Meski Perang Dagang Bergelora, Rupiah Masih Bisa Perkasa
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 July 2018 16:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat pada perdagangan akhir pekan ini. Rupiah mampu membalikkan keadaan setelah hampir seharian melemah.
Pada Jumat (6/7/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot ditutup di Rp 14.365. Rupiah menguat 0,10% dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin.
Saat pembukaan pasar, rupiah sudah menguat 0,07%. Namun seiring jalan, rupiah terus tertekan. Dolar AS pun kembali menembus kisaran Rp 14.400. Posisi rupiah terlemah pada hari ini ada di Rp 14.417/US$.
Namun pada pukul 15:00 WIB, rupiah mulai bangkit. Sempat stagnan dibanding penutupan kemarin, rupiah akhirnya mampu ditutup menguat.
Ternyata tidak hanya rupiah yang menguat, sejumlah mata uang Asia pun mampu membalikkan kedudukan melawan dolar AS. Hanya yen Jepang, yuan China, dan rupee India yang masih tertinggal di zona merah.
Berikut perkembangan sejumlah mata uang utama Asia terhadap dolar AS pada pukul 16:27 WIB, mengutip Reuters:
Akhirnya mata uang Benua Kuning mampu memanfaatkan kondisi greenback yang sejatinya sedang tertekan. Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama), melemah 0,18% pada pukul 16:31 WIB.
Pelemahan dolar AS merupakan respons atas rilis data ketenagakerjaan di Negeri Paman Sam. Pada Juni 2018, perekonomian AS menciptakan 177.000 lapangan kerja, di bawah konsensus pasar yang memperkirakan 190.000.
Tidak hanya itu, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran meningkat secara tidak terduga sebanyak 3.000 orang ke 231.000 pada pekan lalu, mengutip data dari Departemen Tenaga Kerja AS. Nilai ini meleset jauh dari konsensus yang memperkirakan penurunan ke angka 225.000.
Rilis data klaim pengangguran serta pertambahan lapangan kerja yang di bawah ekspektasi ini lantas memberikan persepsi bahwa ada kemungkinan The Federal Reserve/The Fed tidak akan terlalu hawkish. Sebab, masih ada indikasi pasar tenaga kerja belum sepenuhnya pulih dan masih membutuhkan kebijakan moneter yang akomodatif.
Faktor lain yang menekan dolar AS adalah penguatan euro. Di hadapan dolar AS, mata uang Benua Biru terapresiasi 0,15% pada pukul 16:34 WIB.
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Jumat (6/7/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot ditutup di Rp 14.365. Rupiah menguat 0,10% dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin.
Saat pembukaan pasar, rupiah sudah menguat 0,07%. Namun seiring jalan, rupiah terus tertekan. Dolar AS pun kembali menembus kisaran Rp 14.400. Posisi rupiah terlemah pada hari ini ada di Rp 14.417/US$.
![]() |
Ternyata tidak hanya rupiah yang menguat, sejumlah mata uang Asia pun mampu membalikkan kedudukan melawan dolar AS. Hanya yen Jepang, yuan China, dan rupee India yang masih tertinggal di zona merah.
Berikut perkembangan sejumlah mata uang utama Asia terhadap dolar AS pada pukul 16:27 WIB, mengutip Reuters:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 110,61 | -0,01 |
Yuan China | 6,645 | -0,12 |
Won Korea Selatan | 1.116,76 | +0,14 |
Dolar Taiwan | 30,46 | +0,20 |
Rupee India | 68,94 | -0,10 |
Dolar Singapura | 1,36 | +0,29 |
Baht Thailand | 33,17 | +0,06 |
Peso Filipina | 53,29 | +0,19 |
Akhirnya mata uang Benua Kuning mampu memanfaatkan kondisi greenback yang sejatinya sedang tertekan. Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama), melemah 0,18% pada pukul 16:31 WIB.
Pelemahan dolar AS merupakan respons atas rilis data ketenagakerjaan di Negeri Paman Sam. Pada Juni 2018, perekonomian AS menciptakan 177.000 lapangan kerja, di bawah konsensus pasar yang memperkirakan 190.000.
Tidak hanya itu, jumlah warga AS yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran meningkat secara tidak terduga sebanyak 3.000 orang ke 231.000 pada pekan lalu, mengutip data dari Departemen Tenaga Kerja AS. Nilai ini meleset jauh dari konsensus yang memperkirakan penurunan ke angka 225.000.
Rilis data klaim pengangguran serta pertambahan lapangan kerja yang di bawah ekspektasi ini lantas memberikan persepsi bahwa ada kemungkinan The Federal Reserve/The Fed tidak akan terlalu hawkish. Sebab, masih ada indikasi pasar tenaga kerja belum sepenuhnya pulih dan masih membutuhkan kebijakan moneter yang akomodatif.
Faktor lain yang menekan dolar AS adalah penguatan euro. Di hadapan dolar AS, mata uang Benua Biru terapresiasi 0,15% pada pukul 16:34 WIB.
Pendorong penguatan euro adalah rilis data ekonomi di Jerman. Pada Mei 2018, produksi industri di Jerman tumbuh cukup pesat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY), yaitu mencapai 3,1%. Dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM), terjadi pertumbuhan 2,6%. Pencapaian Mei jauh membaik dibandingkan April 2018 yang secara YoY tumbuh 1,4% tetapi terkontraksi (minus) 1,3% secara MtM.
Data ini menjadi sentimen positif bagi Jerman, perekonomian terbesar di Eropa. Apa yang terjadi di Jerman akan mempengaruhi Eropa secara keseluruhan.
Kedua hal ini tentu bukan kabar baik buat greenback. Pelemahan dolar AS dapat dimanfaatkan oleh rupiah dan kawan-kawan di Asia untuk berbalik arah ke teritori positif.
Perang Dagang
Investor di pasar valas sepertinya lebih hirau terhadap potensi penguatan mata uang Asia ketimbang risikonya. Padahal, ada risiko besar yang membayangi Asia yaitu perang dagang.
AS dan China telah 'berbalas pantun' dengan saling menerapkan bea masuk. Negeri Paman Sam mengenakan bea masuk 25% untuk 818 produk China, sementara Negeri Tira Bambu membebankan bea masuk 25% untuk 659 produk AS.
Tidak hanya itu, Presiden AS Donald Trump juga mengancam bakal memberlakukan bea masuk kepada produk-produk China senilai US$ 500 miliar. Jika ini dilakukan, maka bukan tidak mungkin China akan membalas. Situasi pun akan menjadi lebih runyam.
Kepada indonesia, Trump pun disebut-sebut sudah menebar ancaman. Trump dikabarkan akan menghapus perlakuan khusus kepada produk-produk Indonesia dan mulai mengenakan bea masuk.
Namun, investor sepertinya mulai beralih dari sentimen perang dagang. Pelaku pasar lebih melihat bahwa ada faktor yang menekan dolar AS sehingga memutuskan untuk melepas greenback dan berpaling ke mata uang negara-negara Asia, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Data ini menjadi sentimen positif bagi Jerman, perekonomian terbesar di Eropa. Apa yang terjadi di Jerman akan mempengaruhi Eropa secara keseluruhan.
Kedua hal ini tentu bukan kabar baik buat greenback. Pelemahan dolar AS dapat dimanfaatkan oleh rupiah dan kawan-kawan di Asia untuk berbalik arah ke teritori positif.
Perang Dagang
Investor di pasar valas sepertinya lebih hirau terhadap potensi penguatan mata uang Asia ketimbang risikonya. Padahal, ada risiko besar yang membayangi Asia yaitu perang dagang.
AS dan China telah 'berbalas pantun' dengan saling menerapkan bea masuk. Negeri Paman Sam mengenakan bea masuk 25% untuk 818 produk China, sementara Negeri Tira Bambu membebankan bea masuk 25% untuk 659 produk AS.
Tidak hanya itu, Presiden AS Donald Trump juga mengancam bakal memberlakukan bea masuk kepada produk-produk China senilai US$ 500 miliar. Jika ini dilakukan, maka bukan tidak mungkin China akan membalas. Situasi pun akan menjadi lebih runyam.
Kepada indonesia, Trump pun disebut-sebut sudah menebar ancaman. Trump dikabarkan akan menghapus perlakuan khusus kepada produk-produk Indonesia dan mulai mengenakan bea masuk.
Namun, investor sepertinya mulai beralih dari sentimen perang dagang. Pelaku pasar lebih melihat bahwa ada faktor yang menekan dolar AS sehingga memutuskan untuk melepas greenback dan berpaling ke mata uang negara-negara Asia, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular