
Bergerak Menguat, Rupiah Jadi Mata Uang Terbaik Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 July 2018 08:35

Sejatinya dolar AS memang sedang dalam posisi defensif. Ini terlihat dari Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) yang pada pukul 08:23 WIB melemah 0,06%.
Dolar AS masih melanjutkan depresiasi setelah rilis data ketenagakerjaan AS. Akhir pekan lalu, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan angka pengangguran AS periode Juni 2018 sebesar 4%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya maupun konsensus pasar yaitu 3,8%.
Sementara itu, upah per jam rata-rata AS tercatat meningkat 2,7% secara tahunan (year-on-year/YoY). Juga di bawah konsensus yang memperkirakan peningkatan sebesar 2,8% YoY.
Data ini menunjukkan pasar tenaga kerja AS belum sepenuhnya pulih dan masih membutuhkan kebijakan moneter akomodatif. Akhirnya, muncul persepsi bahwa the Federal Reserve/The Fed tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Apalagi ada risiko besar yaitu perang dagang.
Kabar ini tentu tidak mengenakkan bagi greenback. Kenaikan suku bunga acuan adalah angin segar bagi setiap mata uang, karena kebijakan ini mampu memancing aliran modal sehingga menjadi modal apresiasi.
Namun, beberapa mata uang Asia tidak mampu memanfaatkan situasi ini akibat masih kuatnya sentimen perang dagang. Akhir pekan lalu, AS dan China sudah memulai perang dagang babak terbaru.
AS telah mengenakan bea masuk 25% kepada 818 produk China. Sebagai balasan, Beijing memberlakukan bea masuk 25% kepada 659 produk Negeri Paman Sam.
Investor sepertinya masih cemas terhadap isu ini. Perang dagang masih sangat dinamis, dan perkembangannya begitu cepat. Sampai saat ini belum ada titik terang untuk menyudahinya, sehingga perang dagang masih akan tetap menjadi risiko bagi pasar keuangan global, khususnya Asia.
Negara-negara yang terdampak langsung seperti China, Jepang, atau Singapura mengalami pelamahan mata uang. Sebab, negara-negara menggantungkan ekonominya dari ekspor sementara kinerja ekspor bisa terancam akibat perang dagang.
Tanpa dukungan valas dari ekspor, maka mata uang dipersepsikan mengalami tekanan. Oleh karena itu, investor cenderung menghindari mata uang negara-negara tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Dolar AS masih melanjutkan depresiasi setelah rilis data ketenagakerjaan AS. Akhir pekan lalu, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan angka pengangguran AS periode Juni 2018 sebesar 4%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya maupun konsensus pasar yaitu 3,8%.
Sementara itu, upah per jam rata-rata AS tercatat meningkat 2,7% secara tahunan (year-on-year/YoY). Juga di bawah konsensus yang memperkirakan peningkatan sebesar 2,8% YoY.
Kabar ini tentu tidak mengenakkan bagi greenback. Kenaikan suku bunga acuan adalah angin segar bagi setiap mata uang, karena kebijakan ini mampu memancing aliran modal sehingga menjadi modal apresiasi.
Namun, beberapa mata uang Asia tidak mampu memanfaatkan situasi ini akibat masih kuatnya sentimen perang dagang. Akhir pekan lalu, AS dan China sudah memulai perang dagang babak terbaru.
AS telah mengenakan bea masuk 25% kepada 818 produk China. Sebagai balasan, Beijing memberlakukan bea masuk 25% kepada 659 produk Negeri Paman Sam.
Investor sepertinya masih cemas terhadap isu ini. Perang dagang masih sangat dinamis, dan perkembangannya begitu cepat. Sampai saat ini belum ada titik terang untuk menyudahinya, sehingga perang dagang masih akan tetap menjadi risiko bagi pasar keuangan global, khususnya Asia.
Negara-negara yang terdampak langsung seperti China, Jepang, atau Singapura mengalami pelamahan mata uang. Sebab, negara-negara menggantungkan ekonominya dari ekspor sementara kinerja ekspor bisa terancam akibat perang dagang.
Tanpa dukungan valas dari ekspor, maka mata uang dipersepsikan mengalami tekanan. Oleh karena itu, investor cenderung menghindari mata uang negara-negara tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular