BI Naikkan Suku Bunga Lagi, IHSG Bisa Anjlok
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 June 2018 14:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Era pelonggaran moneter nampak sudah benar-benar berakhir. Pasca menaikkan suku bunga acuan sebesar 50bps pada tahun ini, Bank Indonesia (BI) kembali mengindikasikan normalisasi lanjutan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan bank sentral siap menempuh kebijakan lanjutan dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan The Fed (Bank Sentral AS) dan ECB (Bank Sentral Eropa).
"Bank Indonesia senantiasa berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek BI dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar Rupiah. Untuk itu, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG 27-28 Juni 2018 yang akan datang," demikian siaran pers BI yang disampaikan Selasa (19/6/2018).
Dalam keterangan pers tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan kebijakan lanjutan tersebut dapat berupa kenaikan suku bunga.
"Kenaikan suku bunga yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif tetap dilanjutkan," ungkap Perry.
Lantas, bagaimana nasib bursa saham jika normalisasi suku bunga kembali dilanjutkan? Seperti yang kita tahu, suku bunga yang tinggi merupakan salah satu musuh utama dari bursa saham. Sejarah pun mengonfirmasi hal ini.
Kali terakhir BI menaikkan suku bunga acuan minimal 3 kali dalam setahun adalah pada tahun 2013. Kala itu, suku bunga acuan yang masih menggunakan BI Rate dinaikkan sebanyak 5 kali dengan total 175bps.
Normalisasi pertama dilakukan pada bulan Juni dengan besaran 25bps (dari 5,75% menjadi 6%). Sejak saat itu, IHSG berangsur-angsur turun. Jika dihitung dari titik tertingginya pada 20 Mei 2013 (5.214,98), IHSG jatuh sebesar 18% sampai dengan akhir tahun ke level 4.274,18.
Kondisinya Sama
Agresifnya BI dalam melakukan normalisasi pada tahun 2013 salah satunya dipicu oleh faktor eskternal berupa normalisasi stimulus ekonomi yang disuntikkan oleh the Federal Reserve atau yang dikenal dengan nama quantitative easing (QE). Wacana dikuranginya besaran QE telah membuat aliran modal kabur ke AS dan mendorong rupiah melemah di hadapan dolar AS.
Kini, situasinya tak jauh berbeda. Normalisasi suku bunga acuan the Fed menjadi salah satu faktor yang memaksa BI cukup agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
The Federal Reserve kini memproyeksi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini. Hal ini terungkap pasca mereka mengumumkan hasil pertemuannya beberapa hari yang lalu.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Akan Negatif
Sejatinya, kenaikan suku bunga acuan tak melulu membuat bursa saham jatuh. Tengok saja pada tahun 2014. Pada 18 November 2014, BI Rate dikerek naik 25bps menjadi 7,75%. Padahal, 5 hari sebelumnya suku bunga acuan diumumkan di angka 7,5%.
Keputusan dari BI mendapat dukungan oleh pelaku pasar. Buktinya, IHSG menguat 0,5% pada hari perdagangan berikutnya (19/11/2014). Sampai dengan akhir tahun, penguatan IHSG bahkan mencapai 2,44%.
Walaupun sejatinya kenaikan suku bunga acuan bisa memperlambat penyaluran kredit (seiring naiknya suku bunga kredit), pelaku pasar nampak percaya terhadap prospek perekonomian Indonesia. Pencabutan subsidi BBM dinilai hanya berdampak sementara terhadap tekanan inflasi (yang pada akhirnya memaksa kenaikan suku bunga acuan). Di sisi lain, pemerintah menjadi memiliki dana yang berlimpah untuk membangun infrastruktur yang akan menopang perekonomian dalam jangka menengah-panjang.
Kali ini, situasi yang sama nampak sulit untuk terjadi. Berbeda dengan tahun 2014, pelaku pasar kini sudah pesimis dengan prospek perekonomian Indonesia. Alasannya, pertumbuhan ekonomi selama 3 tahun pemerintahan Joko Widodo dapat dikatakan mengecewakan.
Pada 2015, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,88%, dimana ini merupakan pertumbuhan terendah sejak krisis keuangan global pada tahun 2009 silam. Setahun setelahnya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,03%, di bawah target APBNP yang dipatok sebesar 5,2%. Kemudian pada tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diumumkan di level 5,07%, lagi-lagi di bawah target yang sebesar 5,2%.
Pada tahun ini, ekonomi masih sulit untuk mencapai target nan ambisius yang dipasang di angka 5,4%. Pada bulan Mei kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY.
Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Dalam kondisi seperti saat ini, menaikkan suku bunga acuan tentu tak akan membawa angin segar bagi perekonomian dan pasar saham. Ekonomi Indonesia kini bak sudah jatuh kemudian ditimpa tangga. Jika suku bunga kredit yang rendah saja tak berhasil mengerek pertumbuhan ekonomi secara signifikan menuju target yang dipatok pemerintah, bayangkan yang akan terjadi ketika suku bunga kredit dinaikkan oleh perbankan.
Per akhir April 2018, BI mencatat penyaluran kredit hanya tumbuh sebesar 8,94% YoY, jauh lebih rendah dari capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 9,5% YoY serta jauh di bawah target dua-digit yang mereka canangkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan bank sentral siap menempuh kebijakan lanjutan dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan The Fed (Bank Sentral AS) dan ECB (Bank Sentral Eropa).
"Bank Indonesia senantiasa berkomitmen dan fokus pada kebijakan jangka pendek BI dalam memperkuat stabilitas ekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar Rupiah. Untuk itu, BI siap menempuh kebijakan lanjutan yang pre-emptive, front loading, dan ahead the curve dalam menghadapi perkembangan baru arah kebijakan the Fed dan ECB pada RDG 27-28 Juni 2018 yang akan datang," demikian siaran pers BI yang disampaikan Selasa (19/6/2018).
"Kenaikan suku bunga yang disertai dengan relaksasi kebijakan LTV untuk mendorong sektor perumahan. Selain itu, kebijakan intervensi ganda, likuiditas longgar, dan komunikasi yang intensif tetap dilanjutkan," ungkap Perry.
Lantas, bagaimana nasib bursa saham jika normalisasi suku bunga kembali dilanjutkan? Seperti yang kita tahu, suku bunga yang tinggi merupakan salah satu musuh utama dari bursa saham. Sejarah pun mengonfirmasi hal ini.
Kali terakhir BI menaikkan suku bunga acuan minimal 3 kali dalam setahun adalah pada tahun 2013. Kala itu, suku bunga acuan yang masih menggunakan BI Rate dinaikkan sebanyak 5 kali dengan total 175bps.
Normalisasi pertama dilakukan pada bulan Juni dengan besaran 25bps (dari 5,75% menjadi 6%). Sejak saat itu, IHSG berangsur-angsur turun. Jika dihitung dari titik tertingginya pada 20 Mei 2013 (5.214,98), IHSG jatuh sebesar 18% sampai dengan akhir tahun ke level 4.274,18.
Kondisinya Sama
Agresifnya BI dalam melakukan normalisasi pada tahun 2013 salah satunya dipicu oleh faktor eskternal berupa normalisasi stimulus ekonomi yang disuntikkan oleh the Federal Reserve atau yang dikenal dengan nama quantitative easing (QE). Wacana dikuranginya besaran QE telah membuat aliran modal kabur ke AS dan mendorong rupiah melemah di hadapan dolar AS.
Kini, situasinya tak jauh berbeda. Normalisasi suku bunga acuan the Fed menjadi salah satu faktor yang memaksa BI cukup agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
The Federal Reserve kini memproyeksi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini. Hal ini terungkap pasca mereka mengumumkan hasil pertemuannya beberapa hari yang lalu.
Pada pertemuan bulan Maret, median dari dot plot masih mantap berada di level 2-2,25% pada akhir tahun, menandakan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 3 kali pada tahun ini. Namun, kini mediannya sudah berada di 2,25-2,5%, mengindikasikan kenaikan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara keseluruhan).
Akan Negatif
Sejatinya, kenaikan suku bunga acuan tak melulu membuat bursa saham jatuh. Tengok saja pada tahun 2014. Pada 18 November 2014, BI Rate dikerek naik 25bps menjadi 7,75%. Padahal, 5 hari sebelumnya suku bunga acuan diumumkan di angka 7,5%.
Keputusan dari BI mendapat dukungan oleh pelaku pasar. Buktinya, IHSG menguat 0,5% pada hari perdagangan berikutnya (19/11/2014). Sampai dengan akhir tahun, penguatan IHSG bahkan mencapai 2,44%.
Walaupun sejatinya kenaikan suku bunga acuan bisa memperlambat penyaluran kredit (seiring naiknya suku bunga kredit), pelaku pasar nampak percaya terhadap prospek perekonomian Indonesia. Pencabutan subsidi BBM dinilai hanya berdampak sementara terhadap tekanan inflasi (yang pada akhirnya memaksa kenaikan suku bunga acuan). Di sisi lain, pemerintah menjadi memiliki dana yang berlimpah untuk membangun infrastruktur yang akan menopang perekonomian dalam jangka menengah-panjang.
Kali ini, situasi yang sama nampak sulit untuk terjadi. Berbeda dengan tahun 2014, pelaku pasar kini sudah pesimis dengan prospek perekonomian Indonesia. Alasannya, pertumbuhan ekonomi selama 3 tahun pemerintahan Joko Widodo dapat dikatakan mengecewakan.
Pada 2015, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 4,88%, dimana ini merupakan pertumbuhan terendah sejak krisis keuangan global pada tahun 2009 silam. Setahun setelahnya, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,03%, di bawah target APBNP yang dipatok sebesar 5,2%. Kemudian pada tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diumumkan di level 5,07%, lagi-lagi di bawah target yang sebesar 5,2%.
Pada tahun ini, ekonomi masih sulit untuk mencapai target nan ambisius yang dipasang di angka 5,4%. Pada bulan Mei kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY.
Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Dalam kondisi seperti saat ini, menaikkan suku bunga acuan tentu tak akan membawa angin segar bagi perekonomian dan pasar saham. Ekonomi Indonesia kini bak sudah jatuh kemudian ditimpa tangga. Jika suku bunga kredit yang rendah saja tak berhasil mengerek pertumbuhan ekonomi secara signifikan menuju target yang dipatok pemerintah, bayangkan yang akan terjadi ketika suku bunga kredit dinaikkan oleh perbankan.
Per akhir April 2018, BI mencatat penyaluran kredit hanya tumbuh sebesar 8,94% YoY, jauh lebih rendah dari capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 9,5% YoY serta jauh di bawah target dua-digit yang mereka canangkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular