Investor Tunggu Data Pertumbuhan Ekonomi, Rupiah Menguat

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 August 2018 08:53
Investor Tunggu Data Pertumbuhan Ekonomi, Rupiah Menguat
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) stagnan cenderung menguat pada perdagangan pagi ini. Rupiah berpeluang melanjutkan penguatan ini sepanjang hari, dengan syarat data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 cukup kuat. 

Pada Senin (6/8/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar dibanderol Rp 14.490. Tidak berubah dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Seiring perjalanan pasar, rupiah mampu menguat tipis. Pada pukul 08:30 WIB, US$ 1 melemah 0,03% ke Rp 14.485. 

Kemudian pada pukul 08:44 WIB, penguatan rupiah kian tajam yaitu mencapai 0,14% dan dolar AS berhasil ditekan ke Rp 14.470. 

Rupiah cukup beruntung karena beberapa mata uang lainnya malah melemah di hadapan dolar AS. Depresiasi terdalam dialami dolar Taiwan. Sementara di antara mata uang yang berhasil menguat, apresiasi tertinggi dialami oleh yuan China.

Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap dolar AS pada pukul 08:48 WIB:



Dolar AS sejatinya masih melanjutkan penguatan. Pada pukul 08:36 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS relatif di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,1%. 

Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah menguat 0,89%. Sementara selama sebulan ke belakang penguatannya adalah 1,2%, 3 bulan terakhir 2,6%, dan sejak awal tahun mencapai 3,3%. 

Untuk hari ini, potensi apresiasi greenback bisa berasal dari data ketenagakerjaan AS. Angka pengangguran periode Juli 2018 tercatat sebesar 3,9% atau turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4%. 

Penciptaan lapangan kerja naik 157.000. Sementara jumlah orang yang ingin mencari kerja tetapi tidak mendapatkannya atau yang bekerja paruh waktu karena tidak bisa menemukan pekerjaan penuh waktu turun 0,3 poin persentase menjadi 7,5%, terendah sejak Maret 2001. Kemudian gaji per jam rata-rata naik 0,3% secara bulanan dan 2,7% secara tahunan.  

Data-data ketenagakerjaan yang lumayan bagus ini bisa membuat The Federal Reserve/The Fed kian yakin bahwa AS membutuhkan kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif. Kemungkinan kenaikan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018 semakin besar. 

Ditopang potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS tentu mendapat obat kuat. Kenaikan suku bunga akan memancing arus modal berdatangan ke AS, sehingga menopang apresiasi kurs.  

Namun, rupiah masih bisa menguat karena ada pijakan sentimen dalam negeri. Pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018. 

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 sebesar 5,125% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lebih cepat dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar 5,06% YoY maupun kuartal II-2017 yaitu 5,01% YoY.

 
Walau cukup sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4% seperti dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, tetapi pertumbuhan di kisaran itu sudah relatif baik. Mengingat tingginya tekanan eksternal, bisa mencapai pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,1% sudah merupakan pencapaian yang lumayan meski memang masih jauh dari optimal. 

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1-5,1% pada kuartal II-2018. Sementara pertumbuhan keseluruhan 2018 di kisaran 5,2-5,3%. 

"Pertumbuhan konsumsi yang rendah, yakni masih di bawah 5%, menggambarkan kewaspadaan rumah tangga terhadap fluktuasi pendapatan dan risiko eksternal meskipun inflasi masih sangat rendah dan terkendali. Pemerintah dan bank sentral sebenarnya ingin mendorong pertumbuhan dengan melonggarkan kebijakan moneter dan menambah konsumsi pemerintah. Namun, kondisi fiskal, neraca transaksi berjalan, dan arus modal saat ini tidak mendukung kebijakan yang bersifat ekspansif. Hal ini terlihat dari keputusan bank sentral sudah meningkatkan suku bunga acuan sebesar 100 bps dan janji pemerintah untuk menunda beberapa proyek infrastruktur demi menahan defisit transaksi berjalan," papar kajian LPEM FEB UI. 

Risiko bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, lanjut riset LPEM FEB UI, paling besar berasal dari faktor eksternal yaitu perang dagang dan pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Perang dagang dapat menimbulan risiko turunnya pertumbuhan ekonomi kedua negara-negara mitra dagang Indonesia, yang dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan memperburuk defisit transaksi berjalan. 

"Kemudian, kenaikan Federal Funds rate yang lebih cepat telah menciptakan ketidakpastian di pasar negara berkembang, meskipun dalam beberapa minggu terakhir fluktuasi di pasar sudah dapat diredam dan arus modal sudah kembali masuk ke negara berkembang," sebut riset LPEM FEB UI. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular