Obat BI dan Pemerintah Belum Bisa Sembuhkan Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 July 2018 14:39
Obat BI dan Pemerintah Belum Bisa Sembuhkan Rupiah
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sudah melemah 5,7% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun ini. Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah sudah memberikan berbagai obat kuat, tetapi belum kunjung membuat rupiah bangkit. 

Bank sentral sudah mengeluarkan senjata pamungkasnya, yaitu menaikkan suku bunga acuan. Sepanjang tahun ini, BI 7 day reverse repo rate sudah naik 100 basis poin (bps). 

Pelemahan rupiah yang terjadi sepanjang 2018 membuat BI banting setir 180 derajat. Pada awal tahun, BI masih memegang teguh sikap (stance) netral. Tidak ketat, tidak juga longgar. 

Sejak kepemimpinan beralih dari Agus Martowardojo ke Perry Warjiyo, BI mulai tidak malu-malu mengubah haluan. Perry beberapa kali menyebut stance netral sudah tidak lagi dipegang. 

"Dari sisi kebijakan moneter, kita beralih dari netral ke cenderung ketat. Bahkan sedikit di atas cenderung ketat," tuturnya dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur bulan lalu. 

Perry pun mengakui bahwa memperketat kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga acuan adalah untuk menjaga agar rupiah tidak terlalu melemah. Kenaikan suku bunga dapat membuat berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah menjadi menarik karena menawarkan imbal hasil lebih banyak. 

"Kami melihat (kenaikan suku bunga acuan) akan lebih banyak menarik inflows, khususnya fixed income. Ini tentu saja menambah supply dolar AS dan mendukung stabilitas rupiah," kata Perry. 

Apa yang dilakukan BI adalah untuk menyelamatkan sisi transaksi modal dan finansial dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Maklum, transaksi modal dan finansial memburuk pada kuartal I-2018. Transaksi modal dan finansial memang masih membukukan surplus, yaitu US$ 1,81 miliar. Namun jauh lebih rendah dibandingkan posisi kuartal I-2017 yang mencapai US$ 6,93 miliar.

Surplus ini tidak mampu menutup lubang menganga yang ditinggalkan transaksi berjalan (current account) sehingga NPI defisit. Akibatnya, fondasi penopang rupiah menjadi rapuh sehingga rupiah pun rentan melemah.
 

Namun fungsi BI di sini lebih sebagai 'pemadam kebakaran'. Untuk membuat rupiah lebih stabil, dibutuhkan upaya struktural untuk memperbaiki transaksi berjalan. Itulah yang dilakukan pemerintah. 

Ketika BI berusaha menolong transaksi modal dan finansial, pemerintah pun berupaya menambal lubang di transaksi berjalan alias ekspor-impor barang dan jasa. Beberapa upaya telah dan akan dilakukan untuk mempersempit defisit transaksi berjalan yang pada kuartal I-2018 mencapai US$ 5,5 miliar atau 2,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

Pertama adalah dengan memberikan stimulus bagi perusahaan pelayaran nasional. Selama ini, biaya pengangkutan (freight) menjadi salah satu beban bagi transaksi berjalan. Pada kuartal I-2018, jasa transportasi defisit US$ 1,71 miliar, lebih dalam ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu US$ 1,38 miliar. 

Stimulus ini diberikan dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XV. Pemerintah memberlakukan bebas bea masuk untuk 115 jenis suku cadang kapal dan memberi peluang lebih besar kepada perusahaan pelayaran nasional untuk melayani angkutan khusus seperti kapal tanker atau bulker. Target dari kebijakan ini adalah membuka peluang pelayaran nasional melayani angkutan ekspor-impor sekitar US$ 600 juta/tahun, investasi perkapalan sekitar 70-100 unit kapal baru senilai US$ 700 juta.  

Langkah kedua adalah rencana mengurangi impor untuk proyek-proyek yang dinilai bukan prioritas. Rencana ini diungkapkan sendiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. 

"Kami akan meneliti kebutuhan impor apakah memang betul-betul sesuatu yang dibutuhkan perekonomian Indonesia. Lalu secara selektif kami akan meneliti siapa-siapa yang membutuhkan, apakah itu bahan baku atau barang modal, serta apa betul-betul strategis menunjang perekonominan dalam negeri. Kami akan lihat kontennya apa dan apakah proyek tersebut memang urgent harus diselesaikan dan harus mengimpor barang modal," papar Sri Mulyani. 

Selain itu, pemerintah juga berencana membatasi impor-impor barang jadi. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. 

"Semula kan kita lepaskan barang-barang impor. Namun kalau sekarang kita menghadapi situasi seperti ini, maka barang impor yang barang jadi saya akan atur," tegasnya. 

Sejauh ini, obat-obat yang disuntikkan BI dan pemerintah tersebut sepertinya belum mampu menyembuhkan rupiah. Sepertinya obat-obat ini masih kalah dibandingkan virus yang sedang diderita rupiah, yaitu virus penguatan dolar AS yang terjadi secara global.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular