
Riset Morgan Stanley: RI Termasuk Negara yang Rentan Risiko
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
20 August 2018 18:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Investasi global Morgan Stanley menilai risiko krisis di Turki dan penguatan dolar Amerika Serikat (AS) masih membayangi Indonesia. Tanah air memang menjadi salah satu negara emerging market yang paling rentan oleh risiko tersebut.
Salah satunya ditinjau dari pergerakan rupiah, di mana pelemahan rupiah akhir-akhir ini cukup dalam, bahkan menembus Rp 14.600/US$.
Menurut riset Morgan Stanley, faktor fundamental juga memiliki andil terhadap risiko tersebut, yakni defisit neraca transaksi berjalan kuartal II-2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).
"Indonesia, India dan Filipina lebih terekspose oleh risiko pendanaan di Asia mengingat posisi defisit neraca transaksi berjalan mereka," tutur Ekonom Morgan Stanley Dei Tan dan Zac Su dalam laporan riset yang dirilis pada 20 Agustus.
Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan defisit per Juni ini merupakan yang tertinggi sejak kuartal II-2014. Kondisi ini, tulis Morgan Stanley, turut andil dalam pelemahan kurs rupiah.
Untungnya, menurut Morgan Stanley, ketiadaan misalokasi sumber daya di dalam negeri agak mengurangi tekanan eksternal. Misalokasi yang dimasksud adalah kebijakan moneter longgar, meningkatnya utang, hingga tingkat inflasi yang juga bisa menjadi penekan rupiah.
Kenaikan suku bunga acuan oleh BI membawa efek positif dalam jangka pendek, tetapi belum tentu meredam gejolak utamadari pasar eksternal. Krisis mata uang di Turki yang menjalar ke negara-negara berkembang, termasuk rupiah, tak cukup dihadang dengan kenaikan bunga acuan.
Morgan Stanley menegaskan perlunya Indonesia meningkatkan ekspor khususnya non-komoditas dalam jangka panjang. Selain mendukung penguatan rupiah, strategi ini juga bakal menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Morgan Stanley: BI Bakal Turunkan Bunga Acuan, Bank Kian Cuan
Salah satunya ditinjau dari pergerakan rupiah, di mana pelemahan rupiah akhir-akhir ini cukup dalam, bahkan menembus Rp 14.600/US$.
Menurut riset Morgan Stanley, faktor fundamental juga memiliki andil terhadap risiko tersebut, yakni defisit neraca transaksi berjalan kuartal II-2018 yang mencapai 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan defisit per Juni ini merupakan yang tertinggi sejak kuartal II-2014. Kondisi ini, tulis Morgan Stanley, turut andil dalam pelemahan kurs rupiah.
Untungnya, menurut Morgan Stanley, ketiadaan misalokasi sumber daya di dalam negeri agak mengurangi tekanan eksternal. Misalokasi yang dimasksud adalah kebijakan moneter longgar, meningkatnya utang, hingga tingkat inflasi yang juga bisa menjadi penekan rupiah.
Kenaikan suku bunga acuan oleh BI membawa efek positif dalam jangka pendek, tetapi belum tentu meredam gejolak utamadari pasar eksternal. Krisis mata uang di Turki yang menjalar ke negara-negara berkembang, termasuk rupiah, tak cukup dihadang dengan kenaikan bunga acuan.
Morgan Stanley menegaskan perlunya Indonesia meningkatkan ekspor khususnya non-komoditas dalam jangka panjang. Selain mendukung penguatan rupiah, strategi ini juga bakal menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Morgan Stanley: BI Bakal Turunkan Bunga Acuan, Bank Kian Cuan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular