
Suhu Bumi Tak Beres, Harga Batu Bara Semakin Panas
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
03 August 2018 13:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara termal Australia telah menyentuh titik tertingginya dalam 6 tahun terakhir, didorong oleh gelombang panas yang menyapu Bumi Belahan Utara (BBU). Akibatnya, energi listrik yang digunakan menyalakan pendingin ruangan pun memuncak, sehingga memicu meroketnya permintaan batu bara untuk pembangkit listrik.
Harga batu bara termal Australia di pasar spot pelabuhan Newcastle Australia baru saja menyentuh angka US$121,75/ton, level tertingginya sejak Februari 2012, atau naik 30% dari level terendahnya di tahun ini pada bulan April 2018.
"Cuaca panas ekstrim di Asia dan Eropa mendorong permintaan listrik untuk industri dan juga alat pendingin di rumah tangga, hingga di atas level normal," ucap salah seorang trader yang dirahasiakan namanya, seperti dikutip dari Reuters.
"Batu bara bereaksi lebih kuat (terhadap gelombang panas) dibandingkan gas alam, karena memiliki lebih banyak kapasitas yang dapat digunakan," tambahnya.
Temperatur di wilayah pengkonsumsi utama batu bara di Asia Utara dan Eropa menyentuh rekor tertingginya di Bulan Juli 2018, dan diperkirakan berlanjut hingga bulan Agustus 2018. "Pelebaran suhu panas antara 1-4 derajat Celsius di atas normal telah terjadi di wilayah Selatan Tengah, Timur, dan Timur Laut di China, selama 7 hari terakhir," papar Ed Whalen, seorang analis cuaca, seperti dilansir dari Reuters.
Di Jepang, gelombang panas yang tidak biasa telah memicu temperatur di Tokyo mencapai lebih dari 41 derajat Celcius pada pekan lalu. Akibat pembangkit listrik bertenaga batu bara sudah mencapai kapastas maksimum, pemerintah Jepang bahkan sampai mengaktifkan sejumlah pembangkit listrik bertenaga minyak bumi yang sudah tua untuk memenuhi permintaan listrik yang memuncak. Harga listrik di Negeri Sakura pun telah menyentuh rekor tertingginya dalam sejarah.
Gelombang panas juga menyerang sebagian besar Benua Eropa, dengan temperatur di Spanyol dan Portugal melebihi 40 derajat Celsius. Bahkan, wilayah Skandinavia yang terbiasa dengan cuaca dingin, kini merasakan temperatur di atas 30 derajat Celsius.
Cuaca panas juga membuat sejumlah sungai di beberapa wilayah menjadi kekurangan air, yang akhirnya memaksa pembangkit listrik bertenaga nuklir (yang menggunakan air untuk mendinginkan reaktor) memangkas produksi listriknya.
Pada akhirnya, perusahaan utilitas listrik di Eropa, khususnya di Jerman, memaksimalkan penggunaan pembangkit listrik bertenaga batu bara untuk mengisi lubang yang ditinggalkan pembangkit listrik tenaga nuklir, seperti dilaporkan Reuters.Jerman dan Eropa memang bukan pembeli utama batu bara Australia, namun peningkatan permintaan dari Benua Biru memberikan dampak sampingan bagi kondisi pasokan batu bara global yang semakin langka.
Secara keseluruhan, pertumbuhan harga batu bara termal tahun ini telah jauh melampaui perkembangan harga energi fosil lainnya, seperti minyak mentah dan Liquified Natural Gas (LNG). Pasalnya, permintaan yang kuat datang saat pasokan harga batu bara cenderung stagnan. Di sisi lain, produksi minyak dan gas terus bertambah.
Seberapa Lama Harga Batu Bara yang Tinggi Bisa Bertahan?
Kini, setelah reli harga batu bara terus berlanjut sejak memasuki bulan Mei 2018, muncul pertanyaan seberapa jauh naiknya harga si batu hitam akan bertahan. Beberapa trader menyatakan jatuhnya harga batu bara domestik di China telah mengindikasikan minat beli yang lebih rendah dari salah satu negara pengkonsumsi batu bara terbesar di dunia tersebut.
"Kita akan melihat sebagian dari permintaan (batu bara) musim panas berkurang seiring datangnya temperatur yang lebih dingin, dan kita bergerak keluar dari puncak musim panas," ujar Pat Markey, Managing Director di perusahaan konsultan komoditas Sierra Vista Resources, seperti dikutip dari Reuters.
"Akibat melemahnya yuan (China) terhadap dolar AS, kekuatan pembelian dari konsumen (batu bara) di China juga menurun," tambah Markey.
Seperti diketahui, mata uang Negeri TIrai Bambu telah menurun di kisaran 8% terhadap dolar AS sejak memasuki kuartal II-2018, seiring munculnya kekhawatiran terkait eskalasi perang dagang dengan Negeri Paman Sam yang merupakan pembeli utama dari produk-produk China.
Kondisi ini juga mulai tercermin dengan turunnya harga batu bara Newcastle kontrak berjangka acuan sebesar 0,38% ke angka US$117,35/metrik ton pada penutupan perdagangan hari Kamis (02/08/2018). Padahal, pada perdagangan tanggal 27 Juli 2018 sempat menyentuh rekor tertingginya di angka US$119,9/metrik ton.
(RHG/gus) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Harga batu bara termal Australia di pasar spot pelabuhan Newcastle Australia baru saja menyentuh angka US$121,75/ton, level tertingginya sejak Februari 2012, atau naik 30% dari level terendahnya di tahun ini pada bulan April 2018.
"Cuaca panas ekstrim di Asia dan Eropa mendorong permintaan listrik untuk industri dan juga alat pendingin di rumah tangga, hingga di atas level normal," ucap salah seorang trader yang dirahasiakan namanya, seperti dikutip dari Reuters.
Temperatur di wilayah pengkonsumsi utama batu bara di Asia Utara dan Eropa menyentuh rekor tertingginya di Bulan Juli 2018, dan diperkirakan berlanjut hingga bulan Agustus 2018. "Pelebaran suhu panas antara 1-4 derajat Celsius di atas normal telah terjadi di wilayah Selatan Tengah, Timur, dan Timur Laut di China, selama 7 hari terakhir," papar Ed Whalen, seorang analis cuaca, seperti dilansir dari Reuters.
Di Jepang, gelombang panas yang tidak biasa telah memicu temperatur di Tokyo mencapai lebih dari 41 derajat Celcius pada pekan lalu. Akibat pembangkit listrik bertenaga batu bara sudah mencapai kapastas maksimum, pemerintah Jepang bahkan sampai mengaktifkan sejumlah pembangkit listrik bertenaga minyak bumi yang sudah tua untuk memenuhi permintaan listrik yang memuncak. Harga listrik di Negeri Sakura pun telah menyentuh rekor tertingginya dalam sejarah.
Gelombang panas juga menyerang sebagian besar Benua Eropa, dengan temperatur di Spanyol dan Portugal melebihi 40 derajat Celsius. Bahkan, wilayah Skandinavia yang terbiasa dengan cuaca dingin, kini merasakan temperatur di atas 30 derajat Celsius.
Cuaca panas juga membuat sejumlah sungai di beberapa wilayah menjadi kekurangan air, yang akhirnya memaksa pembangkit listrik bertenaga nuklir (yang menggunakan air untuk mendinginkan reaktor) memangkas produksi listriknya.
Pada akhirnya, perusahaan utilitas listrik di Eropa, khususnya di Jerman, memaksimalkan penggunaan pembangkit listrik bertenaga batu bara untuk mengisi lubang yang ditinggalkan pembangkit listrik tenaga nuklir, seperti dilaporkan Reuters.Jerman dan Eropa memang bukan pembeli utama batu bara Australia, namun peningkatan permintaan dari Benua Biru memberikan dampak sampingan bagi kondisi pasokan batu bara global yang semakin langka.
Secara keseluruhan, pertumbuhan harga batu bara termal tahun ini telah jauh melampaui perkembangan harga energi fosil lainnya, seperti minyak mentah dan Liquified Natural Gas (LNG). Pasalnya, permintaan yang kuat datang saat pasokan harga batu bara cenderung stagnan. Di sisi lain, produksi minyak dan gas terus bertambah.
Seberapa Lama Harga Batu Bara yang Tinggi Bisa Bertahan?
Kini, setelah reli harga batu bara terus berlanjut sejak memasuki bulan Mei 2018, muncul pertanyaan seberapa jauh naiknya harga si batu hitam akan bertahan. Beberapa trader menyatakan jatuhnya harga batu bara domestik di China telah mengindikasikan minat beli yang lebih rendah dari salah satu negara pengkonsumsi batu bara terbesar di dunia tersebut.
"Kita akan melihat sebagian dari permintaan (batu bara) musim panas berkurang seiring datangnya temperatur yang lebih dingin, dan kita bergerak keluar dari puncak musim panas," ujar Pat Markey, Managing Director di perusahaan konsultan komoditas Sierra Vista Resources, seperti dikutip dari Reuters.
"Akibat melemahnya yuan (China) terhadap dolar AS, kekuatan pembelian dari konsumen (batu bara) di China juga menurun," tambah Markey.
Seperti diketahui, mata uang Negeri TIrai Bambu telah menurun di kisaran 8% terhadap dolar AS sejak memasuki kuartal II-2018, seiring munculnya kekhawatiran terkait eskalasi perang dagang dengan Negeri Paman Sam yang merupakan pembeli utama dari produk-produk China.
Kondisi ini juga mulai tercermin dengan turunnya harga batu bara Newcastle kontrak berjangka acuan sebesar 0,38% ke angka US$117,35/metrik ton pada penutupan perdagangan hari Kamis (02/08/2018). Padahal, pada perdagangan tanggal 27 Juli 2018 sempat menyentuh rekor tertingginya di angka US$119,9/metrik ton.
(RHG/gus) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular