
'Harusnya Rupiah Bisa 13.700-13.800/US$'
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
12 July 2018 16:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada hari ini, Kamis (12/7/2018) menyentuh titik terlemah sejak Oktober 2015. Greenback, pun berpeluang melanjutkan keperkasaannya di tengah semakin memanasnya perang dagang AS vs China.
Meski demikian, bukan tidak mungkin rupiah terus-menerus kalah melawan dolar AS. Rupiah bisa saja mengalami apresiasi, bahkan berada di rentang Rp 13.700/US$-Rp 13.800/US$, jika syarat-syarat ini terpenuhi.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan memaparkan beberapa faktor yang bisa mendorong penguatan rupiah ke depan. Selama ini. hanya ada satu hal utama yang membuat rupiah cukup rentan terhadap dolar AS.
"Persoalan kita itu market confidence. Kalau secara fundamental, harusnya kita bisa di Rp 13.700/US$ - Rp 13.800/US$. Tetapi, ini masalah kepercayaan investor asing," kata Anton, Kamis (12/7/2018).
Faktor pertama yang bisa membuat penguatan dolar AS berlanjut, adalah berhentinya sikap saling ancam perang dagang antara AS vs China. Tanpa mengesampingkan ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate, sentimen tersebut memiliki dampak cukup besar.
"Trade war ini jelas sekali dampak ke kita. FFR mungkin sudah price in, tapi perang dagang ini dampaknya cukup signifikan. Kalau ini selesai, ruang apresiasi besar," katanya.
Faktor kedua, adalah arah kebijakan pemerintah. Saat ini, pengetatan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia (BI) dalam rangka menjaga stabilitas tentu memberikan dampak tersendiri terhadap akselerasi perekonomian.
Investor asing, sambung dia, tentu menunggu gebrakan kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah untuk menggeliatkan kembali perekonomian disaat bank sentral mulai mengetatkan kebijakan moneternya dengan kenaikan suku bunga.
"BI sekarang tigthening, siapa yang bisa menahan growth turun? Kementerian Keuangan memberikan statement lebih kepada prudensial dengan menjaga stabiitas. Isu mereka menurunkan primary balance, menjaga defisit bahkan di bawah 2%," kata Anton.
"Karena terus terang, pemerintah ingin isu utang itu tidak digembor-gemborkan. Jadi bagaimana men-support growth itu mungkin untuk investor saham, terutama di luar akan melihat. Bagaimana pemerintah menahan growth agar tidak di bawah 5%," jelas dia.
Data Kuartal II Jadi Pertaruhan
Anton memandang, data-data sejumlah indikator perekonomian pada kuartal II-2018 akan menentukan persepsi investor ke depan. Ada beberapa hal yang perlu diwaspadai oleh pemerintah maupun otoritas terkait.
Pertama, adalah pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, harapan untuk meningkatkan geliat ekonomi nasional pada kuartal kedua tahun ini hanya berasal dari konsumsi rumah tangga. Itu pun, terbantu dengan sejumlah acara besar yang digelar tengah tahun ini.
"Indikatornya lemah. Ritel mungkin ada peningkatan, tapi DPK turun, money supply turun, investasi kelihatannya belum pick up. [...] Jadi serapan harus dipercepat, kemudian harus dicari tipe spending apa yang bisa mendongkrak," katanya.
Kedua, defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2018 yang kemungkinan lebih dari 2,5% dari produk domestik bruto (PDB). Meskipun secara fundamental rupiah masih bisa menguat, namun mata investor saat ini tertuju pada laporan defisit transaksi berjalan kuartal II.
Kedua faktor tersebut, menurut Anton menjadi salah satu perhatian investor saat ini. Ketika dua indikator tersebut bisa diperbaiki, maka bukan tidak mungkin rupiah terangkat dari keterpurukannya melawan dolar AS.
Asalkan, dengan catatan ancaman perang dagang antara AS vs China berhenti.
(dru) Next Article Rupiah Sulit Menuju Level 13.500. Jadi BI Harus Apa?
Meski demikian, bukan tidak mungkin rupiah terus-menerus kalah melawan dolar AS. Rupiah bisa saja mengalami apresiasi, bahkan berada di rentang Rp 13.700/US$-Rp 13.800/US$, jika syarat-syarat ini terpenuhi.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan memaparkan beberapa faktor yang bisa mendorong penguatan rupiah ke depan. Selama ini. hanya ada satu hal utama yang membuat rupiah cukup rentan terhadap dolar AS.
Faktor pertama yang bisa membuat penguatan dolar AS berlanjut, adalah berhentinya sikap saling ancam perang dagang antara AS vs China. Tanpa mengesampingkan ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate, sentimen tersebut memiliki dampak cukup besar.
"Trade war ini jelas sekali dampak ke kita. FFR mungkin sudah price in, tapi perang dagang ini dampaknya cukup signifikan. Kalau ini selesai, ruang apresiasi besar," katanya.
Faktor kedua, adalah arah kebijakan pemerintah. Saat ini, pengetatan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia (BI) dalam rangka menjaga stabilitas tentu memberikan dampak tersendiri terhadap akselerasi perekonomian.
Investor asing, sambung dia, tentu menunggu gebrakan kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah untuk menggeliatkan kembali perekonomian disaat bank sentral mulai mengetatkan kebijakan moneternya dengan kenaikan suku bunga.
"BI sekarang tigthening, siapa yang bisa menahan growth turun? Kementerian Keuangan memberikan statement lebih kepada prudensial dengan menjaga stabiitas. Isu mereka menurunkan primary balance, menjaga defisit bahkan di bawah 2%," kata Anton.
"Karena terus terang, pemerintah ingin isu utang itu tidak digembor-gemborkan. Jadi bagaimana men-support growth itu mungkin untuk investor saham, terutama di luar akan melihat. Bagaimana pemerintah menahan growth agar tidak di bawah 5%," jelas dia.
Data Kuartal II Jadi Pertaruhan
Anton memandang, data-data sejumlah indikator perekonomian pada kuartal II-2018 akan menentukan persepsi investor ke depan. Ada beberapa hal yang perlu diwaspadai oleh pemerintah maupun otoritas terkait.
Pertama, adalah pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, harapan untuk meningkatkan geliat ekonomi nasional pada kuartal kedua tahun ini hanya berasal dari konsumsi rumah tangga. Itu pun, terbantu dengan sejumlah acara besar yang digelar tengah tahun ini.
"Indikatornya lemah. Ritel mungkin ada peningkatan, tapi DPK turun, money supply turun, investasi kelihatannya belum pick up. [...] Jadi serapan harus dipercepat, kemudian harus dicari tipe spending apa yang bisa mendongkrak," katanya.
Kedua, defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2018 yang kemungkinan lebih dari 2,5% dari produk domestik bruto (PDB). Meskipun secara fundamental rupiah masih bisa menguat, namun mata investor saat ini tertuju pada laporan defisit transaksi berjalan kuartal II.
Kedua faktor tersebut, menurut Anton menjadi salah satu perhatian investor saat ini. Ketika dua indikator tersebut bisa diperbaiki, maka bukan tidak mungkin rupiah terangkat dari keterpurukannya melawan dolar AS.
Asalkan, dengan catatan ancaman perang dagang antara AS vs China berhenti.
(dru) Next Article Rupiah Sulit Menuju Level 13.500. Jadi BI Harus Apa?
Most Popular