
Beban Pungutan Emiten Masih Dalam Pembahasan OJK
Lidya Julita S, CNBC Indonesia
29 July 2018 16:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) mengharapkan pemerintah kembali melakukan review atas sejumlah pungutan yang dikenakan kepada emiten lantaran biaya ini dianggap memberatkan.
Sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK tersebut dirilis, sebagian besar emiten sudah menunjukkan keberatannya atas pengenaan biaya tersebut, sehingga masih banyak anggota AEI yang mempersoalkan.
Menanggapi hal ini, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengatakan, permintaan dari para emiten tersebut sudah dimasukkan dalam pembahasan bersama Dewan Komisoner lainnya. Namun, hingga saat ini belum ada keputusan final mengenai hal tersebut.
"Saya sudah sampaikan (ke OJK), masih belum (selesai pembahasan)," ujar Hoesen di Komplek Bank Indonesia, Jakarta, Minggu (29/7/2018).
Adapun pungutan yang dikenakan digunakan untuk membiayai kegiatan operasional OJK selama satu tahun penuh. Hal ini dikarenakan lembaga yang didirikan awal 2013 sudah tak mendapatkan kucuran dana lagi dari pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kita (OJK) memang butuh biaya untuk pengembangan pasar dan pengawasan," ucapnya.
Pada dasarnya seluruh lembaga yang berada di bawah pengawasan OJK dikenakan biaya tiap tahun, di luar biaya aksi korporasi yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Adapun biaya yang dikenakan kepada lembaga emiten tiap tahunnya adalah untuk biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penelitian.
Nilai pungutan yang dikenakan juga bervariasi, tergantung pada jenis usaha yang dijalankan oleh perusahaan/lembaga tersebut hingga jumlah aset yang dimiliki.
Khusus untuk emiten, seluruh perusahaan yang tercatat sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dipungut biaya sebesar 0,03% dari nilai emisi efek per tahun. Nilai ini memiliki batas terendah sebesar Rp 15 juta dan maksimal senilai Rp 150 juta per tahun.
Sementara, untuk emiten dari lembaga keuangan seperti perbankan dan asuransi akan dibebankan dua kali pungutan tiap tahunnya. Disamping pemungutan sebagai emiten dengan pungutan 0,03%, dua lembaga keuangan ini juga dipungut biaya sebesar 0,045% dari total asetnya dengan nilai paling sedikit Rp 10 juta per tahun.
Dengan nilai pungutan rutin titap tahunnya ini, pemerintah juga memberikan pengecualian kepada perusahaan yang memiliki kriteria khusus seperti perusahaan yang sedang dalam proses penyehatan atau pemberesan keuangan tak akan dikenakan pungutan, alias sebesar 0% dari total nilai emisi/asetnya.
Kriteria kedua yang akan dibebaskan dari aturan ini adalah perusahaan yang tengah mengalami kesulitan keuangan. Artinya, untuk dikenai pungutan sebuah perusahaan harus dinilai sebagai perusahaan sehat secara keuangan.
Tentu saja pengenaan biaya ini di luar biaya yang dikenakan kepada semua korporasi tersebut jika inging melakukan aksi korporasi.
Untuk pelaksanaan aksi korporasi dengan menerbitkan efek seperti rights issue atau private placement maupun obligasi dan sukuk akan dikenakan biaya sebesar Rp 0,025% dari total nilai emisi yang akan diterbitkan dengan pungutan maksimal sebesar Rp 500 juta.
(dru) Next Article Tekanan Jual Asing Reda, IHSG Bakal Selamat di Zona Hijau?
Sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK tersebut dirilis, sebagian besar emiten sudah menunjukkan keberatannya atas pengenaan biaya tersebut, sehingga masih banyak anggota AEI yang mempersoalkan.
Menanggapi hal ini, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengatakan, permintaan dari para emiten tersebut sudah dimasukkan dalam pembahasan bersama Dewan Komisoner lainnya. Namun, hingga saat ini belum ada keputusan final mengenai hal tersebut.
Adapun pungutan yang dikenakan digunakan untuk membiayai kegiatan operasional OJK selama satu tahun penuh. Hal ini dikarenakan lembaga yang didirikan awal 2013 sudah tak mendapatkan kucuran dana lagi dari pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Kita (OJK) memang butuh biaya untuk pengembangan pasar dan pengawasan," ucapnya.
Pada dasarnya seluruh lembaga yang berada di bawah pengawasan OJK dikenakan biaya tiap tahun, di luar biaya aksi korporasi yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Adapun biaya yang dikenakan kepada lembaga emiten tiap tahunnya adalah untuk biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penelitian.
Nilai pungutan yang dikenakan juga bervariasi, tergantung pada jenis usaha yang dijalankan oleh perusahaan/lembaga tersebut hingga jumlah aset yang dimiliki.
Khusus untuk emiten, seluruh perusahaan yang tercatat sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) dipungut biaya sebesar 0,03% dari nilai emisi efek per tahun. Nilai ini memiliki batas terendah sebesar Rp 15 juta dan maksimal senilai Rp 150 juta per tahun.
Sementara, untuk emiten dari lembaga keuangan seperti perbankan dan asuransi akan dibebankan dua kali pungutan tiap tahunnya. Disamping pemungutan sebagai emiten dengan pungutan 0,03%, dua lembaga keuangan ini juga dipungut biaya sebesar 0,045% dari total asetnya dengan nilai paling sedikit Rp 10 juta per tahun.
Dengan nilai pungutan rutin titap tahunnya ini, pemerintah juga memberikan pengecualian kepada perusahaan yang memiliki kriteria khusus seperti perusahaan yang sedang dalam proses penyehatan atau pemberesan keuangan tak akan dikenakan pungutan, alias sebesar 0% dari total nilai emisi/asetnya.
Kriteria kedua yang akan dibebaskan dari aturan ini adalah perusahaan yang tengah mengalami kesulitan keuangan. Artinya, untuk dikenai pungutan sebuah perusahaan harus dinilai sebagai perusahaan sehat secara keuangan.
Tentu saja pengenaan biaya ini di luar biaya yang dikenakan kepada semua korporasi tersebut jika inging melakukan aksi korporasi.
Untuk pelaksanaan aksi korporasi dengan menerbitkan efek seperti rights issue atau private placement maupun obligasi dan sukuk akan dikenakan biaya sebesar Rp 0,025% dari total nilai emisi yang akan diterbitkan dengan pungutan maksimal sebesar Rp 500 juta.
(dru) Next Article Tekanan Jual Asing Reda, IHSG Bakal Selamat di Zona Hijau?
Most Popular