Dua Problem Besar Disebut Jokowi, Rupiah Sulit Perkasa

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 July 2018 12:50
Dua Problem Besar Disebut Jokowi, Rupiah Sulit Perkasa
Foto: CNBC Indonesia/Exist In Exist
Jakarta, CNBC Indonesia - Saat ini, prioritas pemerintah dan Bank Indonesia (BI) adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Sebab, rupiah yang fluktuatif cenderung melemah bukan kabar baik buat Indonesia. 

Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 6,6% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang mengalami depresiasi lebih dalam ketimbang rupiah. 

Reuters


Tidak seperti Jepang yang diuntungkan saat mata uang yen melemah, Indonesia 'berduka' saat rupiah tak berdaya. Pelemahan rupiah hanya membawa beban, karena tidak mendongkrak kinerja ekspor dan menambah biaya impor. 



Belum lagi di pasar keuangan, pelemahan rupiah juga bukan kabar gembira. Saat rupiah melemah, berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun saat dikonversikan ke dolar AS. Investor asing cenderung keluar saat rupiah melemah.

Ini menjadi salah satu penyebab nilai jual bersih investor asing di pasar saham mencapai Rp 50,13 triliun sejak awal tahun. Padahal sepanjang 2017, jual bersih investor asing 'hanya' Rp 39,9 triliun.
 

Oleh karena itu, tidak heran bila pemerintah dan BI terus melakukan upaya stabilisasi rupiah. Bahkan BI sampai menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin dalam 3 bulan demi memancing modal asing masuk agar rupiah bisa menguat. 

Namun, apa yang dilakukan BI hanyalah upaya 'pemadam kebakaran'. Penyakit yang menjangkiti rupiah adalah isu struktural yaitu fondasi yang rentan. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut Indonesia menghadapi dua masalah utama. Dua masalah ini yang membuat rupiah terus tertekan. 

"Problem defisit transaksi berjalan dan defisit necara perdagangan. Kalau fundamental ini bisa dijaga kita akan menuju negara yang tidak akan terpengaruh gejolak dunia," tegasnya dalam Rapat Koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Jakarta hari ini. 

Masalah yang disebut Jokowi memang benar adanya. Dua problem ini adalah pekerjaan rumah Indonesia yang tidak kunjung terselesaikan. Dua problem yang selalu menghantui rupiah. 

Setiap kali pertumbuhan ekonomi terakselerasi, Indonesia selalu kerepotan. Sebab, industri dalam negeri belum bisa memenuhi pertumbuhan permintaan, terutama untuk bahan baku dan barang modal. 

Tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan ekonomi domestik tumbuh di kisaran 5,2%. Sementara BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2018 ada di batas bawah kisaran target 5,1-5,5%. Walau belum optimal, tetapi lebih cepat dibandingkan 2017 yang tumbuh 5,07%.  

Ekonomi yang tumbuh menandakan permintaan bertambah. Untuk itu, dunia usaha harus meningkatkan produksi mereka. Namun pasokan bahan baku dan barang modal tidak mampu dipenuhi industri dalam negeri, sehingga mau tidak mau harus diimpor. 

Pada Januari-Juni 2018, impor bahan baku naik 21,54% year-on-year (YoY) dan impor barang modal tumbuh 31,84% YoY. Jauh lebih cepat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, di mana impor bahan baku naik 11,26% dan barang modal tumbuh 2,06%. 

Akibat peningkatan impor, neraca perdagangan pun mencatatkan defisit. Sepanjang semester I-2018, neraca perdagangan defisit US$ 1,02 miliar. Jauh memburuk dibandingkan periode yang sama pada 2017 yang masih surplus US$ 7,67 miliar. 

Akibat Dua Masalah yang Disebut Jokowi, Rupiah Sulit Perkasa


Peningkatan impor membuat devisa yang 'terbang' ke luar negeri semakin besar. Kebutuhan valas yang meningkat ini membuat rupiah banyak dilepas sehingga nilainya terus melemah. 

Neraca perdagangan adalah bagian dari transaksi berjalan (current account). Saat neraca perdagangan defisit, maka defisit transaksi berjalan akan semakin melebar. Sejak kuartal III-2011, transaksi berjalan Indonesia tidak pernah merasakan surplus. 

Akibat Dua Masalah yang Disebut Jokowi, Rupiah Sulit PerkasaTransaksi berjalan Indonesia (Reuters)

Transaksi berjalan menunjukkan aliran devisa suatu negara yang berasal dari ekspor-impor barang dan jasa. Bila defisit, maka pasokan devisa dari sisi perdagangan seret. Padahal pasokan dari sisi ini lebih bersifat jangka panjang, tidak seperti sumber lainnya yaitu investasi portofolio di pasar keuangan alias hot money

Defisit transaksi berjalan membuat rupiah benar-benar mengandalkan hot money untuk menguat. Inilah masalahnya. Hot money pun sedang seret, terlihat dari jual bersih di Bursa Efek Indonesia tadi. 

Tidak hanya di pasar saham, di obligasi negara pun investor asing cenderung keluar. Sejak awal tahun, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) berkurang Rp 1,84 triliun. 

Oleh karena itu, tidak heran rupiah melemah lumayan tajam. Devisa dari perdagangan tekor, dan sektor keuangan pun seret. Fondasi penopang rupiah pun rapuh. 


Untuk membalikkan keadaan ini, kuncinya adalah industrialisasi. Walau banyak orang bilang bahwa sekarang eranya digital, tetapi Indonesia masih belum tuntas dalam industrialisasi sehingga harus dilanjutkan. 

Jika industri nasional tumbuh dan semakin kuat, maka kebutuhan impor bisa ditekan sehingga tidak membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Dibutuhkan komitmen seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan industrialisasi sebagai kepentingan bersama.

Jokowi menegaskan pemerintah pusat dan daerah harus mempercepat perizinan usaha agar investasi di sektor industri bisa masuk. Jangan sampai ada hambatan birokrasi yang membuat investor mengurungkan minatnya. 

"Suruh bangun investor itu, perusahaan itu, karena ini yang kita butuhkan. Jangan mikir panjang-panjang, jangan ditanya macam-macam sehingga batal investasi di daerah Bapak-Ibu semua. Kalau bisa selesaikan izinnya hari itu juga, sehingga besok dia bisa langsung bangun," tegas Jokowi. 

Jika industri nasional sudah semakin kuat, maka Indonesia tidak perlu lagi terlalu bergantung pada arus modal asing demi memperkuat rupiah. BI pun tidak perlu melakukan banyak aksi 'pemadam kebakaran' yang tidak populis seperti menaikkan suku bunga.


TIM RISET CNBC INDONESIA




Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular