Dolar AS Jadi Darling-nya Investor, Rupiah Dkk Tak Berdaya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 August 2018 16:55

Setidaknya ada dua faktor yang memperkuat dolar AS hari ini. Pertama adalah rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi Agustus 2018.
Dalam rapat tersebut, Jerome Powell dan sejawat memberi petunjuk yang lebih jelas mengenai kenaikan suku bunga, yang disebut akan dilakukan segera. "Para peserta rapat menyatakan bahwa jika data-data ke depan mendukung proyeksi ekonomi, maka sudah saatnya menempuh langkah lanjutan untuk menghilangkan kebijakan yang akomodatif," sebut notulensi itu.
The Fed melihat perekonomian AS dari sisi pengusaha maupun rumah tangga sedang dalam momentum yang baik. Oleh karena itu, ekonomi akan tumbuh dan menciptakan dampak inflasi. Melihat hal tersebut, The Fed tidak akan lagi menyebut kebijakan moneter sebagai instrumen untuk mendorong perekonomian.
Potensi kenaikan suku bunga acuan menjadi bahan bakar utama penguatan dolar AS. Dengan kenaikan suku bunga, maka berinvestasi di aset-aset berbasis greenback menjadi lebih menguntungkan karena imbalannya naik.
Faktor kedua adalah eksalasi perang dagang AS vs China yang kembali meninggi. Meski sedang dalam proses negosiasi, kedua negara tetap mengenakan bea masuk tambahan. Baik AS maupun China hari ini resmi memberlakukan bea masuk 25% untuk impor dengan nilai masing-masing US$ 16 miliar.
"Mereka (China) tidak akan menyerah begitu saja, pasti akan membalas. Namun pada akhirnya, kami punya lebih banyak peluru. Mereka tahu itu. Kami punya ekonomi yang lebih kuat, dan mereka juga tahu itu," tegas Wilbur Ross, Menteri Perdagangan AS, dikutip dari Reuters.
Situasi ini membuat investor cemas, karena perang dagang adalah sebuah isu besar yang mempengaruhi perekonomian dunia. Perang dagang akan menghambat arus perdagangan dan membuat pertumbuhan ekonomi global mengkerut.
Kajian Bank Dunia menyebutkan, perang dagang akan menggerus perekonomian AS, China, dan Uni Eropa sekitar 1%. Sementara negara-negara berkembang akan merasakan dampak yang sedikit lebih besar, yaitu penurunan sekitar 1,1%.
Oleh karena itu, perang dagang cenderung membuat investor defensif, bermain aman, dan memasang mode risk-on. Pelaku pasar enggan mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang.
Saat bermain aman, dolar AS menjadi salah satu instrumen yang menjadi tujuan investor. Selain aman, greenback juga menawarkan keuntungan lebih tinggi karena faktor kenaikan suku bunga.
Dengan perkembangan-perkembangan tersebut, menjadi wajar laju dolar AS tidak tertahan. Selama dolar AS masih menjadi darling-nya investor dan tidak ada sentimen positif dari dalam negeri, maka rupiah akan sulit membalikkan kedudukan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Dalam rapat tersebut, Jerome Powell dan sejawat memberi petunjuk yang lebih jelas mengenai kenaikan suku bunga, yang disebut akan dilakukan segera. "Para peserta rapat menyatakan bahwa jika data-data ke depan mendukung proyeksi ekonomi, maka sudah saatnya menempuh langkah lanjutan untuk menghilangkan kebijakan yang akomodatif," sebut notulensi itu.
The Fed melihat perekonomian AS dari sisi pengusaha maupun rumah tangga sedang dalam momentum yang baik. Oleh karena itu, ekonomi akan tumbuh dan menciptakan dampak inflasi. Melihat hal tersebut, The Fed tidak akan lagi menyebut kebijakan moneter sebagai instrumen untuk mendorong perekonomian.
Faktor kedua adalah eksalasi perang dagang AS vs China yang kembali meninggi. Meski sedang dalam proses negosiasi, kedua negara tetap mengenakan bea masuk tambahan. Baik AS maupun China hari ini resmi memberlakukan bea masuk 25% untuk impor dengan nilai masing-masing US$ 16 miliar.
"Mereka (China) tidak akan menyerah begitu saja, pasti akan membalas. Namun pada akhirnya, kami punya lebih banyak peluru. Mereka tahu itu. Kami punya ekonomi yang lebih kuat, dan mereka juga tahu itu," tegas Wilbur Ross, Menteri Perdagangan AS, dikutip dari Reuters.
Situasi ini membuat investor cemas, karena perang dagang adalah sebuah isu besar yang mempengaruhi perekonomian dunia. Perang dagang akan menghambat arus perdagangan dan membuat pertumbuhan ekonomi global mengkerut.
Kajian Bank Dunia menyebutkan, perang dagang akan menggerus perekonomian AS, China, dan Uni Eropa sekitar 1%. Sementara negara-negara berkembang akan merasakan dampak yang sedikit lebih besar, yaitu penurunan sekitar 1,1%.
Oleh karena itu, perang dagang cenderung membuat investor defensif, bermain aman, dan memasang mode risk-on. Pelaku pasar enggan mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang.
Saat bermain aman, dolar AS menjadi salah satu instrumen yang menjadi tujuan investor. Selain aman, greenback juga menawarkan keuntungan lebih tinggi karena faktor kenaikan suku bunga.
Dengan perkembangan-perkembangan tersebut, menjadi wajar laju dolar AS tidak tertahan. Selama dolar AS masih menjadi darling-nya investor dan tidak ada sentimen positif dari dalam negeri, maka rupiah akan sulit membalikkan kedudukan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular