
Dolar AS Lagi Loyo, Kok Rupiah Malah Melemah?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 July 2018 15:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan rupiah pada hari ini patut diwaspadai oleh investor. Hingga siang hari ini, rupiah melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.385/dolar AS. Rupiah bahkan sempat mencapai titik terlemahnya di level Rp 14.415/dolar AS.
Di sisi lain, dolar AS sebenarnya sedang loyo, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang terkoreksi sebesar 0,16%. Sebagai catatan, indeks ini menunjukkan posisi dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya.
Momentum ini pun mampu dimanfaatkan oleh mata uang negara-negara tetangga untuk menguat melawan greenback. Baht misalnya, menguat 0,06%. Kemudian, ringgit menguat 0,15%, peso menguat 0,05%, dan dolar Singapura menguat 0,19%.
Lantas, kenapa rupiah malah melemah?
Pelemahan rupiah dipicu oleh derasnya aliran modal keluar dari pasar saham. Hingga berita ini diturunkan, investor asing membukukan jual bersih sebesar Rp 116,9 miliar.
Investor merespon negatif rilis data ekspor-impor yang sebelum sesi 1 berakhir diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat ekspor tumbuh sebesar 11,47% YoY, sementara impor tumbuh sebesar 12,66% YoY. Kedua data tersebut lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, dimana para ekonom memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY, sementara impor diperkirakan melesat hingga 30,17% YoY.
Impor yang begitu lemah lantas membuat neraca perdagangan diumumkan jauh lebih tinggi dari ekspektasi para ekonom (US$ 1,74 miliar vs. US$ 579,5 juta).
Sebenarnya, surplus neraca perdagangan yang begitu lebar bisa menjadi amunisi bagi rupiah untuk menguat. Namun, hal tersebut tak terjadi lantaran Investor lebih fokus pada prospek perekonomian Indonesia yang kurang cerah.
Ya, lemahnya pertumbuhan ekspor dan impor menunjukkan lemahnya aktivitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan, sehinga target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok pemerintah di level 5,4% kian mustahil untuk dicapai. Sebagai informasi, pemerintah memutuskan untuk tidak merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun fiskal 2017.
Ketika prospek perekonomian kurang cerah, instrumen berisiko seperti saham tentu menjadi kurang menarik.
Situasi yang dihadapi Indonesia saat ini bisa dibilang sama dengan tahun lalu. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai disitu, pemerintah dengan pedenya menaikkan target tersebut menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,07%.
Lebih lanjut, aksi jual di pasar saham banyak dilakukan pada saham-saham sektor barang konsumsi: PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dilepas Rp 18,6 miliar, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dilepas Rp 6,8 miliar, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dilepas Rp 4 miliar, dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dilepas Rp 3,53 miliar.
Data impor barang konsumsi yang mengecewakan melatarbelakangi hal ini. Sepanjang Juni, BPS mencatat impor barang konsumsi sebesar US$ 1,01 miliar atau turun 9,01% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun 2017 sebesar US$ 1,11 miliar. Lantas, impor barang konsumsi menjadi satu-satunya yang melemah secara tahunan (impor bahan baku naik 14,5% YoY dan impor barang modal melesat 20% YoY).
Kini, persepsi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah mulai menggeliat menjadi dipatahkan. Sebelumnya, persepsi ini timbul seiring dengan derasnya impor barang konsumsi periode Mei dan inflasi bulan lalu yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Bisa Terus Berlanjut
Hingga akhir bulan, tekanan terhadap rupiah bisa terus berlanjut. Pasalnya, tak ada rilis data ekonomi lainnya yang bisa mengubah persepsi investor terkait dengan prospek perekonomian tanah air. Di sisi lain, risiko terkait perang dagang AS, baik dengan China maupun Uni Eropa, masih terus mengintai. Jangan lupakan pula risiko yang datang dari rencana normalisasi suku bunga acuan oleh The Federal Reserve yang diperkirakan bisa mencapai 4 kali pada tahun ini.
(ank/wed) Next Article Neraca Dagang Maret 2020 Surplus US$ 740 Juta
Di sisi lain, dolar AS sebenarnya sedang loyo, ditunjukkan oleh indeks dolar AS yang terkoreksi sebesar 0,16%. Sebagai catatan, indeks ini menunjukkan posisi dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya.
Momentum ini pun mampu dimanfaatkan oleh mata uang negara-negara tetangga untuk menguat melawan greenback. Baht misalnya, menguat 0,06%. Kemudian, ringgit menguat 0,15%, peso menguat 0,05%, dan dolar Singapura menguat 0,19%.
Pelemahan rupiah dipicu oleh derasnya aliran modal keluar dari pasar saham. Hingga berita ini diturunkan, investor asing membukukan jual bersih sebesar Rp 116,9 miliar.
Investor merespon negatif rilis data ekspor-impor yang sebelum sesi 1 berakhir diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat ekspor tumbuh sebesar 11,47% YoY, sementara impor tumbuh sebesar 12,66% YoY. Kedua data tersebut lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, dimana para ekonom memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY, sementara impor diperkirakan melesat hingga 30,17% YoY.
Impor yang begitu lemah lantas membuat neraca perdagangan diumumkan jauh lebih tinggi dari ekspektasi para ekonom (US$ 1,74 miliar vs. US$ 579,5 juta).
Sebenarnya, surplus neraca perdagangan yang begitu lebar bisa menjadi amunisi bagi rupiah untuk menguat. Namun, hal tersebut tak terjadi lantaran Investor lebih fokus pada prospek perekonomian Indonesia yang kurang cerah.
Ya, lemahnya pertumbuhan ekspor dan impor menunjukkan lemahnya aktivitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan, sehinga target pertumbuhan ekonomi nan ambisius yang dipatok pemerintah di level 5,4% kian mustahil untuk dicapai. Sebagai informasi, pemerintah memutuskan untuk tidak merevisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun fiskal 2017.
Ketika prospek perekonomian kurang cerah, instrumen berisiko seperti saham tentu menjadi kurang menarik.
Situasi yang dihadapi Indonesia saat ini bisa dibilang sama dengan tahun lalu. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai disitu, pemerintah dengan pedenya menaikkan target tersebut menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,07%.
Lebih lanjut, aksi jual di pasar saham banyak dilakukan pada saham-saham sektor barang konsumsi: PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) dilepas Rp 18,6 miliar, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dilepas Rp 6,8 miliar, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dilepas Rp 4 miliar, dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dilepas Rp 3,53 miliar.
Data impor barang konsumsi yang mengecewakan melatarbelakangi hal ini. Sepanjang Juni, BPS mencatat impor barang konsumsi sebesar US$ 1,01 miliar atau turun 9,01% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun 2017 sebesar US$ 1,11 miliar. Lantas, impor barang konsumsi menjadi satu-satunya yang melemah secara tahunan (impor bahan baku naik 14,5% YoY dan impor barang modal melesat 20% YoY).
Kini, persepsi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah mulai menggeliat menjadi dipatahkan. Sebelumnya, persepsi ini timbul seiring dengan derasnya impor barang konsumsi periode Mei dan inflasi bulan lalu yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Bisa Terus Berlanjut
Hingga akhir bulan, tekanan terhadap rupiah bisa terus berlanjut. Pasalnya, tak ada rilis data ekonomi lainnya yang bisa mengubah persepsi investor terkait dengan prospek perekonomian tanah air. Di sisi lain, risiko terkait perang dagang AS, baik dengan China maupun Uni Eropa, masih terus mengintai. Jangan lupakan pula risiko yang datang dari rencana normalisasi suku bunga acuan oleh The Federal Reserve yang diperkirakan bisa mencapai 4 kali pada tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/wed) Next Article Neraca Dagang Maret 2020 Surplus US$ 740 Juta
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular