Di Kurs Acuan, Rupiah Terlemah Sejak Oktober 2015

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 July 2018 10:47
Di Kurs Acuan, Rupiah Terlemah Sejak Oktober 2015
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan masih melemah. Rupiah juga bernasib serupa di pasar spot. 

Pada Kamis (12/7/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.435. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan hari sebelumnya dan menyentuh titik terlemah sejak Oktober 2015.

Di Kurs Acuan, Rupiah Terlemah Sejak Oktober 2015Jisdor (Reuters)

Sementara di pasar spot, US$ 1 pada pukul 10:18 WIB dibanderol Rp 14.435. Rupiah melemah 0,38% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.

Tidak seperti rupiah, mata uang utama Asia justru cenderung menguat. Selain rupiah, hanya yen Jepang dan yuan China yang melemah. Pelemahan rupiah masih lebih baik ketimbang yuan.

Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap greenback pada pukul 10:24 WIB, mengutip Reuters:

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang112,35-0,31
Yuan China6,69-0,35
Won Korea Selatan1.127,200,00
Dolar Taiwan30,54+0,34
Dolar Hong Kong7,850,00
Rupee India68,72+0,04
Dolar Singapura1,36+0,02
Baht Thailand33,29+0,09
Peso Filipina53,51+0,19
 
Sejatinya dolar AS memang sedang menguat. Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) naik 0,06% pada pukul 10:25 WIB. 

Penguatan ini disebabkan oleh rilis data ekonomi AS terbaru. Indeks harga produsen AS yang naik 0,3% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada bulan Juni 2018. Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 0,2% MtM. Secara tahunan (year-on-year/YoY), indeks ini sudah meningkat sebesar 3,4%, tertinggi sejak November 2011.  

Indeks harga produsen inti (mengeluarkan komponen, energi dan jasa perdagangan) juga naik 0,3% MtM atau 2,7% YoY pada bulan lalu. Lebih tinggi dari capaian bulan sebelumnya yaitu 0,2% MtM atau 2,6% YoY. 

Data ini lantas memberikan persepsi bahwa data indeks harga konsumen/inflasi AS yang akan diumumkan hari ini akan terakselerasi. Kenaikan harga di level produsen memang pada umumnya akan ditransmisikan ke level konsumen. Sebagai catatan, inflasi AS pada Mei 2018 sudah mencapai 2,8% secara YoY, tertinggi sejak Oktober 2008. 

Bila inflasi di AS terus melaju, maka semakin besar kemungkinan The Federal Reserve/The Fed untuk lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Pasar kini mulai terbiasa dengan perkiraan kenaikan suku bunga empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali. 

Kenaikan suku bunga akan membuat ekspektasi inflasi terjangkar sehingga nilai mata uang naik. Selain itu, kenaikan suku bunga juga akan memancing arus modal untuk datang karena mengharapkan keuntungan lebih. Hasilnya adalah dolar AS menguat terhadap beberapa mata uang, termasuk rupiah. 

Mengutip Reuters, dolar AS hari ini diperkirakan bergerak di kisaran Rp 14.400-14.450. Ada kemungkinan dolar AS akan menyentuh titik tertinggi sejak awal tahun, melampaui Rp 14.455. 

Selain faktor eksternal, penyebab depresiasi rupiah juga dari dalam negeri. Aliran modal asing sedang seret sehingga tidak mampu menyokong penguatan rupiah. 

Di pasar saham, investor asing melakukan jual bersih Rp 10,06 miliar pada pukul 10:35 WIB. Sementara tekanan jual di pasar obligasi terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield).

Pada pukul 10:36 WIB, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun berada di 7,579%, naik dibandingkan posisi penutupan kemarin yaitu 7,455%. Kenaikan yield menandakan harga obligasi sedang turun, yang berarti ada aksi pelepasan. 

Rupiah pun bisa mendapatkan sentimen negatif dari kesepakatan pemerintah dan DPR untuk menambah subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dari Rp 500/liter menjadi Rp 2.000/liter. Kenaikan subsidi akan membuat harga solar tetap terjangkau sehingga konsumsinya tidak bisa dibendung. Kenaikan konsumsi tentu bukan berita baik bagi negara net importir minyak dan produk turunannya seperti Indonesia. 

Sebagai informasi, impor migas Indonesia pada Januari-Mei 2018 mencapai US$ 11,88 miliar. Naik 18,58% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Tingginya impor migas membuat neraca perdagangan defisit US$ 2,83 miliar. 

Defisit neraca perdagangan ini kemudian menjadi beban bagi transaksi berjalan (current account). Saat defisit di transaksi berjalan makin dalam, maka rupiah pun di ujung tanduk karena minim sokongan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. 

Oleh karena itu, rupiah bisa semakin tertekan dengan keputusan tambahan subsidi solar. Risiko yang menghantui rupiah pun kini bukan lagi dari luar negeri, tetapi juga dari faktor domestik.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular