Ekonomi Bocor, Capital Control & Lord Voldemort

Herdaru Purnomo & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 August 2018 12:01
Ekonomi Bocor, Capital Control & Lord Voldemort
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - "Memang kita salah satu negara yang devisanya terlalu bebas setelah (kebijakan) deregulasi 1980-an. Pada waktu krisis 1998, kita sangat mempermudah keluar masuknya devisa."

Ungkapan tersebut dilontarkan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla dalam sebuah diskusi ekonomi kemarin. Ya, semua analis dan sebagian masyarakat sudah paham hal tersebut, rezim devisa bebas Indonesia menjadi sebuah dilema.

Semua orang yang pernah merasakan krisis pada 1997-1998 mungkin mengerti betapa menyeramkannya Indonesia ketika itu. Krisis yang pada akhirnya membuat kerusuhan di mana-mana.

Pada tahun itulah, Indonesia 'terpaksa' menganut rezim devisa bebas yang bahkan super bebas untuk memperbaiki perekonomian. Dana Moneter Internasional (IMF) masuk dengan segala bantuan yang tentu saja (bukan tanpa) pamrih dan membuat lembaga internasional itu bisa mendikte kebijakan Indonesia.

Rezim devisa bebas ini mempersilakan dana asing masuk dan keluar seenaknya. Termasuk devisa hasil ekspor. Imbauan-imbauan sampai aturan pun tak mempan membawa dana hasil ekspor kembali seutuhnya ke Indonesia. Bahkan Menteri Koordinator Darmin Nasution menyebut hal ini merupakan sebuah kebocoran ekonomi. 



Rupiah naik turun, bergejolak, sudah biasa dialami masyarakat Indonesia. Rezim devisa bebas ini pun membuat perbankan dalam negeri dikuasai asing.

Di kebanyakan negara maju walaupun mereka menganut rezim devisa bebas tetapi tetap berusaha membuat kebijakan untuk mengendalikan uang keluar dan memperbesar dana hasil ekspor untuk mengalir kembali ke negeri mereka. Ini mungkin yang tengah dilakukan pemerintah.

Sensitif memang, tetapi apa daya ketika dana asing sudah dimanjakan mereka siap memberikan hukuman ke Indonesia jika berani mengubah rezim devisa super bebas ini.
Capital control menjadi kata-kata sensitif yang tabu diucapkan seluruh pejabat di Indonesia karena tidak mungkin saat ini memberlakukan kontrol devisa jika Indonesia masih memiliki defisit ganda (defisit anggaran dan defisit transaksi berjalan). Kedua defisit ini membuat Indonesia tergantung terhadap asing.

"Ada sebuah cara. Terapkan dulu Tobin Tax di pasar keuangan Indonesia. Ini sebagai bentuk insentif bagi asing, justru bukan sebuah kebijakan mengontrol devisa," papar Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan, ketika berbincang dengan CNBC Indonesia.

Dijelaskan Chatib, ketika investor masuk melalui portofolio maupun instrumen apapun yang tersedia justru dibebaskan dari pajak. Asal tidak keluar sebelum 6 bulan.

Bagaimana jika mereka cabut di bawah 6 bulan?

"Ya ada pajak yang harus mereka bayar. Ini bukan capital control. Ini bicara insentif dan disinsentif. Ini cukup melalui Peraturan Pemerintah (PP) tak usah bicara amandemen undang-undang," tuturnya.

Untuk saat ini, Indonesia tidak bisa sembarangan mengubah rezim devisa. Menerapkan rezim yang lebih ketat, apalagi jika sampai mengatur arus devisa yang boleh masuk dan keluar (capital control) adalah hal yang tabu.

Bukan apa-apa, mengubah rezim devisa (apalagi ke arah pengetatan) pasti membuat pelaku pasar tidak nyaman. Apalagi investor asing, yang selama lebih dari dua dekade terakhir mendapat tempat seluas-luasnya di Indonesia.

Struktur ekonomi Indonesia saat ini pun memberi ruang mewah bagi arus modal asing. S
ejak 2011, transaksi berjalan (current account) Indonesia selalu defisit. Oleh karena itu, neraca pembayaran membutuhkan transaksi modal dan finansial agar bisa surplus. 

Pada kuartal I-2018, transaksi modal dan finansial memang masih surplus tetapi tidak mampu menambal lubang besar yang ditinggalkan transaksi berjalan. Hasilnya, neraca pembayaran membukukan defisit US$ 3,85 miliar. Sebelumnya, transaksi modal dan finansial masih mampu menalangi defisit transaksi berjalan sehingga neraca pembayaran tetap surplus. 

Jika minat investor terhadap pasar keuangan Indonesia turun, maka arus modal masuk akan semakin berkurang. Akibatnya defisit neraca pembayaran bisa semakin lebar.
Ini justru membuat rupiah melemah lebih dalam lagi, sesuatu yang sedang kita hindari.
 

Selain itu, pembiayaan anggaran negara juga sedikit banyak bergantung pada modal asing. Setiap tahunnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak pernah mencatat surplus, selalu defisit karena penerimaan negara tidak mampu membiayai belanja. Selisih ini ditutup dengan pembiayaan utang.

Saat ini, sebagian utang pemerintah berasal dari pasar yaitu penerbitan obligasi alias Surat Berharga Negara (SBN). Per 1 Agustus 2018, kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 839,29 triliun. Jumlah tersebut mewakili 37,7% dari total investor SBN, tertinggi di antara kelompok lainnya.

Jika investor asing ini sampai tidak nyaman, maka mereka bisa saja meninggalkan pasar SBN dengan segera alias sudden reversal. Kala lebih dari 30% investor di SBN keluar, entah apa yang terjadi. Membayangkannya saja pun sudah tidak berani.

Oleh karena itu, tidak heran capital control menjadi hal yang tabu di Indonesia. Sebab ketika kebijakan ini diterapkan (atau baru diwacanakan saja) dijamin investor asing akan menarik dananya. Hasilnya adalah neraca pembayaran Indonesia defisit, anggaran negara kurang pembiayaan, dan berbagai kengerian lainnya.

Capital control memang bagai Lord Voldemort. Dia yang tidak boleh disebut namanya.
 

Namun jika arus modal terus dibiarkan datang dan pergi sesuka hatinya, maka rupiah pun berpotensi terus bergejolak. Volatilitas rupiah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki dunia usaha maupun masyarakat, karena membut situasi menjadi penuh ketidakpastian.

Oleh karena itu, memang perlu ada pemikiran bagaimana untuk menjaga arus modal tidak mudah keluar. Dalam jangka pendek, Tobin Tax mungkin perlu menjadi pertimbangan. Namun dalam jangka panjang, yang harus dilakukan adalah membenahi sisi transaksi berjalan. 

Transaksi berjalan adalah bagian dari neraca pembayaran yang berasal dari ekspor barang dan jasa. Penerimaan devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustainable) dan bisa menopang rupiah dalam jangka panjang. 

Cara untuk mengatasi defisit transaksi berjalan paling mudah adalah meningkatkan ekspor dan mengurangi impor. Di sisi ekspor, Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap komoditas. Saat ini, lebih dari 50% ekspor Indonesia adalah komoditas. 
Ekspor komoditas tidak menghasilkan nilai tambah dan harganya murah. Jauh dibandingkan ekspor produk olahan, yang harganya bisa berkali-kali lipat. 

Inilah yang membuat nilai ekspor negara seperti Singapura, Thailand, atau Jepang bisa melebihi Indonesia. Sebab, ekspor mereka didominasi produk manufaktur yang bernilai tambah dan mahal. 

Untuk itu, kuncinya adalah industrialisasi. Indonesia perlu menggalakkan lagi industrialisasi, misalnya di industri pengolahan hasil bumi, agar komoditas yang didapat bisa diolah di dalam negeri. Hasilnya adalah produk olahan yang harganya bisa lebih tinggi. 

Kemudian di sisi impor. Indonesia punya penyakit yang belum sembuh sampai saat ini. Ketika pertumbuhan ekonomi membaik, biasanya diiringi oleh lonjakan impor karena industri dalam negeri belum bisa memenuhi kenaikan permintaan, terutama untuk bahan baku dan barang modal. 

Jawaban untuk masalah ini lagi-lagi adalah industrialisasi. Perlu ada langkah konsisten untuk terus memupuk industri nasional agar mampu menyediakan bahan baku dan barang modal. Dengan begitu, Indonesia tidak perlu sedikit-sedikit impor yang bisa membebani transaksi berjalan.

Upaya-upaya ini memang membutuhkan waktu, tidak bisa instan. Namun bisa sudah dilakukan, maka fundamental ekonomi Indonesia akan lebih kuat.



TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular