Rupiah Sudah Jatuh Hampir 8%, Terparah Kedua di Asia

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
13 August 2018 12:28
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah jatuh hingga nyaris 8% sejak awal tahun 2018.
Foto: REUTERS/Sertac Kayar
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah jatuh hingga nyaris 8% sejak awal tahun 2018. Dibuka pada level Rp 13.565/US$ di awal tahun, nilai rupiah jatuh 7,7% ke Rp 14.610/US$ pada Agustus 2018.

Di luar isu global seperti perang dagang, krisis di Turki sampai kebijakan bank sentral AS. Faktor domestik juga turut membebani.

Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2018. NPI mengalami defisit US$ 4,31 miliar pada kuartal II-2018. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,85 miliar apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$ 739 juta.

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan (current account) masih tekor US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari PDB. Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 5,72 miliar (2,21% PDB) atau periode yang sama pada 2017 yang sebesar US$ 4,7 miliar (1,86% PDB).

Sedangkan transaksi modal dan finansial juga mengalami defisit US$ 4,01 miliar. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar minus US$ 3,27 miliar apalagi periode yang sama pada 2017 yang surplus US$ 637 juta.

NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Indonesia bisa dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimya sokongan devisa.

Hal ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Mata uang Tanah Air tidak punya pijakan yang kuat untuk terapresiasi. Akibatnya, rupiah pun melemah cukup dalam dan menjadi yang paling lemah di Benua Kuning.

Tingginya impor, kenaikan harga minyak dunia, trade war alias perang dagang dan membaiknya perekonomian AS membuat dolar makin perkasa di seluruh jagad raya. Hal ini menyebabkan rupiah terombang-ambing.

Di Asia, rupiah menjadi kedua terparah setelah India. Berikut datanya seperti dikutip Reuters, Senin (13/8/2018) :

  1. India (Rupee) : -9,12%
  2. Indonesia (Rupiah) : -7,7%
  3. Filipina (Peso) : -6,86%
  4. Korea Selatan (Won) : -6,53%
  5. China (Yuan) : -5,67%
  6. Taiwan (Dolar) : -3,83%
  7. Singapura (Dolar) : -2,87%
  8. Thailand (Bath) : -2,46%
  9. Malaysia (Ringgit) : -1,14%
  10. Hong Kong (Dolar) : -0,47%

Dampak positif pelemahan rupiah mungkin hanya dirasakan para eksportir komoditas. Namun, industri manufaktur Indonesia yang sangat bergantung pada impor berupa barang modal dan bahan baku terkena dampaknya. Tak lupa industri makanan dan minuman.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) menggarisbawahi bahan baku industri makanan-minuman atau mamin banyak menggunakan bahan impor.

Ketua Umum Gapmmi, Adhi S Lukman, menegaskan para pelaku usaha makanan dan minuman harus rela hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit.

Kondisi rupiah yang memperihatinkan ini dinilai harus segera diatasi dengan melihat berbagai kebijakan yang paling efektif untuk diterapkan. Dia menyebutkan jika tidak maka akan membuat pengusaha semakin tertekan.

"Pelemahan rupiah sangat memprihatinkan. Kita harus bersama mengatasi ini dan review berbagai kebijakan yang menghambat untuk meningkatkan daya saing produk kita dan mengurangi defisit," jelasnya.

Bila pelemahan nilai tukar yang dalam tidak dapat dicegah, dampaknya secara makro akan lebih besar berupa kenaikan inflasi, biaya impor, dan pembayaran utang luar negeri yang pada akhirnya dapat melemahkan kinerja industri manufaktur dan perekonomian.

(wed) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular