Defisit Migas Penyebab Utama Neraca Dagang RI Anjlok Dalam

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
15 August 2018 13:34
Jebloknya defisit migas menyumbang nyaris 60% dari defisit neraca perdagangan nasional.
Foto: skkmigas.go.id
Jakarta, CNBC IndonesiaBadan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai ekspor dan impor pada Juli 2018. Pada periode tersebut, ekspor Indonesia tembus US$ 16,24 miliar atau tumbuh 19,33% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara impor naik 31,56% YoY menjadi US$18,27 miliar. Sehingga defisit neraca perdagangan bulan lalu mencapai US$2,03 miliar.

Defisit itu jauh lebih besar daripada konsensus CNBC Indonesia yang meramal defisit sebesar US$640 juta. Berdasarkan survei CNBC Indonesia kepada sejumlah ekonom, impor diprediksikan hanya tumbuh sebesar 13,4% YoY, sementara ekspor diperkirakan naik 11,3% YoY.

Menariknya, dari defisit perdagangan sebesar US$2,03 miliar pada bulan lalu, sebagian besarnya disumbangkan oleh defisit neraca perdagangan migas yang mencapai US$1,19 miliar. Artinya, jebloknya defisit migas menyumbang nyaris 60% dari defisit neraca perdagangan nasional.

Secara kumulatif, dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$6,65 miliar, atau sekitar Rp97,37 triliun menggunakan kurs rupiah saat ini. Nilai itu melambung sekitar 44% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$4,62 miliar.



Meroketnya defisit migas tidak lain akibat eskpor migas yang hanya tumbuh sebesar 14,26% YoY pada periode Januari-Juli 2018, sedangkan impor migas tumbuh lebih cepat sebesar 24,51% YoY di periode yang sama.

Sebagai negara penyandang status net importir minyak, ada dua alasan yang mendorong membengkaknya defisit migas di tahun ini. Faktor tersebut adalah naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% YoY. Di sepanjang tahun berjalan ini, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 8,50% hingga perdagangan kemarin.



Di sisi lain, saat harga minyak melambung, nilai tukar rupiah justru terjun bebas. Di sepanjang tahun berjalan ini, rupiah sudah terdepresiasi di kisaran 7% hingga hampir menembus Rp14.700/US$ pada perdagangan hari ini. Seperti diketahui, melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan membuat harga minyak relatif lebih mahal, karena komoditas tersebut diperdagangkan dengan mata uang Negeri Paman Sam.

Lantas apa solusi untuk menekan defisit migas yang menjadi-jadi? Secara jangka panjang, penguatan hilirisasi migas dalam negeri perlu menjadi ujung tombak. Janji Presiden Joko Widodo untuk membangun kilang minyak dalam negeri juga harus terealisasi. Sebagai informasi, pembangunan kilang baru Bontang dan Tuban (Grass Root Refinery/GRR) sudah dimasukkan ke dalam proyek strategis nasional (PSN) di bawah payung hukum Perpres No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. 

Tidak hanya itu, di dalam daftar PSN juga direncanakan proyek Revitalisasi 5 Minyak Kilang Eksisting (RDMP). Kilang minyak eksisting yang akan ditingkatkan kapasitasnya, di antaranya Cilacap, Balongan, Dumai, Balikpapan, dan Plaju. Apabila keseluruhan proyek ini berjalan signifikan, maka kapasitas produksi kilang minyak Indonesia pun akan melambung, dan akhirnya meringankan beban impor migas tanah air.

Namun, perlu dicatat, bahwa yang namanya investasi memang butuh waktu. Dampak dari pembangunan atau revitalisasi kilang minyak tidak akan bisa dirasakan dalam jangka pendek. Di saat rupiah makin lemah seperti saat ini, pemerintah perlu solusi bersifat quick-win.

Munculnya kebijakan kewajiban campuran 20% minyak nabati ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM), atau akrab disebut B20, dapat menjadi salah satu strategi yang ampuh. Namun, untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat dan signifikan, mau tidak mau pemerintah harus menahan laju impor migas yang semakin deras tersebut. Konsumsi migas nasional harus bisa dibatasi.

Memang, saat konsumsi migas yang merupakan salah satu bahan baku utama industri nasional dibatasi, pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang akan mejadi korban. Namun, hal ini layak untuk dieksekusi, mengingat "lampu kuning" yang menyala untuk depresiasi rupiah yang makin parah serta defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang semakin besar.  


TIM RISET CNBC INDONESIA




(RHG/dru) Next Article Ekspor Februari Jeblok 11,33%, Impor Turun Drastis 13,98%

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular