Rupiah Menguat Setelah Seharian Lesu, Apa Resepnya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 July 2018 17:04
Rupiah Menguat Setelah Seharian Lesu, Apa Resepnya?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menutup hari di teritori positif. Rupiah yang melemah hampir seharian bergerak menguat jelang akhir perdagangan. 

Pada Senin (16/7/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot ditransaksikan di Rp 14.370. Rupiah menguat 0,03% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.  
Rupiah sudah melemah saat pembukaan pasar yaitu minus 0,07%. Depresiasi rupiah semakin dalam sebelum pengumuman data perdagangan internasional. 

Setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data tersebut, depresiasi rupiah perlahan berkurang. Namun tidak lama, penguatan rupiah kembali menajam. 

Jelang akhir perdangan, perlahan tapi pasti rupiah menuju jalur pendakian. Hingga pada akhirnya rupiah mampu ditutup menguat. Posisi terlemah rupiah pada perdagangan hari ini berada di Rp 14.415/US$ dan posisi terkuat di Rp 14.370/US$ yaitu kala penutupan.  

Untuk perkembangan kurs dolar AS, silakan klik di sini.

Reuters

Rupiah pun berhasil menyamai pencapaian mata uang Asia yang menguat di hadapan greenback. Berikut perkembangan sejumlah mata uang utama Asia pada ukul 16:16 WIB, mengutip Reuters:

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yuan China6,68+0,18
Won Korea Selatan1.125,42+0,34
Dolar Taiwan30,52+0,12
Dolar Hong Kong7,85-0,01
Rupee India68,61-0,18
Dolar Singapura1,36+0,29
Baht Thailand33,27+0,09
Peso Filipina53,42+0,16
 
Ada beberapa kemungkinan yang bisa membuat rupiah menguat pada akhir-akhir perdagangan. Pertama adalah rilis data neraca perdagangan yang sempat diacuhkan pasar. 

BPS mengumumkan ekspor pada Juni 2018 tumbuh 11,47% year-on-year (YoY) sementara impor tumbuh 12,66% YoY. Ini menyebabkan neraca perdagangan mencatat surplus yang cukup besar yaitu US$ 1,74 miliar. 

Pencapaian ini lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY sementara impor tumbuh 30,17% YoY. Neraca perdagangan diperkirakan surplus US$ 579,5 juta.

Surplus neraca perdagangan dapat membawa persepsi terkait dengan terjaganya aliran valas ke Indonesia sehingga mampu menopang penguatan rupiah. Ketika rupiah menguat, maka aset-aset berbasis mata uang ini akan menarik, utamanya bagi investor asing. 

Memang sentimen ini justru sempat membawa aura negatif, karena laju ekspor maupun impor tidak secepat tahun sebelumnya. Ini menandakan geliat dunia usaha yang lesu.

Apalagi impor barang konsumsi yang turun 9,51% YoY. Ini dinilai menjadi pertanda bahwa konsumsi masyarakat belum pulih betul. 

Namun, setelah mencerna lebih lanjut pelaku pasar mungkin menyadari bahwa Idul Fitri 2017 jatuh pada 26 Juni. Artinya periode Ramadan-Idul Fitri nyaris terjadi pada Juni, hampir sebulan penuh. Sementara tahun ini, siklus Ramadan-Idul Fitri dibagi rata antara Mei dan Juni, sama-sama 15 hari. 

Oleh karena itu, wajar bila impor barang konsumsi pada Juni 2017 sangat tinggi karena saat itu merupakan periode Ramadan-Idu Fitri yang menjadi puncak konsumsi masyarakat. Akhirnya dibandingkan dengan Juni 2018, di mana hanya kebagian separuh dari Ramadan-Idul Fitri, ada penurunan yang cukup signifikan. 

Sementara perlambatan laju ekspor-impor bisa jadi disebabkan libur Idul Fitri yang lebih panjang pada tahun ini. Cuti bersama Idul Fitri 2018 mencapai lebih dari sepekan, sementara tahun lalu hanya lima hari. Aktivitas ekspor-impor pun menjadi lebih lambat, sehingga tidak heran jika pertumbuhannya melambat.

Mungkin saja pasar baru mencerna informasi ini jelang akhir perdagangan. Sentimen positif tersebut amenyebabkan aksi beli terhadap rupiah sehingga mampu mengakhiri hari dengan apresiasi. 

Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 75,99 miliar. Aliran moda asing ini sedikit banyak berkontribusi terhadap apresiasi rupiah. 


Kemungkinan kedua adalah faktor eksternal. Dolar AS sendiri memang sedang tertekan, terlihat dari Dollar Index yang melemah sampai 0,22% pada pukul 16:46 WIB. 

Investor tengah menantikan rilis data penjualan ritel di AS periode Juni 2018. Konsensus pasar memperkirakan penjuala ritel tumbuh 3,7% YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 5,9% YoY. 

Selain itu, investor juga agak kecewa dengan pernyataan terbaru dari The Federal Reserve/The Fed. Dalam laporan tengah tahun kepada Kongres, The Fed mengulang kembali pernyataan akan menaikkan suku bunga secara gradual. 

Lebih lanjut, The Fed menulis bahwa meski proyeksi ekonomi AS membaik tetapi tekanan inflasi belum terlalu besar. Oleh karena itu, The Fed sepertinya masih pada sikap (stance) menaikkan suku bunga secara bertahap, tidak ada kenaikan yang agresif. 

The Fed hampir tidak menyinggung soal perang dagang. Namun The Fed menyatakan bahwa kebijakan pemerintahan Presiden AS Donald Trump yang proteksionis bisa menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan. 

"Apa yang terjadi dalam jangka pendek ini pastinya tidak menggembirakan," ujar Robert Kaplan, Presiden The Fed Dallas, dikutip dari Reuters. 

Sikap The Fed yang tidak memberi kejutan dan malah menyatakan ada risiko membebani laju dolar AS. Ditambah sikap wait and see menunggu rilis data penjualan ritel, pelaku pasar pun cenderung melepas greenback. Dolar AS pun menjadi melemah di Asia, termasuk terhadap rupiah. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular