Pasca Libur Lebaran, IHSG Anjlok 1,59%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 June 2018 09:19
Sampai dengan berita ini diturunkan, IHSG telah anjlok 1,59% ke level 5.898,48.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah dibuka melemah 0,86%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh semakin dalam. Sampai dengan berita ini diturunkan, IHSG telah anjlok 1,59% ke level 5.898,48.

Pelemahan IHSG terjadi kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia diperdagangkan menguat: indeks Hang Seng menguat 0,08%, indeks Strait Times menguat 0,06%, dan indeks Kospi menguat 0,59%.

Investor nampak langsung melakukan price-in atas berbagai sentimen negatif yang datang selama libur perdagangan IHSG. Sentimen negatif pertama bagi IHSG datang proyeksi the Federal Reserve mengenai kenaikan suku bunga acuan yang akan menyentuh 4 kali pada tahun ini. Hal ini terungkap pasca mereka mengumumkan hasil pertemuannya beberapa hari yang lalu.

Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25%, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).

Masalahnya, normalisasi yang kelewat agresif dianggap bisa 'mematikan' ekonomi AS.

Kedua, pada hari Kamis (14/6/2018) European Central Bank (ECB) mengumumkan penghentian stimulus moneter (quantitative easing) pada akhir 2018. Sempat direspon positif oleh pelaku pasar, kini hal tersebut dianggap sebagai risiko bagi perekonomian Benua Biru.

Pasalnya, kini prospek perekonomian Inggris selaku negara dengan perekonomian terbesar kedua di Eropa kian suram. British Chambers of Commerce (BCC) atau yang di Indonesia setara dengan Kamar Dagang memperkirakan bahwa ekonomi Inggris akan tumbuh pada titik terendah sejak krisis keuangan global (2009), seiring dengan lemahnya konsumsi rumah tangga, investasi, dan perdagangan, seperti dikutip dari Financial Times.

BCC memproyeksikan ekonomi Inggris hanya akan tumbuh sebesar 1,3% pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 1,4%.

"Jika terealisasikan (proyeksi tersebut), akan menjadi pertumbuhan ekonomi tahunan terlemah sejak 2009, kala ekonomi sedang berada dalam pergolakan krisis keuangan gobal," terang BCC.

Bahkan, BCC juga memproyeksikan ekonomi Inggris akan memasuki periode 'mati suri' dikarenakan kombinasi dari tingginya utang rumah tangga dengan lemahnya investasi dan perdagangan.

Ketiga, risiko perang dagang antar dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia kini sudah semakin nyata. Pada hari Senin waktu setempat (18/6/2018) Presiden AS Donald Trump mengeluarkan sebuah pernyataan, memaparkan bahwa dirinya telah memerintahkan United States Trade Representative (USTR) untuk mengidentifikasi barang-barang impor asal China senilai US$ 200 miliar untuk dikenakan bea masuk tambahan senilai 10%.

"Setelah proses hukum selesai, bea masuk ini akan berlaku jika China menolak untuk mengubah untuk mengubah praktek-prakteknya (mencuri kekayaan intelektual dan teknologi asal AS) dan jika China bersikeras untuk menerapkan bea masuk yang baru-baru ini diumumkan".

Tak sampai disitu, Trump mengancam bahwa jika China kembali menaikkan bea masuk untuk barang-barang asal AS, bea masuk baru untuk produk-produk impor China lainnya senilai US$ 200 akan diterapkan.

Awalnya, investor menilai sikap keras Trump adalah taktik negosiasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Namun, lama kelamaan sikap keras ini kian konsisten sehingga sebagian pelaku pasar menilai ini sudah bukan sekedar taktik negosiasi lagi, namun memang sudah menjadi garis kebijakan pemerintah.
(ank/hps) Next Article Angin Segar dari Eropa Siap Bawa Wall Street Menghijau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular