
Gara-gara Jokowi Batal Cabut DMO, IHSG Anjlok 1,52%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
31 July 2018 16:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,52% ke level 5.936,44 pada perdagangan hari ini. Jika dibandingkan dengan bursa saham lainnya di kawasan Asia, performa IHSG jelas merupakan yang terburuk: indeks Nikkei naik 0,04%, indeks Strait Times naik 0,62%, indeks Shanghai naik 0,26%, indeks Kospi naik 0,08%, indeks KLCI (Malaysia) naik 0,79%, indeks Hang Seng turun 0,52%, dan indeks SET (Thailand) turun 0,1%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 10,59 triliun dengan volume sebanyak 11,83 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 488.383 kali.
Faktor domestik mendominasi jalannya perdagangan hari ini. Pertama, keputusan Presiden Joko Widodo yang membatalkan rencana untuk mencabut DMO (kewajiban pemenuhan pasar domestik) batu bara. Keputusan ini diambil setelah rapat terbatas digelar dengan 17 pejabat negara di Istana Bogor.
"Presiden memutuskan tidak ada pencabutan DMO, tetap berjalan seperti sekarang," ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, usai rapat terbatas di Istana Bogor, Selasa (31/7/2018).
Jonan menegaskan kewajiban DMO diatur oleh Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 dan tidak bisa diganggu gugat. Begitu juga soal harga, diatur dalam peraturan pemerintah dan tidak ada pencabutan pembatasan harga batu bara.
Akibatnya, saham-saham emiten batu bara menjadi bulan-bulanan investor: PT Adaro Energy Tbk (ADRO) anjlok 8,85%, PT Harum Energy Tbk (HRUM) anjlok 7,64%, PT Indika Energy Tbk (INDY) anjlok 6,25%, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) anjlok 5,08%, dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) anjlok 2,99%.
Seiring anjloknya saham-saham batu bara, indeks sektor pertambangan melemah hingga 2,72%.
Pada perdagangan kemarin (30/7/2018), saham-saham emiten batu bara sempat menjadi buruan investor lantaran penghapusan DMO akan berdampak positif bagi emiten-emiten batu bara. Pasalnya, para emiten jadi bisa menikmati harga batu bara dengan standar internasional yang saat ini sedang tinggi-tingginya. Sepanjang tahun 2018 (sampai dengan penutupan perdagangan kemarin), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman bulan Juli telah menguat hingga 14,6% (dari US$ 100,8/metrik ton menjadi US$ 115,55/metrik ton).
Faktor domestik kedua yang membebani IHSG adalah rilis laporan keuangan yang mengecewakan dari emiten-emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) anjlok hingga 8,7%, menjadikannya saham dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.
Sepanjang kuartal-II 2018, perusahaan membukukan laba bersih sebesar Rp 2,96 triliun, sangat jauh dari rata-rata konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar Rp 5,96 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, laba bersih TLKM anjlok hingga 45,4%.
Anjloknya laba bersih perusahaan salah satunya disebabkan oleh penjualan yang tak mencapai target. Sepanjang kuartal-II, penjualan TLKM tercatat sebesar Rp 33,03 triliun, lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 33,91 triliun.
Jika dilihat secara semesteran, TLKM mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 28,1% sepanjang semester I-2018 menjadi Rp 8,69 triliun. Pada semester-I 2017, laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 12,1 triliun.
Padahal, pada periode tersebut perusahaan justru mencatatkan kenaikan penjualan meski tipis yakni sebesar 0,54% saja menjadi Rp 64,36 triliun, dari yang sebelumnya Rp 64,02 triliun.
Peningkatan beban operasi, pemeliharaan dan jasa telekomunikasi menjadi penyebab terkikisnya laba bersih perusahaan. Nilai beban operasi perseroan meningkat menjadi Rp 21,88 triliun, dari yang sebelumnya Rp 18,40 triliun.
Saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) melemah 1,93%, menjadikannya saham dengan kontribusi terbesar ke-3 bagi pelemahan IHSG. Sepanjang kuartal-II 2018, perusahaan membukukan laba bersih sebesar Rp 1,69 triliun, lebih tinggi dibandingkan rata-rata konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar Rp 1,45 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, laba bersih UNVR naik tipis sebesar 1,81%.
Namun, penjualan pada kuartal-II 2018 hanya diumumkan sebesar Rp 10,44 triliun, lebih rendah dibandingkan konsensus yang sebesar Rp 11,04 triliun. Ini artinya, kenaikan laba bersih bukan ditopang oleh positifnya penjualan perusahaan.
Jika dilihat secara semesteran, UNVR mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 2,49% sepanjang semester I-2018 menjadi Rp 3,53 triliun. Pada semester-I 2017, laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 3,62 triliun.
Penjualan perusahaan turun 0,38% menjadi Rp 21,18 triliun, dari yang sebelumnya 21,26 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Jokowi Bakal Divaksin 13 Januari, Saham Farmasi Pesta Pora
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 10,59 triliun dengan volume sebanyak 11,83 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 488.383 kali.
Faktor domestik mendominasi jalannya perdagangan hari ini. Pertama, keputusan Presiden Joko Widodo yang membatalkan rencana untuk mencabut DMO (kewajiban pemenuhan pasar domestik) batu bara. Keputusan ini diambil setelah rapat terbatas digelar dengan 17 pejabat negara di Istana Bogor.
Jonan menegaskan kewajiban DMO diatur oleh Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 dan tidak bisa diganggu gugat. Begitu juga soal harga, diatur dalam peraturan pemerintah dan tidak ada pencabutan pembatasan harga batu bara.
Akibatnya, saham-saham emiten batu bara menjadi bulan-bulanan investor: PT Adaro Energy Tbk (ADRO) anjlok 8,85%, PT Harum Energy Tbk (HRUM) anjlok 7,64%, PT Indika Energy Tbk (INDY) anjlok 6,25%, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) anjlok 5,08%, dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) anjlok 2,99%.
Seiring anjloknya saham-saham batu bara, indeks sektor pertambangan melemah hingga 2,72%.
Pada perdagangan kemarin (30/7/2018), saham-saham emiten batu bara sempat menjadi buruan investor lantaran penghapusan DMO akan berdampak positif bagi emiten-emiten batu bara. Pasalnya, para emiten jadi bisa menikmati harga batu bara dengan standar internasional yang saat ini sedang tinggi-tingginya. Sepanjang tahun 2018 (sampai dengan penutupan perdagangan kemarin), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman bulan Juli telah menguat hingga 14,6% (dari US$ 100,8/metrik ton menjadi US$ 115,55/metrik ton).
Faktor domestik kedua yang membebani IHSG adalah rilis laporan keuangan yang mengecewakan dari emiten-emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) anjlok hingga 8,7%, menjadikannya saham dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.
Sepanjang kuartal-II 2018, perusahaan membukukan laba bersih sebesar Rp 2,96 triliun, sangat jauh dari rata-rata konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar Rp 5,96 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, laba bersih TLKM anjlok hingga 45,4%.
Anjloknya laba bersih perusahaan salah satunya disebabkan oleh penjualan yang tak mencapai target. Sepanjang kuartal-II, penjualan TLKM tercatat sebesar Rp 33,03 triliun, lebih rendah dari ekspektasi yang sebesar 33,91 triliun.
Jika dilihat secara semesteran, TLKM mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 28,1% sepanjang semester I-2018 menjadi Rp 8,69 triliun. Pada semester-I 2017, laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 12,1 triliun.
Padahal, pada periode tersebut perusahaan justru mencatatkan kenaikan penjualan meski tipis yakni sebesar 0,54% saja menjadi Rp 64,36 triliun, dari yang sebelumnya Rp 64,02 triliun.
Peningkatan beban operasi, pemeliharaan dan jasa telekomunikasi menjadi penyebab terkikisnya laba bersih perusahaan. Nilai beban operasi perseroan meningkat menjadi Rp 21,88 triliun, dari yang sebelumnya Rp 18,40 triliun.
Saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) melemah 1,93%, menjadikannya saham dengan kontribusi terbesar ke-3 bagi pelemahan IHSG. Sepanjang kuartal-II 2018, perusahaan membukukan laba bersih sebesar Rp 1,69 triliun, lebih tinggi dibandingkan rata-rata konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar Rp 1,45 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, laba bersih UNVR naik tipis sebesar 1,81%.
Namun, penjualan pada kuartal-II 2018 hanya diumumkan sebesar Rp 10,44 triliun, lebih rendah dibandingkan konsensus yang sebesar Rp 11,04 triliun. Ini artinya, kenaikan laba bersih bukan ditopang oleh positifnya penjualan perusahaan.
Jika dilihat secara semesteran, UNVR mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 2,49% sepanjang semester I-2018 menjadi Rp 3,53 triliun. Pada semester-I 2017, laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 3,62 triliun.
Penjualan perusahaan turun 0,38% menjadi Rp 21,18 triliun, dari yang sebelumnya 21,26 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Jokowi Bakal Divaksin 13 Januari, Saham Farmasi Pesta Pora
Most Popular