Ini Efek Samping Obat BI dan Pemerintah untuk Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 July 2018 15:44
Ini Efek Samping Obat BI dan Pemerintah untuk Rupiah
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah sampai 5,7% sepanjang tahun ini. Di antara mata uang utama Asia, rupiah hanya lebih baik dibandingkan rupee India yang melemah 6,8%. 

Otoritas moneter dan fiskal telah berupaya membendung depresiasi rupiah. Namun sejauh ini belum menampakkan hasil yang optimal. Berbagai obat telah disuntikkan, tetapi rupiah belum kunjung pulih. 


Bank Indonesia (BI) sampai mengeluarkan obat terkuatnya yaitu kenaikan suku bunga acuan. Sejak awal tahun, BI 7 day reverse repo rate sudah naik 100 basis poin (bps). 

Langkah ini dilakukan untuk menarik arus modal masuk ke pasar keuangan Indonesia. Ketika suku bunga naik, maka berinvestasi di Indonesia menjadi menguntungkan karena memberikan imbalan lebih. Masuknya arus modal ini diharapkan mampu menjadi penopang apresiasi rupiah. 

Namun, kebijakan ini bukan tanpa konsekuensi. Meski BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bank tidak punya alasan menaikkan suku bunga, tetapi kenyataan pahit itu sepertinya tidak terhindarkan. 

Berdasarkan data Indikator Likuiditas LPS, rata-rata bunga deposito rupiah bank benchmark LPS pada akhir Juni 2018 mencapai 5,48%. Naik 6 bps dari posisi akhir Mei 2018. Kenaikan suku bunga deposito membuat biaya dana meningkat sehingga bank akan dihadapkan pada kondisi tidak bisa bisa menahan suku bunga kredit. 

Dengan suku bunga yang sekarang saja pertumbuhan kredit masih ngos-ngosan. Pada Mei 2018, OJK menyebut pertumbuhan kredit berada di 10,26% year-on-year (YoY). Baru mencapai batas bawah target BI yaitu 10-12% untuk 2018. 

Ketika kredit lesu, pertumbuhan ekonomi pun terancam. Dunia usaha akan berpikir ulang untuk mengajukan kredit karena biaya bunga yang tinggi. Pembayaran bunga pinjaman yang sudah diambil juga bisa naik sehingga membuat beban usaha meningkat. Hasilnya adalah ekspansi sulit terwujud. 

Tidak hanya dunia usaha, masyarakat pun akan gentar mengambil kredit baru. Bagi yang sudah punya cicilan, pembayarannya akan naik karena bunga bergerak ke atas. Akibatnya, konsumsi rumah tangga akan tertahan. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). 

Bukan cuma obat dari BI yang menimbulkan efek samping, kebijakan pemerintah pun demikian. Obat dari pemerintah untuk mengurangi tekanan kepada rupiah adalah mengurangi impor yang tidak perlu, termasuk untuk barang modal dan bahan baku. 

Indonesia punya 'penyakit' yang belum sembuh sampai saat ini yaitu lonjakan impor kala ekonomi membaik. Tahun ini, BI memperkirakan ekonomi domestik tumbuh 5,1-5,5%. Lebih baik ketimbang pencapaian 2017 yang sebesar 5,06%. 

Ini menyebabkan impor melesat karena industri dalam negeri belum mampu menyediakan kebutuhan yang meningkat, khususnya untuk bahan baku dan barang modal. Sepanjang Januari-Juni 2018, pertumbuhan impor bahan baku mencapai 21,54% YoY sementara impor barang modal tumbuh 31,84%. Jauh lebih cepat ketimbang Januari-Juni 2017, di mana impor bahan baku tumbuh 2,06% dan barang modal tumbuh 11,26%.

Derasnya rupiah yang dilepas untuk membiayai impor membuat rupiah semakin tertekan. Devisa di dalam negeri pun terkuras. Sejak akhir 2017, cadangan devisa Indonesia berkurang hingga US$ 10,4 miliar. 

Ini merupakan latar belakang rencana pemerintah untuk mengurangi impor. Namun kebijakan ini pun punya dampak negatif. 

Untuk saat ini, mau tidak mau dan suka tidak suka investasi di sektor riil masih mengandalkan pasokan bahan baku dan barang modal. Tanpa pasokan yang memadai, maka sama saja dengan mengerem laju investasi. 

Padahal, investasi memegang peranan penting dalam pembentukan PDB dengan kontribusi di kisaran 30%. Bila komponen ini melambat, maka dampaknya akan sangat signifikan. 

Apa yang ditempuh BI dan pemerintah mirip dengan kejadian 2014. Kala itu, Menteri Keuangan Chatib Basri mengakui bahwa pemerintah dan BI satu suara untuk menjaga nilai tukar rupiah dan fundamental ekonomi karena tekanan besar di transaksi berjalan (current account). 

"Jangan berharap 2014 punya growth di atas 6%. By design kita mau 5,5-6%. Kalau lebih dari itu, berarti kita gagal," katanya saat itu.  

Hasilnya adalah ekonomi Indonesia pada 2015 tumbuh 5,02%. Melambat cukup signifikan sebandingkan tahun sebelumnya yaitu 5,58%.

Untuk saat ini, prioritas BI dan pemerintah adalah menjaga rupiah. Itu dilakukan dengan berbagai kebijakan, yang dampaknya bisa ke perlambatan pertumbuhan ekonomi. Kejadian 2014 bisa saja terulang kembali.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular