Anjlok 2,37%, Valuasi IHSG Ternyata Masih Mahal

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2018 14:47
Walaupun anjlok 2,37% pada perdagangan hari ini, ternyata valuasi IHSG masih mahal.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,37% sampai dengan siang hari ini ke level 5.851,67. Jika dibandingkan dengan bursa saham lainnya di kawasan Asia, performa IHSG jadi yang terburuk: indeks Nikkei menguat 0,49%, indeks Hang Seng menguat 0,41%, indeks Strait Times menguat 0,3%, indeks Kospi menguat 1,11%, indeks SET (Thailand) menguat 0,67%, indeks KLCI (Malaysia) menguat 0,15%, dan indeks Shanghai melemah 0,59%.

Jika dihitung sejak awal tahun, koreksi IHSG sudah mencapai 7,93%. Lantas, apakah koreksi yang sudah begitu dalam membuat valuasi IHSG menjadi murah?

Ternyata, valuasi IHSG masih terbilang mahal. Mengutip Reuters, saat ini price-earnings ratio (PER) dari IHSG adalah sebesar 16,79x, lebih tinggi dibandingkan indeks Nikkei (16,63x), indeks KLCI (16,54x), indeks SET (15,58x), indeks Shanghai (12,65x), indeks Kospi (12,1x) indeks Hang Seng (11,58x), dan indeks Strait Times (10,69x).

Walaupun IHSG anjlok paling dalam pada hari ini, bursa saham kawasan Asia lainnya telah anjlok lebih dulu sepanjang libur lebaran kemarin, membuat PERnya menjadi lebih rendah. Sepanjang libur lebaran (11-19 Juni), indeks Nikkei turun 1,83%, indeks Shanghai anjlok 5,19%, indeks Strait Times anjlok 3,93%, indeks Hang Seng jeblok 4,81%, indeks Kospi jeblok 4,55%, indeks KLCI jeblok 3,54%, dan indeks SET jeblok 4,79%.

Selain itu, mahalnya valuasi IHSG tak lepas dari penguatannya yang sudah begitu kencang pada tahun 2017 kemarin. Sepanjang tahun lalu, IHSG menguat hingga 19,99%, dimana ini merupakan yang terbesar ketiga di Asia Tenggara setelah Vietnam dan Filipina.

Kala itu, terlepas dari perekonomian dalam negeri yang berada dalam tekanan (pertumbuhan ekonomi hanya naik 3bps, dari 5,04% menjadi 5,07%), laju IHSG terdongkrak naik oleh dinaikannya peringkat surat utang Indonesia oleh Standard & Poor's dan Fitch Ratings.

Banyaknya bursa saham yang valuasinya lebih murah dari IHSG membuat investor asing mengalihkan dananya keluar dari tanah air. Sampai dengan berita ini diturunkan, investor asing telah 'kabur' senilai Rp 1,12 triliun dari pasar saham.

Tak ada dorongan domestik
Investor harus benar-benar waspada jika melihat valuasi IHSG yang masih mahal ini. Pasalnya, dari dalam negeri tak ada faktor yang bisa mendongkrak kinerja IHSG.

Secara fundamental, laju ekonomi Indonesia dapat dikatakan masih lambat. Pada bulan Mei kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY.

Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.

Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.

Memasuki kuartal 2, laju konsumsi rumah tangga masih saja lambat. Sepanjang April, Bank Indonesia (BI) mencatat penjualan ritel hanya tumbuh sebesar 4,1% secara year-on-year (YoY), lebih rendah jika dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu yakni sebesar 4,2% YoY.

Kemudian, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan ritel bulan Mei 2018 tercatat sebesar 4,4% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian Mei 2017 yang sebesar 4,3% YoY. Padahal, bulan puasa tahun ini sudah dimulai sejak pertengahan Mei, sementara bulan puasa tahun lalu baru dimulai pada akhir Mei, sehingga seharusnya penjualan ritel bisa tumbuh lebih kencang.

Di sisi lain, BI malah mengindikasikan kenaikan suku bunga acuan ronde 3.

"Bank Indonesia senantiasa berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek BI dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar Rupiah. Untuk itu, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG 27-28 Juni 2018 yang akan datang," demikian siaran pers BI yang disampaikan Selasa (19/6/2018).

Dalam keterangan pers tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan kebijakan lanjutan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga.

"Kenaikan suku bunga yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif tetap dilanjutkan," ungkap Perry.

Jika suku bunga acuan dinaikkan, laju ekonomi Indonesia bisa kian lambat. Bagi bursa saham, ini tentu bukan kabar baik.
(ank/hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular