
Masih Loyo, Harga Batu Bara Turun 6 Hari Beruntun
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
23 August 2018 12:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara ICE Newcastle kontrak acuan ditutup terkoreksi tipis 0,05% ke angka US$117,5/metrik ton (MT) pada perdagangan hari Rabu (23/08/2018).
Dengan pergerakan itu, harga si batu hitam sudah membukukan pelemahan selama 6 hari berturut-turut. Awan hitam memang masih menyelimuti perdagangan batu bara. Selain ekspektasi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, kini investor pun dibuat tegang oleh kembali panasnya perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai lesu diindikasikan oleh data-data ekonomi China yang mengecewakan. Sebagai catatan, Negeri Tirai Bambu juga merukan negara pengimpor batu bara terbesar di dunia saat ini.
"Data Industri yang mengecewakan di China, beserta kekhawatiran pada ekonomi emerging market yang berpusat di Turki telah membebani harga komoditas," ujar Edward Bell dari Bank NBD Emirates, seperti dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, pertumbuhan penjualan ritel China hanya naik sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, turun dari 9% YoY pada bulan sebelumnya, serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY. Kemudian, pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan lalu juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY.
Sementara itu, investasi aset tetap di China juga hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Pertumbuhan investasi aset tetap tersebut bahkan masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.
Suramnya prospek ekonomi global juga ditunjukkan oleh indikator gabungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), mencakup ekonomi maju di negara barat, plus China, India, Rusia, Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan, yang terus menunjukkan pola penurunan sejak bulan Januari 2018.
Seperti diketahui, saat pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia terganggu, maka permintaan komoditas energi utama dunia seperti batu bara dikhawatirkan akan menurun. Hal ini lantas menjadi pemberat harga batu bara dalam beberapa hari terakhir.
Selain sentimen itu, investor juga masih mewaspadai perang dagang AS-China yang semakin memanas. Per hari ini, AS telah resmi menaikkan bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 16miliar menjadi 25%.
Sebelumnya, China telah mengatakan akan mengenakan bea masuk balasan bagi produk AS senilai US$16 miliar, jika sang negeri adidaya tetap bersikeras mengeksekusi rencananya. Produk-produk yang disasar China termasuk komoditas batu bara dan produknya.
Sebagai informasi, kemarin (22/8/2018) AS dan China resmi menggelar perundingan dagang di Washington. Perundingan tersebut rencananya akan berakhir hari ini. Melihat perkembangan terkini bahwa AS tetap mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China, perkembangan dari negosiasi tersebut bisa dibilang kurang baik. Sebelumnya, 4 negosiasi yang sudah digelar tak mampu mengakhiri perang dagang antar kedua negara.
Meski demikian, turunnya harga batu bara cenderung terbatas oleh masih kuatnya impor batu bara dari Negeri Panda. Mengutip Reuters, impor batu bara China bulan lalu naik 14% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 29,01 juta ton, tertinggi dalam 4,5 tahun.
Selain karena konsumsi batu bara China (khususnya untuk pembangkit listrik) masih cukup tinggi, faktor lain yang mendukung melesatnya impor adalah produksi batu bara Beijing yang mengalami penurunan sebesar 2% YoY ke angka 281,5 juta MT pada Juli 2018. Penyebabnya adalah inspeksi lingkungan yang dilakukan oleh Pemerintah China pada sejumlah sentra produksi batu bara, yang dimulai pada bulan Juni 2018 lalu.
(RHG/gus) Next Article Harga Batu Bara Terjun ke Titik Terendah Dalam 2 Bulan
Dengan pergerakan itu, harga si batu hitam sudah membukukan pelemahan selama 6 hari berturut-turut. Awan hitam memang masih menyelimuti perdagangan batu bara. Selain ekspektasi perlambatan pertumbuhan ekonomi global, kini investor pun dibuat tegang oleh kembali panasnya perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.
"Data Industri yang mengecewakan di China, beserta kekhawatiran pada ekonomi emerging market yang berpusat di Turki telah membebani harga komoditas," ujar Edward Bell dari Bank NBD Emirates, seperti dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, pertumbuhan penjualan ritel China hanya naik sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, turun dari 9% YoY pada bulan sebelumnya, serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY. Kemudian, pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan lalu juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY.
Sementara itu, investasi aset tetap di China juga hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Pertumbuhan investasi aset tetap tersebut bahkan masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.
Suramnya prospek ekonomi global juga ditunjukkan oleh indikator gabungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), mencakup ekonomi maju di negara barat, plus China, India, Rusia, Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan, yang terus menunjukkan pola penurunan sejak bulan Januari 2018.
Seperti diketahui, saat pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia terganggu, maka permintaan komoditas energi utama dunia seperti batu bara dikhawatirkan akan menurun. Hal ini lantas menjadi pemberat harga batu bara dalam beberapa hari terakhir.
Selain sentimen itu, investor juga masih mewaspadai perang dagang AS-China yang semakin memanas. Per hari ini, AS telah resmi menaikkan bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 16miliar menjadi 25%.
Sebelumnya, China telah mengatakan akan mengenakan bea masuk balasan bagi produk AS senilai US$16 miliar, jika sang negeri adidaya tetap bersikeras mengeksekusi rencananya. Produk-produk yang disasar China termasuk komoditas batu bara dan produknya.
Sebagai informasi, kemarin (22/8/2018) AS dan China resmi menggelar perundingan dagang di Washington. Perundingan tersebut rencananya akan berakhir hari ini. Melihat perkembangan terkini bahwa AS tetap mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China, perkembangan dari negosiasi tersebut bisa dibilang kurang baik. Sebelumnya, 4 negosiasi yang sudah digelar tak mampu mengakhiri perang dagang antar kedua negara.
Meski demikian, turunnya harga batu bara cenderung terbatas oleh masih kuatnya impor batu bara dari Negeri Panda. Mengutip Reuters, impor batu bara China bulan lalu naik 14% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 29,01 juta ton, tertinggi dalam 4,5 tahun.
Selain karena konsumsi batu bara China (khususnya untuk pembangkit listrik) masih cukup tinggi, faktor lain yang mendukung melesatnya impor adalah produksi batu bara Beijing yang mengalami penurunan sebesar 2% YoY ke angka 281,5 juta MT pada Juli 2018. Penyebabnya adalah inspeksi lingkungan yang dilakukan oleh Pemerintah China pada sejumlah sentra produksi batu bara, yang dimulai pada bulan Juni 2018 lalu.
(RHG/gus) Next Article Harga Batu Bara Terjun ke Titik Terendah Dalam 2 Bulan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular