
Ternyata, Faktor Ini yang Membuat Dolar AS Sangat Perkasa
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
02 July 2018 14:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) memang sedang kuat-kuatnya. Akibatnya mata uang global pun tertekan termasuk rupiah. Secara bulanan, rupiah telah terdepresiasi hingga 3,59% terhadap dolar AS. Sementara secara Year-to-Date (ytd), rupiah terdepresiasi hingga 6,08%
Menurut Riset Bank DBS Indonesia, ada beberapa faktor yang membuat dolar AS perkasa. Mulai dari kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang cenderung agresif, perang dagang AS dan China, hingga ketegangan antara AS dan Iran terkait program nuklir Iran.
The Fed dibawah komando Jerome Powell diperkirakan akan menerapkan kebijakan moneter yang cenderung hawkish. Hal ini didasari pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam yang terus menunjukkan perbaikan. Beberapa indikator yang menjadi penilaian tersebut diantaranya tingkat pengangguran dan pengeluaran konsumsi masyarakat.
Angka pengangguran di AS terus menunjukkan perbaikan. Terbaru, angka pengangguran di AS menyentuh 3,8% atau terendah sejak 18 tahun terakhir. Penurunan ini tidak lepas dari berbagai kebijakan ekonomi Presiden AS, Donald Trump. Mulai dari pemotongan pajak perusahaan hingga proteksionisme bisa jadi hal yang mendorong penyerapan tenaga kerja.
Situasi tersebut melandasi penguatan industri dalam negeri khususnya manufaktur. Data indeks manufaktur terbaru per Mei 2018 sebesar 58,7. Angka tersebut naik 5,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan peningkatan ini tentu bisa berdampak penyerapan angka tenaga kerja yang semakin besar.
Faktor lain, pengeluaran konsumsi pribadi atau Personal Consumption Expenditure (PCE) Seperti yang diketahui, PCE menjadi indikator The Fed dalam mengukur inflasi. Data terbaru menunjukkan, PCE telah menyentuh 2% atau sesuai target yang ditetapkan oleh The Fed. Angka tersebut bisa terus naik seiring dengan potensi perekonomian AS yang lebih kuat dibawah Presiden Trump.
Kedua kondisi ini membuat The Fed perlu menempuh kebijakan moneter yang lebih hawkish guna mencegah pertumbuhan ekonomi tidak overheating. Saat ini The Fed telah menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) hingga 2 kali. Kenaikan ini berpotensi terjadi hingga 2 kali pada tahun ini dengan melihat kondisi-kondisi di atas.
Sementara dari sisi perang dagang, meningkatnya ketegangan AS dan China bisa menjadi hal buruk buat Indonesia. Pasalnya potensi Indonesia menjadi pasar baru bagi ekspor barang kedua negara semakin besar. Dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang cukup tinggi, bisa menjadi peluang besar untuk mendulang pundi-pundi valas.
Semisal China, ekspor negara tersebut ke Indonesia sepanjang Januari hingga Mei 2018 mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2018, menunjukkan impor non-migas Indonesia dari China mencapai US$ 18 miliar. Jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor yang hanya sebesar US$ 10 miliar. Akibatnya Indonesia mengalami defisit perdagangan hingga US$ 8 miliar.
Defisit perdagangan mencerminkan aliran valas yang keluar dari Indonesia jauh lebih besar dibandingkan yang masuk. Hal ini mengakibatkan rupiah pun tertekan dan loyo di hadapan dolar AS.
Faktor berikutnya yaitu meningkatnya ketegangan antara AS dan Iran terkait program nuklir Iran. pelaku pasar mulai mengantisipasi pengenaan sanksi AS kepada Iran, yang kemungkinan terjadi pada 4 November.
Produksi minyak Negeri Persia mencapai 4,7 juta barel/hari, atau hampir 5% dari total produksi global. Jika Iran terkena sanksi, maka pasokan minyak mereka akan berkurang karena ada pembatasan. Akibatnya, pasokan global juga ikut berkurang. Saat pasokan berkurang, maka harga akan terkerek ke atas.
Kenaikan harga minyak pun membebani Indonesia. Pasalnya ketergantungan terhadap impor terhadap si emas hitam masih cukup tinggi terutama memenuhi konsumsi dalam negeri. Rata-rata produksi minyak masih berada di kisaran 800 ribu barel per hari.
Sementara menurut Pertamina dalam rapat di Komisi VII DPR RI pada 19/3/2018 menyatakan, konsumsi BBM diperkirakan mencapai 1,6 juta barel per hari. Dengan defisit ini tentu mewajibkan Indonesia untuk melakukan impor.
Per hari ini harga minyak jenis light sweet khususnya menyentuh di atas US$ 70/barel. Sementara asumsi yang ditetapkan pemerintah dalam APBN 2018 sebesar US$ 48/barel. Adanya selisih ini bukan hanya membebani APBN, namun juga menguras devisa negara. Akibatnya ketesediaan dolar AS pun berkurang.
Kombinasi dari faktor-faktor inilah yang disinyalir membuat rupiah tidak berdaya di hadapan dolar AS.
(dru/dru) Next Article Pukul 13:00 WIB: Rupiah Tetap di Rp 14.325/US$
Menurut Riset Bank DBS Indonesia, ada beberapa faktor yang membuat dolar AS perkasa. Mulai dari kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed yang cenderung agresif, perang dagang AS dan China, hingga ketegangan antara AS dan Iran terkait program nuklir Iran.
The Fed dibawah komando Jerome Powell diperkirakan akan menerapkan kebijakan moneter yang cenderung hawkish. Hal ini didasari pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam yang terus menunjukkan perbaikan. Beberapa indikator yang menjadi penilaian tersebut diantaranya tingkat pengangguran dan pengeluaran konsumsi masyarakat.
Situasi tersebut melandasi penguatan industri dalam negeri khususnya manufaktur. Data indeks manufaktur terbaru per Mei 2018 sebesar 58,7. Angka tersebut naik 5,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan peningkatan ini tentu bisa berdampak penyerapan angka tenaga kerja yang semakin besar.
Faktor lain, pengeluaran konsumsi pribadi atau Personal Consumption Expenditure (PCE) Seperti yang diketahui, PCE menjadi indikator The Fed dalam mengukur inflasi. Data terbaru menunjukkan, PCE telah menyentuh 2% atau sesuai target yang ditetapkan oleh The Fed. Angka tersebut bisa terus naik seiring dengan potensi perekonomian AS yang lebih kuat dibawah Presiden Trump.
Kedua kondisi ini membuat The Fed perlu menempuh kebijakan moneter yang lebih hawkish guna mencegah pertumbuhan ekonomi tidak overheating. Saat ini The Fed telah menaikkan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) hingga 2 kali. Kenaikan ini berpotensi terjadi hingga 2 kali pada tahun ini dengan melihat kondisi-kondisi di atas.
Sementara dari sisi perang dagang, meningkatnya ketegangan AS dan China bisa menjadi hal buruk buat Indonesia. Pasalnya potensi Indonesia menjadi pasar baru bagi ekspor barang kedua negara semakin besar. Dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang cukup tinggi, bisa menjadi peluang besar untuk mendulang pundi-pundi valas.
Semisal China, ekspor negara tersebut ke Indonesia sepanjang Januari hingga Mei 2018 mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2018, menunjukkan impor non-migas Indonesia dari China mencapai US$ 18 miliar. Jauh lebih besar dibandingkan nilai ekspor yang hanya sebesar US$ 10 miliar. Akibatnya Indonesia mengalami defisit perdagangan hingga US$ 8 miliar.
Defisit perdagangan mencerminkan aliran valas yang keluar dari Indonesia jauh lebih besar dibandingkan yang masuk. Hal ini mengakibatkan rupiah pun tertekan dan loyo di hadapan dolar AS.
Faktor berikutnya yaitu meningkatnya ketegangan antara AS dan Iran terkait program nuklir Iran. pelaku pasar mulai mengantisipasi pengenaan sanksi AS kepada Iran, yang kemungkinan terjadi pada 4 November.
Produksi minyak Negeri Persia mencapai 4,7 juta barel/hari, atau hampir 5% dari total produksi global. Jika Iran terkena sanksi, maka pasokan minyak mereka akan berkurang karena ada pembatasan. Akibatnya, pasokan global juga ikut berkurang. Saat pasokan berkurang, maka harga akan terkerek ke atas.
Kenaikan harga minyak pun membebani Indonesia. Pasalnya ketergantungan terhadap impor terhadap si emas hitam masih cukup tinggi terutama memenuhi konsumsi dalam negeri. Rata-rata produksi minyak masih berada di kisaran 800 ribu barel per hari.
Sementara menurut Pertamina dalam rapat di Komisi VII DPR RI pada 19/3/2018 menyatakan, konsumsi BBM diperkirakan mencapai 1,6 juta barel per hari. Dengan defisit ini tentu mewajibkan Indonesia untuk melakukan impor.
Per hari ini harga minyak jenis light sweet khususnya menyentuh di atas US$ 70/barel. Sementara asumsi yang ditetapkan pemerintah dalam APBN 2018 sebesar US$ 48/barel. Adanya selisih ini bukan hanya membebani APBN, namun juga menguras devisa negara. Akibatnya ketesediaan dolar AS pun berkurang.
Kombinasi dari faktor-faktor inilah yang disinyalir membuat rupiah tidak berdaya di hadapan dolar AS.
(dru/dru) Next Article Pukul 13:00 WIB: Rupiah Tetap di Rp 14.325/US$
Most Popular