BI Sudah 'Gerilya' di Pasar, Dolar Masih Setia di Rp 14.500

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 July 2018 15:20
BI Sudah 'Gerilya' di Pasar, Dolar Masih Setia di Rp 14.500
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) masih melemah. Tekanan jual terhadap aset-aset berbasis rupiah membuat mata uang Tanah Air tertinggal di tengah penguatan kurs Asia. 

Pada Jumat (20/7/2018) pukul 14:21 WIB, US$ 1 di pasar spot berada di Rp 14.510. Rupiah masih melemah 0,28% dibandingkan penutupan hari sebelumnya. 

Sementara mata uang Asia mulai bisa membalikkan keadaan di hadapan dolar AS. Tadi pagi, rupiah dan berbagai mata uang Asia sama-sama tidak berkutik terhadap greenback.

Namun semakin siang, penguatan greenback semakin terbatas. Akhirnya berbagai mata uang Asia mampu berbalik menguat.
 

Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 14:32 WIB, mengutip Reuters:
 
Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang112,40+0,04
Yuan China6,77-0,05
Won Korea Selatan1.133,39+0,09
Dolar Taiwan30,68+0,01
Dolar Hong Kong7,85+0,01
Rupee India68,88+0,19
Dolar Singapura1,37+0,17
Baht Thailand33,40+0,21
Peso Filipina53,47+0,21
 

Dolar AS mulai defensif setelah pasar mencerna komentar Presiden AS Donald Trump. Dalam wawancara dengan CNBC International, Trump menegaskan bahwa penguatan dolar AS telah merugikan Negeri Paman Sam.  

Sebab, dolar AS yang menguat membuat ekspor AS menjadi tidak kompetitif. Apalagi pada saat bersamaan dua negara mitra (atau rival?) dagang AS yaitu Jepang dan China mengalami depresiasi mata uang. 

Komentar Trump menjadi pelatuk yang bisa jadi akan membuat dolar AS memulai tren depresiasinya. Mata uang ini memang sudah menguat agak keterlaluan, terlalu lama seolah tanpa jeda. 

Penyebab masih melemahnya rupiah adalah pelepasan aset-aset berbasis mata uang ini. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 110,94 miliar hingga pukul 14:51 WIB. 

Aksi jual investor asing menjadikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,25%. Sementara indeks saham di negara-negara Asia lainnya cenderung menguat misalnya Hang Seng (+0,81%), Shanghai Composite (+2,04%), Kospi (+0,3%), atau Straits Times (+0,42%). 

Di pasar obligasi pun serupa. Pada pukul 15:54 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di 7,853% atau naik 9 basis poin (bps) dibandingkan penutupan kemarin.  

Sebagai perbandingan, yield obligasi pemerintah tenor yang sama di Singapura turun 2,9 bps, Hong Kong turun 2,2 bps, dan Korea Selatan turun 1,7 bps. Yield berbanding terbalik dengan harga sehingga penurunan yield berarti ada kenaikan harga yang menandakan obligasi sedang banyak dibeli investor. 

Bank Indonesia (BI) mengaku sudah melakukan intervensi. Mengutip Reuters, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menegaskan bank sentral melakukan stabilisasi rupiah di pasar valas dan obligasi pemerintah alias Surat Berharga Negara (SBN). 

"Pasti," tegas Mirza menjawab pertanyaan apakah BI melakukan intervensi di dua pasar. 

Namun, 'gerilya' BI sepertinya belum cukup untuk membuat rupiah menguat. Intervensi BI berhasil membuat penguatan rupiah menjadi terbatas, tetapi belum bisa mengangkat rupiah ke teritori positif. Artinya, aset yang dilepas investor lebih besar ketimbang guyuran valas BI.  

Mungkin BI juga berhati-hati, karena intervensi berlebihan bisa mengancam cadangan devisa. Jika cadangan devisa terus berkurang, maka dampaknya adalah akan muncul persepsi Indonesia semakin rentan terhadap gejolak eksternal.


TIM RISET CNBC INDONESIA






Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular