hingga akhir tahun.
 
Dalam pertemuan tahunan di Jackson Hole (Wyoming), Gubernur The Fed, Jerome Powell menyatakan bank sentral tetap akan menaikkan suku bunga secara bertahap, karena hal itu merupakan langkah terbaik untuk mendukung pemulihan ekonomi AS.


"Ekonomi kita kuat. Inflasi mendekati target 2%, dan banyak orang sudah mendapatkan pekerjaan. Jika pertumbuhan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja ini terus terjadi, maka kenaikan suku bunga acuan secara bertahap memang sudah selayaknya dilakukan," sebut Powell, mengutip Reuters.
 
Sinyal tersebut menjadi ancaman di depan mata bagi rupiah. Pelemahan pun menjadi ancaman kedepannya, setidaknya saat Presiden Jokowi memimpin hingga akhir masa jabatan.
 
Sementara dari dalam negeri, cobaan rupiah juga datang dari perkembangan defisit transaksi berjalan. Selama Jokowi memimpin, transaksi berjalan tidak pernah mencatatkan surplus. Hal ini berbeda di zaman SBY yang pernah mencatatkan surplus di tahun 2011

Rupiah Jauh Lebih Baik di Era SBY atau Jokowi? Ini DatanyaFoto: Reuters

 
Meskipun secara angka nilai depresiasi rupiah masih rendah dibandingkan masa SBY terutama di periode kedua khususnya. Namun, ancaman pelemahan kedepannya masih terbuka lebar. Perkiraan The Fed yang masih agresif hingga tahun depan, bukan tidak mungkin depresiasi rupiah di masa pemerintahan Jokowi akan jauh lebih tinggi nantinya. 


TIM RISET CNBC INDONESIA - Alfado Agustio


(dru) Next Article Rupiah di Atas Rp 16.000, Jokowi Beri Pesan ke BI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular