
Harga Batu Bara Anjlok 4% ke Titik Terendah Sejak Juli 2018
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
30 July 2018 17:08

Setelah 3 hari berturut-turut stabil di rekor tertingginya sejak awal tahun 2012, harga batu bara terjun bebas. Pada hari Senin (30/07/2018), harga batu bara ICE Newcastle kontrak acuan terkoreksi 3,92% ke US$115,2/ton.
Sebelumnya, harga si batu hitam mampu stabil di angka US$119,90, yang menjadi level tertingginya dalam 6,5 tahun, sekaligus membukukan penguatan sebesar 1,87% di sepanjang pekan lalu.
Meski demikian, pada awal pekan ini, harga batu bara seolah kehabisan bensin. Harga salah satu komoditas energi utama ini terlempar ke titik terendahnya sejak 2 Juli 2018, terpukul oleh berakhirnya pengecekan lingkungan bagi sejumlah tambang batu bara di China, sekaligus kabar dicabutnya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) bagi industri tambang di Indonesia.
Sebagian besar pertambangan batu bara di China kini sudah beroperasi dengan normal pasca berakhirnya inspeksi lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah. Sejak tahun lalu, pemerintah Negeri Panda memang gencar melakukan inspeksi keselamatan pertambangan serta pemeriksaan dampak lingkungan pertambangan terhadap alam sekitar.
Tidak hanya itu, pemerintah China juga memperketat pengawasan pertambangan batu bara ilegal, dan memastikan tidak adanya produksi yang melebihi kapasitas. Akibatnya, pasokan batu bara domestik Negeri Tirai Bambu pun menjadi terbatas.
Namun, pasca kebijakan ini berakhir, sekarang pasokan batu bara di Negeri Tirai Bambu pun pulih. Kekhawatiran mengenai langkanya pasokan yang timbul seiring kuatnya konsumsi batu bara (khususnya untuk pembangkit listrik), mulai mereda. Teranyar, cadangan batu bara di pelabuhan China tercatat meningkat 5,2% pada pekan lalu, ke titik tertingginya sejak November 2015.
Selain itu, sentimen negatif lainnya juga datang dari pencabutan kebijakan DMO di Indonesia. Kewajiban DMO sebelumnya mengatur tiap-tiap produsen batu bara untuk mengalokasikan 25% dari produksinya untuk dijual kepada PLN dengan harga yang sudah diatur sebelumnya.
Nantinya, kebijakan DMO akan digantikan dengan skema ekspor yang serupa dengan minyak kelapa sawit, yakni dikenakan tarif. Tarif tersebut kemudian akan difungsikan sebagai cadangan dana untuk mensubsidi PLN.
Kebijakan ini lantas akan memberikan persepsi bahwa ekspor batu bara dari Indonesia akan meningkat pesat, kemudian membanjiri pasokan global. Padahal, di 6 bulan pertama tahun ini, Indonesia berhasil menjadi pemasok utama batu bara ke China, dengan menyumbang 61,8 juta ton, atau sekitar 49% dari total impor batu bara China. Jumlah itu mampu meningkat 33,48% dari semester I-2017.
Kuatnya pengiriman batu bara dari Indonesia sebenarnya menimbulkan pertanyaan besar bagi mereka yang mempercayai China sedang berusaha menurunkan tingkat polusi udara. Pasalnya, ekspor dari Indonesia didominasi oleh batu bara berkualitas lebih rendah, dengan nilai energi sebesar 4.200 kilokalori per kilogram (kcal/kg) atau bahkan kurang.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa batu bara di Indonesia juga memiliki tingkat kandungan sulfur yang lebih rendah. Hal ini lantas berguna bagi pembangkit listrik di China untuk mencampur batu bara asal Indonesia dengan pasokan batu bara domestik atau impor yang berkadar sulfur tinggi. Hal ini akan memungkinkan China untuk menekan emisi sulfur dioksida dan nitrogen oksida, walaupun akan ada sedikit penalti untuk efisiensi boiler.
Juga jangan dilupakan bahwa batu bara asal Indonesia masih lebih murah dibandingkan batu bara termal berkualitas lebih tinggi dari Australia. Tingkat diskon dari batu bara Indonesia terhadap batu bara asal Newcastle Australia memang melebar cukup signifikan dalam beberapa waktu terakhir, dari 50% pada akhir 2017 menjadi saat ini sebesar 58%.
Kombinasi membanjirnya pasokan dari Indonesia dan membaiknya pasokan batu bara domestik China lantas menekan harga batu bara global hari ini.
Meski demikian, pada sore hari ini, muncul kabar yang justru berbanding terbalik. Pertama adalah kemungkinan DMO batu bara bukan dicabut, tetapi dikurangi kadarnya. Selama ini, kewajiban pemenuhan pasokan dalam negeri adalah rata-rata 25% dari total produksi. Rosan Roslani, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang ikut dalam rapat pembahasan mengungkapkan bahwa ke depan bisa saja opsi yang dipilih adalah mengurangi DMO menjadi kurang dari 25%.
Kedua adalah kebijakan DMO (apapun yang dipilih) kemungkinan baru berlaku tahun depan, bukan sekarang atau dalam waktu dekat. Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman, menyebutkan kebijakan ini butuh pembahasan mendalam.
"Jadi, kita mau lihat peluang berapa besar uang yang bisa kita dapat dari sini karena kita butuh ekspor. Ini kita lagi hitung. Kalaupun jadi, paling tahun depan baru bisa karena butuh sosialisasi, aturan-aturan. Kita hitung dulu, berapa banyak dampaknya pada penerimaan negara," papar Luhut.
Kebijakan DMO yang masih samar-samar ini lantas bisa menjadi angin segar yang berpotensi mendorong harga batu bara di perdagangan esok hari.
(RHG/wed) Next Article Senja Kala Pembangkit Listrik Batu Bara
Sebelumnya, harga si batu hitam mampu stabil di angka US$119,90, yang menjadi level tertingginya dalam 6,5 tahun, sekaligus membukukan penguatan sebesar 1,87% di sepanjang pekan lalu.
Meski demikian, pada awal pekan ini, harga batu bara seolah kehabisan bensin. Harga salah satu komoditas energi utama ini terlempar ke titik terendahnya sejak 2 Juli 2018, terpukul oleh berakhirnya pengecekan lingkungan bagi sejumlah tambang batu bara di China, sekaligus kabar dicabutnya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) bagi industri tambang di Indonesia.
![]() |
Sebagian besar pertambangan batu bara di China kini sudah beroperasi dengan normal pasca berakhirnya inspeksi lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah. Sejak tahun lalu, pemerintah Negeri Panda memang gencar melakukan inspeksi keselamatan pertambangan serta pemeriksaan dampak lingkungan pertambangan terhadap alam sekitar.
Tidak hanya itu, pemerintah China juga memperketat pengawasan pertambangan batu bara ilegal, dan memastikan tidak adanya produksi yang melebihi kapasitas. Akibatnya, pasokan batu bara domestik Negeri Tirai Bambu pun menjadi terbatas.
Namun, pasca kebijakan ini berakhir, sekarang pasokan batu bara di Negeri Tirai Bambu pun pulih. Kekhawatiran mengenai langkanya pasokan yang timbul seiring kuatnya konsumsi batu bara (khususnya untuk pembangkit listrik), mulai mereda. Teranyar, cadangan batu bara di pelabuhan China tercatat meningkat 5,2% pada pekan lalu, ke titik tertingginya sejak November 2015.
Selain itu, sentimen negatif lainnya juga datang dari pencabutan kebijakan DMO di Indonesia. Kewajiban DMO sebelumnya mengatur tiap-tiap produsen batu bara untuk mengalokasikan 25% dari produksinya untuk dijual kepada PLN dengan harga yang sudah diatur sebelumnya.
Nantinya, kebijakan DMO akan digantikan dengan skema ekspor yang serupa dengan minyak kelapa sawit, yakni dikenakan tarif. Tarif tersebut kemudian akan difungsikan sebagai cadangan dana untuk mensubsidi PLN.
Kebijakan ini lantas akan memberikan persepsi bahwa ekspor batu bara dari Indonesia akan meningkat pesat, kemudian membanjiri pasokan global. Padahal, di 6 bulan pertama tahun ini, Indonesia berhasil menjadi pemasok utama batu bara ke China, dengan menyumbang 61,8 juta ton, atau sekitar 49% dari total impor batu bara China. Jumlah itu mampu meningkat 33,48% dari semester I-2017.
Kuatnya pengiriman batu bara dari Indonesia sebenarnya menimbulkan pertanyaan besar bagi mereka yang mempercayai China sedang berusaha menurunkan tingkat polusi udara. Pasalnya, ekspor dari Indonesia didominasi oleh batu bara berkualitas lebih rendah, dengan nilai energi sebesar 4.200 kilokalori per kilogram (kcal/kg) atau bahkan kurang.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa batu bara di Indonesia juga memiliki tingkat kandungan sulfur yang lebih rendah. Hal ini lantas berguna bagi pembangkit listrik di China untuk mencampur batu bara asal Indonesia dengan pasokan batu bara domestik atau impor yang berkadar sulfur tinggi. Hal ini akan memungkinkan China untuk menekan emisi sulfur dioksida dan nitrogen oksida, walaupun akan ada sedikit penalti untuk efisiensi boiler.
Juga jangan dilupakan bahwa batu bara asal Indonesia masih lebih murah dibandingkan batu bara termal berkualitas lebih tinggi dari Australia. Tingkat diskon dari batu bara Indonesia terhadap batu bara asal Newcastle Australia memang melebar cukup signifikan dalam beberapa waktu terakhir, dari 50% pada akhir 2017 menjadi saat ini sebesar 58%.
Kombinasi membanjirnya pasokan dari Indonesia dan membaiknya pasokan batu bara domestik China lantas menekan harga batu bara global hari ini.
Meski demikian, pada sore hari ini, muncul kabar yang justru berbanding terbalik. Pertama adalah kemungkinan DMO batu bara bukan dicabut, tetapi dikurangi kadarnya. Selama ini, kewajiban pemenuhan pasokan dalam negeri adalah rata-rata 25% dari total produksi. Rosan Roslani, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang ikut dalam rapat pembahasan mengungkapkan bahwa ke depan bisa saja opsi yang dipilih adalah mengurangi DMO menjadi kurang dari 25%.
Kedua adalah kebijakan DMO (apapun yang dipilih) kemungkinan baru berlaku tahun depan, bukan sekarang atau dalam waktu dekat. Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman, menyebutkan kebijakan ini butuh pembahasan mendalam.
"Jadi, kita mau lihat peluang berapa besar uang yang bisa kita dapat dari sini karena kita butuh ekspor. Ini kita lagi hitung. Kalaupun jadi, paling tahun depan baru bisa karena butuh sosialisasi, aturan-aturan. Kita hitung dulu, berapa banyak dampaknya pada penerimaan negara," papar Luhut.
Kebijakan DMO yang masih samar-samar ini lantas bisa menjadi angin segar yang berpotensi mendorong harga batu bara di perdagangan esok hari.
(RHG/wed) Next Article Senja Kala Pembangkit Listrik Batu Bara
Most Popular